Paylater Jadi Andalan Anak Muda, Awas Potensi Bom Waktu!

- Potensi bom waktu jika tak disertai literasi keuangan
- Kemudahan bisa menjadi jebakan finansial bagi Gen Z dan Milenial
- Peran kampus untuk edukasi literasi keuangan dan pengelolaan keuangan pribadi
Yogyakarta, IDN Times - Tren penggunaan PayLater di Indonesia terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Data OJK mencatat total utang PayLater mencapai Rp30,36 triliun pada November 2024, didorong oleh tingginya minat pengguna muda seperti Gen Z dan Milenial yang semakin mengandalkan layanan ini untuk transaksi harian.
Namun, pakar menyebut kemudahan ini ternyata menyimpan potensi bahaya. Seperti apa potensi bahaya yang dimaksud dan bagaimana mengantisipasinya?
1. Potensi bom waktu jika tak disertai literasi keuangan

Dosen Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Lela Hindasah, menilai maraknya penggunaan layanan Paylater perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi “bom waktu” ekonomi jika tidak disertai literasi keuangan yang baik.
“Dalam sistem Paylater, masyarakat terdorong untuk berbelanja melebihi kemampuan riilnya. Jika tingkat gagal bayar meningkat, dampaknya bisa meluas hingga memengaruhi stabilitas sistem keuangan nasional,” ujar Lela, Senin (13/10/2025) dilansir laman resmi UMY.
2. Kemudahan bisa menjadi jebakan finansial

Menurutnya, layanan Paylater menawarkan kemudahan yang justru bisa menjadi jebakan. Berbeda dengan kartu kredit yang memerlukan verifikasi ketat, Paylater memungkinkan pengguna bertransaksi hanya dengan satu klik tanpa jaminan yang jelas. Padahal, bunga efektif layanan ini sering kali lebih tinggi daripada kartu kredit, ditambah biaya administrasi dan denda keterlambatan yang sering diabaikan pengguna.
Fenomena ini paling banyak ditemukan di kalangan Generasi Z dan mahasiswa yang terbiasa dengan gaya hidup digital serta budaya serba instan. “Generasi ini tumbuh di era promo, cashback, dan diskon musiman yang membuat belanja terasa menyenangkan dan seolah tanpa risiko,” tambah Kepala Galeri Bursa Efek Indonesia (BEI) FEB UMY tersebut.
3. Peran kampus untuk edukasi

Lela mengingatkan, kebiasaan berutang tanpa kemampuan mengelola keuangan bisa berdampak panjang, mulai dari stres akibat tagihan, turunnya produktivitas, hingga rusaknya riwayat kredit pribadi. Karena itu, ia menekankan pentingnya peran kampus dalam membentuk karakter finansial mahasiswa melalui kegiatan literasi keuangan, edukasi pasar modal, dan pelatihan perencanaan keuangan pribadi.
“Teknologi keuangan seharusnya menjadi alat bantu, bukan sumber masalah. Dengan pemahaman yang benar, Paylater bisa dimanfaatkan secara sehat tanpa menjerumuskan pengguna ke lingkaran utang yang merugikan, baik bagi individu maupun perekonomian,” pungkasnya.