Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Ketum Muhammadiyah Minta Pro-Kontra Soeharto Pahlawan Direkonsiliasi

Jenderal TNI (Purn) Soeharto dilantik menjadi Presiden RI periode 1988-1993 dalam Rapat Paripurna ke-11 Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) di gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Jumat (11/3/1988). ANTARA FOTO/N04/pras
Intinya sih...
  • Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, ajak semua pihak berdialog untuk mencapai rekonsiliasi terkait usulan gelar pahlawan nasional Soeharto.
  • Haedar menekankan perlunya dialog rekonsiliatif secara bertahap untuk menyelesaikan perdebatan dan argumen yang kontradiktif.
  • Kementerian Sosial mengusulkan Soeharto menjadi pahlawan nasional, disambut penolakan dari masyarakat sipil yang melihatnya sebagai pelanggar HAM.

Yogyakarta, IDN Times - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, angkat bicara soal polemik usulan gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.

Dia berpendapat seluruh pihak yang terlibat pro dan kontra dalam pengusulan gelar pahlawan nasional oleh Kementerian Sosial RI ini semestinya berdialog untuk mencapai rekonsiliasi.

1. Singgung pengusulan gelar buat Soekarno

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Haedar tak mengungkap sudut pandang Muhammadiyah terhadap usulan ini, tapi dia meminta agar polemik ini diselesaikan lewat dialog guna menemukan titik temu dari beragam perspektif.

"Harus ada dialog dan titik temu perspektif kita menghargai tokoh-tokoh bangsa yang memang punya sisi-sisi yang tidak baik, tapi juga ada banyak sisi-sisi baiknya," kata Haedar.

"Dulu kita kontroversi soal Bung Karno (Presiden pertama RI, Soekarno) sampai kemudian waktu itu terlambat diberi gelar pahlawan, padahal beliau adalah tokoh sentral, proklamator dan sebagainya. Ada juga tokoh-tokoh dari kekuatan masyarakat, seperti dulu Mohammad Nasir, Buya Hamka, yang juga waktu itu sulit diberi penghargaan tapi akhirnya bisa," sambungnya.

2. Kedepankan dialog rekonsiliatif

potret Soeharto (kiri), Emha Ainun Nadjib (tengah), dan Abdurrahman Wahid (kanan) (commons.wikimedia.org/CakNunDotCom)

Lebih lanjut, Haedar menekankan bahwa saat ini memang sudah saatnya dialog rekonsiliatif itu dibangun secara bertahap demi menyelesaikan segala perdebatan yang ada. Dengan pendekatan ketatanegaraan sesuai koridor, maka diharapkan bisa menyudahi argumen yang justru kontradiktif.

"Coba bangun dialog untuk rekonsiliasi, lalu dampak dari kebijakan-kebijakan yang dulu berakibat buruk pada HAM dan sebagainya, itu diselesaikan dengan mekanisme ketatanegaraan yang tentu sesuai koridornya," ucap Haedar.

3. Pro kontra pengusulan gelar pahlawan buat Soeharto

Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden Indonesia pada 21 Mei 1998 (dok. ANRI)

Kementerian Sosial (Kemensos) mengusulkan Presiden ke-2 RI, Soeharto menjadi pahlawan nasional. Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, mengatakan, sudah sewajarnya mantan Presiden mendapat penghormatan dari negara.

"Saya kira begini, ya, kalau berkenaan dengan usulan, ya, usulan dari Kementerian Sosial terhadap Presiden Suharto, saya kira kalau kami merasa bahwa apa salahnya juga? Menurut kami, mantan-mantan Presiden itu sudah sewajarnya untuk kita mendapatkan penghormatan dari bangsa dan negara kita," ujar Prasetyo di Wisma Negara, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (21/4/2025).

Prasetyo meminta masyarakat untuk tidak hanya melihat kekurangan Soeharto. Menurutnya, perlu dilihat dari sisi prestasi yang pernah dilakukan selama menjabat.

Menurutnya, tidak mudah seseorang mengemban jabatan Presiden. Oleh karena itu, perlu mendapat apresiasi dari negara.

Pengusulan gelar pahlawan nasional ini bagaimanapun tak luput dari penolakan masyarakat sipil yang menilai Soeharto sebagai sosok pelanggar HAM.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us