5 Poin yang Mendesak Dibenahi dalam Reformasi Polri Menurut PSKP UGM

- Perbaikan model pendidikan kepolisian, pemahaman HAM, meritokrasi rekrutmen, transparansi, dan pengawasan lembaga penting untuk reformasi Polri.
- Sistem rekrutmen berbasis meritokrasi diperlukan untuk menghindari kolusi dan nepotisme dalam penerimaan anggota Polri.
- Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan kelembagaan juga harus diperkuat agar Polri bisa lebih profesional dan bersih dari politik serta bisnis.
Sleman, IDN Times – Presiden Prabowo Subianto membentuk Komite Reformasi Polri sebagai langkah perbaikan di tubuh kepolisian. Dorongan reformasi ini muncul menyusul masih adanya praktik kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat, termasuk kasus meninggalnya Affan yang tertabrak kendaraan taktis saat aksi demonstrasi akhir Agustus lalu. Peristiwa tersebut memicu gelombang tuntutan publik terhadap perubahan dan keadilan.
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Achmad Munjid, menyatakan mendukung inisiatif ini jika dijalankan secara menyeluruh. “Saya kira kita semua harus menyambut baik inisiatif Presiden untuk melakukan reformasi Polri. Yang paling penting setelah ini direncanakan, dibentuk tim, itu bagaimana caranya supaya reformasi Polri itu betul-betul terlaksana dan terlaksana secara substansial, bukan cuma sebagai program yang di permukaan, tapi substansinya sebetulnya belum ke mana-mana,” ujarnya, Senin (29/9/2025) dilansir laman resmi UGM.
1. Lima hal utama yang harus dibenahi

Munjid menekankan ada lima poin penting yang harus segera dibenahi di tubuh Polri, yakni perbaikan model pendidikan kepolisian, penguatan pemahaman soal HAM, meritokrasi dalam rekrutmen, transparansi dan akuntabilitas lembaga, serta perlunya pengawasan kelembagaan. Menurut Munjid, masalah mendasar dalam pendidikan kepolisian tercermin dari praktik kekerasan yang masih kerap digunakan aparat dalam menyelesaikan persoalan. Selain itu, dalam penegakan hukum dan penanganan masalah keamanan, seharusnya polisi tidak selalu mengedepankan kekerasan.
Oleh sebab itu, ia menilai seluruh aparat dari tingkat atas hingga bawah perlu memiliki pemahaman komprehensif mengenai HAM. Kurangnya pemahaman ini, katanya, menjadi alasan mengapa kekerasan masih mudah terjadi. “Tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai pilihan yang dominan, apalagi pilihan yang pertama,” imbuhnya, dilanir laman resmi UGM.
2. Rekrutmen berbasis meritokrasi

Munjid juga menyoroti sistem penerimaan anggota Polri yang menurutnya masih sarat kolusi dan nepotisme. Hal ini harus diubah dengan sistem meritokrasi atau berbasis kemampuan. “Kalau masuknya saja sudah begitu, orang harus mengeluarkan banyak uang, nanti ketika sudah jadi, seperti masuk akal kalau kemudian mereka mencari cara untuk mendapatkan uang,” tegasnya.
Menurutnya, reformasi di sektor ini menjadi penting agar anggota kepolisian yang direkrut adalah mereka yang benar-benar berkompeten, bukan karena modal uang atau koneksi.
3. Transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan kelembagaan

Selain pendidikan, HAM, dan rekrutmen, agenda penting reformasi juga mencakup transparansi dan akuntabilitas Polri. Munjid menjelaskan, publik seringkali tidak bisa meminta pertanggungjawaban ketika ada pelanggaran hukum yang dilakukan aparat.
Ia juga menegaskan perlunya membersihkan kepolisian dari keterlibatan dalam politik maupun bisnis. Untuk itu, pengawasan kelembagaan harus diperkuat agar Polri bisa lebih profesional. “Kalau polisi mau profesional, dia tidak boleh menjadi alat politik, dia tidak boleh menjadi alat bisnis,” ingatnya.
4. Reformasi harus berjalan serentak dengan lembaga hukum lain

Munjid menegaskan, reformasi Polri tidak akan maksimal bila tidak diikuti reformasi pada lembaga penegak hukum lain. Jika tidak dilakukan bersamaan, maka agenda supremasi hukum hanya akan berhenti di slogan.
Ia mengingatkan bahwa kekuatan anti-reformasi masih berjalan secara sistematis. Tanpa reformasi substansial, menurutnya, sulit mengembalikan citra kepolisian yang saat ini berada di titik terendah.
“Polri, termasuk para pimpinan dan pejabat terkait, harus bijaksana melihat reformasi ini sebagai kesempatan emas untuk mengemban tanggung jawab profesionalnya secara bermartabat,” tutupnya.
Komite Reformasi Polri yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto rencananya akan diisi sembilan orang anggota. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi memastikan salah satunya adalah mantan Menko Polhukam Mahfud MD, sementara nama lainnya termasuk seorang mantan Kapolri masih menunggu pengumuman resmi. Mahfud MD sendiri telah menyatakan kesediaannya bergabung, dengan menekankan perlunya perbaikan pada aspek aparat dan kultur di tubuh kepolisian.