Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Forum AKBP Beber Berbagai Pelanggaran Berekspresi Era Prabowo

Ilustrasi Pers (IDN Times/Mardya Shakti)
Intinya sih...
  • Ratusan akademisi ilmu komunikasi menyuarakan keprihatinan atas ancaman terhadap kebebasan pers, berekspresi, dan akademik di Indonesia.
  • Forum Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers (AKBP) menyerukan petisi publik untuk merawat akal sehat publik dan menjaga kemerdekaan media serta kebebasan berekspresi dan akademik.
  • Petisi tersebut juga menuntut penanganan hukum tuntas pada kasus teror dan intimidasi kepada majalah Tempo dan jurnalisnya, serta pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana.

Yogyakarta, IDN Times - Ratusan akademisi ilmu komunikasi dari berbagai universitas mengungkapkan keprihatinan atas sejumlah peristiwa yang dianggap mengancam kebebasan pers, berekspresi, dan akademik di Indonesia.

Lebih dari 130 akademisi dalam forum Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers (AKBP) itu pun menyerukan petisi publik atas rentetan kejadian yang menandakan kemunduran demokrasi Tanah Air.

"Kasus yang menimpa Majalah Tempo, pengiriman paket teror kepala babi dan bangkai tikus, kasus yang menimpa persma, mahasiswa yang berdemonstrasi memprotes RUU TNI ditangkap layaknya penjahat bukan sebagai orang akademis, menunjukkan ada persoalan kebebasan berekspresi di samping kebebasan pers," kata Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Prof. Masduki, dalam siaran daring, Rabu (26/3/2025).

Melalui petisi ini, para akademisi mengajak untuk merawat akal sehat publik, menjaga kemerdekaan media serta kebebasan berekspresi dan akademik, demi demokrasi yang tak hanya dijalankan secara prosedural, tapi juga diimplementasikan secara esensial.

Selain Masduki, beberapa nama akademisi ilmu komunikasi yang turut ambil bagian dalam aksi ini antara lain Ana Nadhya Abrar (UGM), Atwar Bajari (Unpad), Senja Yustitia dan Fajar Junaedi (UMY) kemudian UI, Unibraw, UPN, dan masih banyak lagi.

1. Bangkitkan kenangan teror tahun 80-an, jurnalis 'agak terlindungi'

Kolase kirim teror bangkai binatang di Redaksi Tempo (Instagram)

Dalam petisi publik, disampaikan bahwa kasus yang menimpa Majalah Tempo - media yang konsisten mengkritik rezim politik Joko Widodo (Jokowi) hingga Prabowo Subianto - mengingatkan kenangan teror di masa lalu terhadap koran Suara Indonesia di Malang, Jawa Timur.

Teror terhadap koran Suara Indonesia di terjadi pada Rabu, 16 November 1984 pukul 03.00 dini hari. Kantor redaksi dikirimi paket misterius berisi potongan kepala manusia saat media tersebut tengah gencar mengkritik gelombang aksi penembakan misterius di berbagai kota oleh instansi militer (ABRI).

Rentetan penembakan misterius (Petrus) pada masa rezim Orde Baru tersebut menyasar orang yang dituding sebagai preman atau gali, terjadi dalam kurun waktu 1982-1985.

Selain teror terhadap Tempo, juga terjadi tindak represif aparat kepolisian terhadap jurnalis IDN Times dan dua orang Pers Mahasiswa (Persma), yaitu Pers Suara Mahasiswa
Universitas Indonesia (Pers Suma UI) dengan Lembaga Pers dan Penyiaran Mahasiswa Parmagz (LPPM Parmagz) ketika meliput aksi Tolak RUU TNI pada 20 Maret 2025.

Arya Pramuditha, Muhammad Aidan Ghifari, dan Tino mengalami kekerasan yang berbeda-beda. Arya, jurnalis persma LPPM Parmagz mengalami memar di bagian dada akibat lemparan besi dari arah dalam gedung DPR RI.

Aidan, jurnalis persma Suma UI, memperoleh tiga jahitan di kepalanya akibat tiga pukulan berturut-turut di bagian kepalanya dari aparat kepolisian. Padahal, kedua jurnalis sudah mengalungi kartu pers dan tidak mengenakan jaket almamater, atau bukan peserta aksi.

Sementara data Yayasan Tifa secara umum menyebutkan, Indeks Keselamatan Jurnalis tahun 2024 masuk dalam kategori 'agak terlindungi' dan hanya lebih baik 0,7
poin dibandingkan pada 2023. Demikian pula data AJI di tahun yang sama menyatakan bahwa ada 73 kasus kekerasan pada jurnalis. Kasus terbanyak adalah kekerasan fisik serta teror dan intimidasi.

"Pelaku kekerasan terhadap jurnalis terbanyak dilakukan oleh aparat Polisi dan prajurit TNI. Data ini menunjukkan tren yang negatif dan berpotensi berlanjut di masa mendatang," tulis petisi publik yang dibacakan dalam siaran daring.

2. Rentetan pelanggaran berekspresi di era Prabowo

Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto (IDN Times/M Ilman Nafi'an)

Disebutkan bahwa pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi selama masa pemerintahan Presiden Prabowo telah terjadi berkali-kali. Dimulai dengan wacana peniadaan doorstop untuk wartawan di KPK, November 2024; pembatalan pameran
seni rupa Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia di Jakarta, Desember 2024; pelarangan mengunggah konten MBG di sosial media, Januari 2025.

Selain itu juga ungkapan Prabowo saat rapat kabinet, bahwa wartawan sebaiknya keluar saja karena orang tua mau berbicara, Januari 2025; ucapan Presiden saat HPN yang tendensius, Februari 2025; pembungkaman grup band Sukatani, Februari 2025; dan media briefing Presiden yang mengundang sejumlah pemimpin redaksi media.

Rentetan peristiwa ini dinilai berpotensi menyebabkan kecenderungan adanya self-censorship yang berimbas pada kebebasan berekspresi di segala bidang.

Lebih khusus, teror kepada Majalah Tempo berupa kiriman kepala babi dan tikus serta tindakan doxing kepada wartawan Francisca Christy Rosana merupakan teror terhadap
kebebasan jurnalis dan masyarakat sipil. Termasuk, kaum akademisi melalui karya jurnalistik yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28F.

"Dengan adanya rekaman CCTV, dan dengan teknologi face recognition (pengenalan wajah), Polri seharusnya bisa mengungkap siapa pelaku teror ini. Pelaku tak boleh hanya dimaafkan, tetapi harus diseret ke meja hijau. Teror kepada Tempo adalah alarm penting bagi ancaman demokrasi di Indonesia, yang akan ditulis oleh pers nasional dan luar negeri," lanjut petisi publik itu.

3. Serukan tuntutan kemerdekaan pers

Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Masduki. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Mencermati sejumlah kejadian di atas, forum akademisi komunikasi menyuarakan sejumlah tuntutan. Pertama, menuntut penanganan hukum secara menyeluruh dan tuntas pada kasus teror dan intimidasi kepada majalah Tempo dan jurnalisnya, serta memprioritaskan penegakan keadilan dan pemulihan bagi korban.

Puluhan kasus yang melibatkan kerja-kerja jurnalistik, seperti kekerasan fisik hingga teror ke majalah Tempo telah mengancam keberlangsungan kemerdekaan pers.

"Polisi harus menghentikan praktik impunitas dengan tidak melakukan undue delay. Sebaliknya, polisi harus menjunjung supremasi hukum dengan menegakkan undang-undang pers yang menjamin kebebasan jurnalis untuk mengumpulkan, mengolah, dan
menyebarluaskan berita," demikian bunyi tuntutan tersebut.

Kedua, menuntut pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana, pasal 18 ayat (1) UU Pers No 40 Tahun 1999 karena telah melakukan penghalang-halangan terhadap proses kerja jurnalistik.

Dewan Pers mesti menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian mengusut kasus ini dengan tuntas. Jurnalis melakukan kerja pers sebagai bentuk check and balances serta pengimplementasian tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi.

"Segala bentuk intimidasi dan ancaman yang dilakukan merupakan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang dapat berakibat pada terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta terlanggarnya hak publik atas informasi," lanjutnya.

4. Tuntut permintaan maaf Hasan Nasbi

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi (IDN Times/Ilman Nafi'an)

Tuntutan berikutnya, mendesak permohonan maaf Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi secara terbuka kepada publik.

Pernyataan kontroversial Hasan mempertegas asumsi publik bahwa pemerintah saat ini
kurang apresiatif terhadap kebebasan pers dan cenderung abai terhadap segala ancaman kepada media yang selama ini berusaha merealisasikan prinsip kebebasan pers secara
berani.

"(Pernyataan Hasan) meminta media yang diintimidasi dengan paket kepala babi dan bangkai tikus untuk 'memasak kepala babi tersebut' mengandung makna bahwa Istana menginginkan media mengikuti keinginan pengirim," lanjut petisi tersebut.

Para akademisi melihat ada tendensi sikap yang meminta media menghadapi intimidasi tanpa perlu pembelaan. Bukan cuma itu, pernyataan tersebut dan juga kalimat ralatnya telah mencederai nurani serta akal sehat publik.

"Pada masa mendatang, selaku jubir presiden seharusnya memiliki perspektif yang empatik dan menjamin hak masyarakat yang sama di mata hukum," tambahnya.

Terakhir, para akademisi komunikasi menyatakan membersamai Tempo dan jurnalis serta aktivis dalam melawan represi politik otoritarian era Jokowi dan Prabowo. Produk jurnalisme berkualitas seperti
investigasi Tempo adalah pasokan informasi bagi warga negara agar tetap kritis.

Ancaman terhadap Tempo yang kesekian kali dan terhadap
jurnalis, aktivis sosial dan aktivis mahasiswa di seluruh Indonesia sama halnya dengan ancaman terhadap kebebasan akademik sejak akhir periode Joko Widodo pada 2024.

Pada awal 2024 hingga pelaksanaan Pilpres, puluhan akademisi terutama
Guru Besar mendapat ancaman dan dibungkam. Berlanjutnya ancaman
menyasar media, jurnalis dan akademisi menunjukkan Indonesia yang kian gelap gulita dari sisi nilai-nilai dan praktik demokrasi. Pembungkaman atas kebebasan pers, berekspresi, dan juga berakademik adalah inkonstitusional karena melanggar UUD Negara Republik Indonesia, terutama pasal 28F.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us