Weaving Hope, Menenun Pengharapan dari Mollo NTT ke Vatikan

- Seniman Yogyakarta, Maria Tri Sulistyani, membawa karya "Weaving Hope" ke Vatikan sebagai peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Takhta Suci.
- Kain tenun dari Mollo menjadi simbol perlawanan terhadap kerusakan lingkungan dan pesan ekologis di tengah perayaan Natal.
- Partisipasi Indonesia dalam pameran ini merupakan wujud diplomasi budaya dan persembahan tulus bagi Kanak-Kanak Yesus serta Indonesia.
Yogyakarta, IDN Times - Di antara barisan pilar marmer buah karya Gian Lorenzo Bernini di Lapangan Santo Petrus, sebuah kisah dari timur Indonesia bergaung dan ikut mewarnai suasana Natal Vatikan.
Indonesia pertama kali hadir dalam The International Exhibition 100 Presepi in Vatican, dengan pameran gua Natal yang sudah menjadi tradisi panjang Gereja Katolik.
Tak sekadar hadir, delegasi Indonesia di pameran seni yang diselenggarakan Dikasteri Evangelisasi, jadi rangkaian Jubilee is Culture ini, datang membawa kisah tentang tangan-tangan perempuan, alam yang dirawat, dan harapan yang terus ditenun.
Sejak 8 Desember 2025 hingga 6 Januari 2026, lebih dari seratus diorama Natal dari berbagai penjuru dunia mengisi ruang pamer di Vatikan. Karya yang berasal dari 23 negara Eropa, Amerika hingga Asia ini saling berjejer dan menghadirkan tafsir kelahiran Yesus dari sudut budaya yang berbeda.
1. Weaving Hope, Keluarga Kudus ditopang tangan dari segala penjuru

Indonesia diwakili seniman Yogyakarta, Maria Tri Sulistyani sebagai pendiri Papermoon Puppet Theatre. Karyanya hadir di momen yang berlapis makna: peringatan 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Takhta Suci, serta menggaung seirama dengan motto Yubileum 2025, yakni Peregrini in Speranza atau Peziarah Pengharapan.
Maria menamai karyanya Weaving Hope atau Menenun Pengharapan. Sebuah instalasi nativitas berukuran 135 x 135 x 65 sentimeter, yang lahir dari perjumpaannya dengan kisah para ibu penenun di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Di tangan mereka, menenun bukan sekadar kerja, melainkan cara merawat alam, identitas, dan martabat hidup.
Dalam instalasi tersebut, Keluarga Kudus tidak berdiri sendiri., mereka ditopang oleh tangan-tangan yang datang dari berbagai arah. Tangan milik penenun, petani, gembala, pedagang sayur, hingga tangan tiga orang majus yang berjalan jauh membawa persembahan.
"Tangan ini juga melambangkan bahwa kebaikan datang ketika kita mau memulainya," kata Maria dalam keterangan yang diterima IDN Times, Rabu (24/12/2025).
2. Pesan ekologis dari Tanah Mollo
Nuansa Mollo terasa kuat lewat kain tenun yang membalut figur Keluarga Kudus. Mollo bukan sekadar nama tempat. Dalam pemaknaan masyarakat setempat, Mollo berarti perempuan dari gunung yang dipercaya leluhur untuk menjaga batu, mata air, dan hutan.
Selama berbulan-bulan, para perempuan Mollo menenun di kaki Gunung Mutis, wilayah yang sejak 1999 menghadapi ancaman pertambangan.
Bagi perempuan Mollo, merusak alam sama halnya dengan mengusik keseimbangan mereka untuk mempertahankan ruang hidup dan sumber pengetahuan sekaligus identitas diri.
"Bagi saya, kain tenun ini menjadi lambang perlawanan," kata Maria.
Dalam imajinasinya, Maria melihat peristiwa kelahiran Yesus hari ini ditemani oleh mama-mama penenun dari Mollo. Tafsir ini sekaligus menjadi cermin bagi kondisi dunia saat ini, termasuk Indonesia yang tengah bergulat dengan alih fungsi hutan dan kerusakan lingkungan.
Kata Maria, hutan yang sedianya jadi tempat tinggal bagi jutaan spesies makhluk hidup, kini dibabat habis dan digantikan oleh tumbuhan satu jenis.
Hutan yang semestinya menjadi paru-paru dunia kini kian menyusut, digantikan mesin berat yang mengoyak perut bumi. Pesan ekologis ini bergema kuat di tengah perayaan Natal.
"Bumi yang kita tinggali hari ini, bukanlah tempat hidup yang sedang dalam kondisi baik-baik saja. Ribuan tahun yang lalu, Yesus juga lahir di tempat yang tidak baik-baik saja, Ia lahir di sebuah kandang, dan dalam bayang-bayang teror Herodes yang ingin membunuhnya. Jika bisa memilih, tak akan ada seorang perempuan pun mau memilih kandang sebagai tempat melahirkan," ujarnya.
Karya delegasi Indonesia tak hanya hadir sebagai instalasi statis. Patung-patung nativitas tersebut juga 'hidup' melalui pertunjukan teater boneka oleh Papermoon Puppet Theatre. Pentas digelar dua kali, salah satunya di KBRI Takhta Suci, disaksikan para duta besar, diplomat, perwakilan organisasi internasional, rohaniwan, dan umat paroki.
3. Persembahan tulus bagi Kanak-kanak Yesus dan Indonesia

Partisipasi Indonesia dalam pameran ini turut melibatkan Program Studi Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (USD), yang punya peran dalam pendalaman konseptual, riset budaya, serta kerangka teologis, dan sosial dari karya instalasi.
Ketua Program Doktor Kajian Budaya USD, G. Budi Subanar, SJ, menyebut penggunaan kain tenun Mollo sebagai simbol yang sangat kuat untuk solidaritas penjelmaan Yesus di Hari Natal.
"Apalagi dikaitkan dengan Peringatan 75 Tahun Hubungan Diplomasi Indonesia-Vatican, sekaligus merupakan penutupan tahun yubile ‘Peziarah Pengharapan’. Kehadiran persepio ‘Weaving Hopes’ dalam Cento Presepi in Vaticano menjadi wujud diplomasi budaya, dalam terang iman," imbuhnya.
Ketua Delegasi Indonesia, Nina Handoko menuturkan perjalanan ke Vatikan ini dijalani dengan semangat kebersamaan dan pengorbanan. Para performer sepakat tampil tanpa honor, memaknai keikutsertaan mereka sebagai persembahan tulus bagi Kanak-Kanak Yesus dan untuk Indonesia.
Bagi Nina, partisipasi ini lebih dari sekadar kehadiran seni di panggung dunia. Ini adalah cara Indonesia menyampaikan pesan damai dan harapan, selain memperkuat ikatan antarbangsa lewat bahasa universal budaya.
"Di momen Natal yang penuh kehangatan ini, kami berharap semangat kebersamaan dan kasih dari Indonesia dapat menyebar ke seluruh dunia, menjadi pengingat bahwa perdamaian dan cinta kasih adalah hadiah terindah yang bisa kita bagikan," harap Nina.


















