Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Lulusan Sarjana Jadi Driver Ojol, Ini Kata Pakar Ekonomi UMY

Ilustrasi Ojek Online
Ilustrasi Ojek Online (unsplash.com/Afif Ramdhasuma)
Intinya sih...
  • Pekerjaan digital seperti ojek online menjadi penyangga bagi pasar tenaga kerja yang dibayangi angka pengangguran.
  • Perguruan tinggi perlu memperkuat link and match dengan industri untuk memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa.
  • Untuk menghadapi persoalan ketenagakerjaan, diperlukan tiga langkah utama: menciptakan iklim investasi yang kondusif, memperbaiki tata kelola pemerintahan, dan memperkuat UMKM dan koperasi.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Tren gig economy membuat pekerjaan lepas berbasis digital tumbuh subur di Tanah Air. Salah satunya adalah transportasi daring atau ojek online (ojol). Namun, lulusan perguruan tinggi yang menjadi pengemudi ojol juga makin marak. Hal ini menimbulkan pertanyaan terhadap ketenagakerjaan di Indonesia.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamudin Yuliadi, mengatakan bahwa pilihan sebagian lulusan perguruan tinggi untuk bekerja sebagai driver ojek online tidak bisa serta-merta dianggap sebagai kegagalan pendidikan tinggi maupun tanda kondisi ekonomi yang memburuk. Menurutnya, banyak sarjana tetap memiliki keinginan berkarier sesuai disiplin ilmu mereka, hanya saja proses menuju pekerjaan tersebut sering memerlukan waktu.

“Menjadi driver ojek online lebih sebagai aktivitas antara atau batu loncatan. Mereka melakukannya sambil menunggu pekerjaan yang sesuai bidangnya,” ucapnya pada Rabu (19/11/2025) dilansir laman resmi UMY.

1. Jadi penyangga bagi pasar tenaga kerja yang dibayangi angka pengangguran

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Imamudin Yuliadi
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMY, Prof. Dr. Imamudin Yuliadi (Dok. UMY)

Imamudin menjelaskan bahwa pekerjaan berbasis digital, termasuk ojek online, berkembang cepat karena sifatnya yang sangat terbuka. Siapa pun bisa langsung bekerja hanya dengan kendaraan pribadi dan waktu yang fleksibel, tanpa perlu modal besar maupun pengalaman khusus.

“Mengapa pilihannya ojek online? Karena itu yang paling mudah dan paling murah. Bisa langsung menghasilkan pendapatan sembari menunggu pekerjaan formal,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kondisi ini menjadi semacam penyangga bagi pasar tenaga kerja yang masih dibayangi angka pengangguran tinggi. Bahkan, pekerjaan serupa kini banyak diambil oleh pekerja paruh baya yang kehilangan pekerjaan akibat perlambatan ekonomi.

Imamudin menilai perubahan struktur ketenagakerjaan nasional tampak jelas. Sektor digital tumbuh pesat, sementara sebagian sektor lain mengalami stagnasi atau penurunan. Dalam dinamika tersebut, pekerjaan digital seperti ojol, kurir, dan layanan daring berperan penting menyerap tenaga kerja.

“Kalau tidak ada job digital seperti ojol dan online services, tingkat pengangguran kita bisa jauh lebih besar,” tegasnya.

2. Perguruan tinggi perlu perkuat link and match dengan industri

Ilustrasi wisuda sarjana (unsplash.com/Ahmad Hanif)
Ilustrasi wisuda sarjana (unsplash.com/Ahmad Hanif)

Meski fenomena lulusan perguruan tinggi bekerja sebagai ojol tidak bisa langsung dimaknai negatif, Imamudin menilai kondisi ini tetap menjadi sinyal penting bagi institusi pendidikan tinggi. Kampus, menurutnya, perlu memperkuat link and match dengan kebutuhan industri yang terus berubah, sekaligus memberikan pengalaman langsung agar mahasiswa memahami realitas dunia kerja sejak awal.

“Model magang yang sekarang diprogramkan pemerintah itu positif. Mahasiswa harus dikenalkan pada dunia nyata sehingga tahu peta kerja yang sesungguhnya saat lulus,” imbuhnya.

Menanggapi pandangan bahwa meningkatnya jumlah sarjana menjadi ojol menunjukkan ekonomi sedang melemah, Imamudin menawarkan perspektif yang lebih berimbang. Ia menyebut ekonomi Indonesia masih memiliki peluang tumbuh lebih tinggi, didorong percepatan penyerapan anggaran daerah dan berbagai program ekonomi lokal seperti Multiplier Based Growth (MBG).

“Ada sektor yang terkontraksi, tapi banyak juga sektor yang berkembang. Ekonomi kita masih bisa tumbuh lebih tinggi,” ujarnya.

3. Tiga langkah menghadapi persoalan ketenagakerjaan

ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (IDN Times/Nathan Manaloe)
ilustrasi Tenaga Kerja Indonesia (IDN Times/Nathan Manaloe)

Untuk menjawab persoalan ketenagakerjaan yang bersifat struktural, Imamudin menegaskan perlunya tiga langkah utama: menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, memperbaiki tata kelola pemerintahan agar semakin bersih dan efisien, serta memperkuat UMKM dan koperasi. Ia menyebut generasi muda memiliki peluang besar untuk mengambil manfaat dari momentum pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah.

“Setiap daerah punya karakter dan potensi ekonomi. Generasi muda bisa memanfaatkannya untuk menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan,” pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Lulusan Sarjana Jadi Driver Ojol, Ini Kata Pakar Ekonomi UMY

21 Nov 2025, 09:17 WIBNews