Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Vonis Tom Lembong Kaburkan Kebijakan Administratif dan Pidana Korupsi

Sidang eksaminasi putusan perkara Tom Lembong. (Dok. UII)
Sidang eksaminasi putusan perkara Tom Lembong. (Dok. UII)
Intinya sih...
  • Tindakan Tom Lembong bukan perbuatan pidanaMenurut Muhammad Arif Setiawan, tindakan Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada 2015 adalah pelaksanaan kebijakan administratif dalam konteks diskresi yang didorong oleh kepentingan publik.
  • Proses pidana adalah jalan terakhir Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Fakultas Hukum UII, Ridwan, menjelaskan proses pidana seharusnya menjadi rem terakhir, bukan alat utama dalam menyelesaikan pelanggaran birokrasi.
  • Konsep diskresi pejabat publik disalahartikan Hanafi Amrani melihat konsep diskresi pejabat publik yang disalahartikan dalam perkara ini.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sleman, IDN Times - Vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong berpotensi mengaburkan batas antara kebijakan administratif dan tindak pidana korupsi. Selain itu, vonis juga dinilai cacat hukum dan lemah dalam pembuktian.

Kesimpulan ini tertuang dalam sidang eksaminasi putusan perkara Tom Lembong yang diselenggarakan Centre for Leadership and Law Development Studies (CLDS) di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII).

Eksaminasi ini melibatkan sejumlah pakar hukum seperti Rusli Muhammad, Ridwan, Hanafi Amrani Muhammad Arif Setiawan, Wahyu Priyanka Nata Permana, Ari Wibowo dan Marisa Kurnianingsing. Sidang juga dihadiri dosen pengajar hukum pidana, praktisi dari berbagai lembaga bantuan hukum, advokat serta mahasiswa program Magister Hukum.

Adapun perkara yang menjerat Tom Lembong ini telah dihentikan seiring pemberian abolisi dari Presiden RI, Prabowo Subianto. Sebelum dinyatakan bebas, Tom lebih dahulu dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dalam kasus dugaan korupsi impor gula.

1. Tindakan Tom Lembong bukan perbuatan pidana

Menurut, Muhammad Arif Setiawan, tindakan Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada 2015 semestinya dipahami bukan sebagai perbuatan pidana, melainkan pelaksanaan kebijakan administratif dalam konteks diskresi yang didorong oleh kepentingan publik.

Pada masa tersebut, Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan Kementerian Perdagangan agar menempuh langkah cepat guna menstabilkan pasokan dan harga pangan untuk menghadapi situasi genting akibat gejolak harga gula di pasar domestik.

Arif menambahkan kapasitas Tom Lembong dalam kasus tersebut adalah menteri atau pembantu presiden yang menjalankan mandat kepala negara.

"Ia bukan bertindak atas kehendak pribadi, apalagi dengan motif memperkaya diri atau orang lain," kata Arif dalam keterangan yang diterima, Senin (13/10/2025).

Arif mengungkapkan dalam sistem presidensiil, kebijakan macam ini adalah tanggung jawab politik dan administratif presiden, bukan pidana yang bisa dibebankan kepada pejabat pelaksana.

2. Proses pidana adalah jalan terakhir

WhatsApp Image 2025-07-04 at 14.59.31 (1).jpeg
Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong (IDN Times/Aryodamar)

Sedangkan, Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Fakultas Hukum UII, Ridwan, menjelaskan dalam teori hukum modern, pidana adalah ultimum remedium atau jalan terakhir ketika seluruh mekanisme hukum lain tidak lagi memadai.

Menyangkut pernyataan itu, para ahli menyoroti penegak hukum dalam perkara Tom begitu cepatnya menggunakan hukum pidana untuk menjerat tindakan administratif.

Ridwan menyatakan apabila setiap kesalahan administratif dikriminalisasi, keberanian pejabat publik untuk bertindak cepat dalam situasi krisis akan lumpuh. Menurutnya, pelanggaran prosedural dalam administrasi publik, seharusnya dirampungkan lewat mekanisme etik dan administratif, bukannya langsung diseret ke ranah pidana.

"Hukum pidana seharusnya menjadi rem terakhir, bukan alat utama dalam menyelesaikan pelanggaran birokrasi," ungkap Ridwan.

3. Konsep diskresi pejabat publik disalahartikan

Sementara itu, Hanafi Amrani melihat konsep diskresi pejabat publik yang disalahartikan dalam perkara ini. Penjelasannya, diskresi adalah ruang hukum yang diberikan kepada pejabat untuk mengambil keputusan dalam situasi mendesak atau sewaktu peraturan yang ada belum mampu menjawab kebutuhan publik.

Pejabat publik dalam kondisi tertentu didorong mengambil keputusan cepat dan ini bukan bentuk penyimpangan. Akan tetapi ekspresi dari tanggung jawab jabatan. Sedangkan dalam praktik penegakan hukum, diskresi kerap kali disalahartikan sebagai pelanggaran hukum.

"Ketika setiap inisiatif pejabat dianggap penyimpangan, maka birokrasi kita akan lumpuh oleh ketakutan," katanya.

4. Pemerintah dan DPR diminta pertegas garis batas kelalaian administratif dan tindak pidana

IMG-20250718-WA0029.jpg
Tom Lembong usai menerima vonis hakim terkait kasus dugaan korupsi impor gula (IDN Times/Aryodamar)

Dalam kesempatan itu, para ahli menggarisbawahi kriminalisasi terhadap kebijakan publik bisa dianggap sebagai gejala bahaya bagi demokrasi. Bukan hanya dalam perkara Tom Lembong, mereka melihat masa depan tata kelola pemerintahan yang rasional dan berkeadilan.

Menurut mereka, saat aparat hukum tidak bisa membedakan mana yang kesalahan administratif dan mana yang tindak pidana, bisa jadi penegakan hukum tidak lagi berpihak pada kepentingan rakyat dan berubah menjadi alat ketakutan bagi birokrasi. Inovasi kebijakan yang berani justru dihadapkan pada ancaman pidana.

Para ahli juga mendesak pemerintah dan DPR mempertegas garis batas antara kelalaian administratif dan tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan. Tujuannya, tentu demi penegakan hukum tak lagi menimbulkan ketakutan di kalangan pejabat publik.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Puluhan Ribu Warga di Bantul Belum Update Data Kependudukan

13 Okt 2025, 20:35 WIBNews