Tuberkulosis di Indonesia Tertinggi Kedua se-Dunia, Ini Langkah Pemda DIY

- Kasus TB di DIY meningkat
- Temuan awal bantu percepat penanganan
- Kurangi potensi penularan
Yogyakarta, IDN Times – Kasus penyakit Tuberkulosis (TB) di Indonesia menempati posisi kedua di dunia. Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY), Pembajun Setyaningastutie, menjelaskan banyak faktor yang menjadi pemicu banyaknya kasus TB.
“Kasus TB di Indonesia adalah terbanyak kedua se-dunia. Kalau kita bicara TB, lingkungan iya, perilaku iya. Termasuk beberapa hal, kebersihan lingkungan, rumah-rumah yang kumuh itu pemicu juga, terus kebiasaan merokok,” ujar Pembajun Setyaningastutie, saat Pertemuan Ilmiah Khusus Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PIK PDPI) XVIII, di Hotel Tentrem Yogyakarta, Jumat (5/9/2025).
1. Kasus TB di DIY

Pembajun mengungkapkan untuk DIY temuan kasus TB pada 2023 ada 6.915 kasus, sedangkan pada tahun 2024 hampir 7.000 kasus. Berbagai upaya pun dilakukan untuk menekan kasus TB. Salah satunya kerja sama antara Pemda DIY dengan PDPI. “Kita mengedukasi masyarakat melalui PKK. Menyadarkan bahwa penyakit ini bisa dikurangi, sepanjang kita semua sadar bahwa ini untuk kepentingan bersama,” ujar Pembajun.
Pembajun mengingatkan bahwa pengobatan penyakit ini tidak sebentar. Diharapkan ketika ditemukan kasus, orang bisa ditindaklanjuti untuk diobati, bukan justru menghilang. Ia juga mengingatkan untuk tidak memberi stigma pada penderita TB. “TB jangan lalu dijauhi. Justru dirangkul untuk diobati, karena kalau enggak, dia akan ke mana-mana. Kalau dikucilkan nanti jadi tidak punya motivasi untuk sembuh,” ungkap Pembajun.
2. Temuan awal bantu percepat penanganan

Ketua Umum PDPI, Arief Riadi Arifin menjelaskan angka kasus TB yang tinggi di Indonesia mencerminkan peningkatan penemuan kasus (case finding) dan bukan berarti kegagalan sistem. Upaya menemukan kasus lebih banyak dinilai penting untuk menurunkan penularan dan komplikasi penyakit.
Dirinya juga menjelaskan bahwa kerja sama yang dijalin dengan Pemda DIY menunjang layanan publik, terutama layanan kesehatan masyarakat. Dirinya juga menegaskan bahwa TB adalah penyakit yang bisa disembuhkan.
“TB itu prinsipnya penyakit yang bisa diobati. Rata-rata penyembuhannya 6 bulan. Jadi jangan sampai muncul stigma orang takut lalu tidak mau datang periksa. 6 bulan itu ada namanya fase intensif 2 bulan, ada fase lanjut itu selama 4 bulan. Setiap fase akan dilakukan evaluasi,” ungkapnya.
3. Kurangi potensi penularan

Sementara itu, Sekjen PDPI, Anna Rozaliyani menggarisbawahi ketika lebih cepat menangani TB, berarti juga mengurangi potensi penularan. “Mengurangi efek karena infeksi TB itu terutama pada anak-anak, orang tua,” jelas Anna.
Anna mengatakan bahwa saat ini skrining TB lebih awal, sehingga bisa dilakukan terapi pencegahan TB. “Jadi kasus-kasus yang infeksinya laten, ada infeksi tapi belum menunjukkan gejala, kita segera tangkap segera kita obati,” ucapnya.
Ketua Panitia PIK PDPI, Hendris Utama Citra Wahyudin menjelaskan strategi yang dijalankan di DIY yakni active case finding atau jemput bola ke masyarakat. Langkah ini membuat kasus TB bisa terlihat lebih tinggi, namun capaian yang baik dalam penemuan kasus,” jelasnya.