Pilkada Jadi Ajang Teror Lima Tahunan Bagi Politikus Perempuan

- Perempuan menghadapi tantangan berupa diskriminasi, penilaian terhadap status rumah tangga, dan biaya besar untuk ikut Pilkada.
- Budaya patriarki dan pandangan miring terhadap perempuan menjadi penghalang bagi mereka dalam politik.
- Jumlah perempuan yang maju di Pilkada masih rendah, namun ada upaya dari beberapa partai politik untuk memberikan kesempatan pada perempuan.
Maju sebagai calon pemimpin daerah saat Pilkada bagi seorang perempuan seperti mendapat teror dalam siklus lima tahunan.
Endah Subekti Kuntariningsih mengaku kehidupan pribadinya, sebagai janda diungkit-ungkit saat maju di pesta rakyat sebagai calon pemimpin di Kabupaten Gunungkidul. Puluhan tahun menjadi kader PDIP, dan saat ini menjabat sebagai ketua DPRD Gunungkidul, tetap saja ia mendapatkan serangan bernada miring.
"Wah jangan milih janda, jangan milih perempuan, perempuan itu kanca wingking, kita tidak bisa dipimpin perempuan, imam itu harus laki-laki. Itu pasti keluar. Kedua, jangan pilih perempuan, dia itu kafir, gak berjilbab, kan gitu!" ungkap Endah kepada IDN Times, Jumat (10/5/2024).
Anehnya hal tersebut hanya didengar Endah saat tahun politik. "Kalau pas tidak punya agenda politik, tidak ada isu kayak gitu. Tetapi sebentar lagi (saat pilkada) dipastikan pasti ada. Siapa sih yang mau jadi janda? Tapi apakah saya takut? Tidak. Perempuan harus kuat, harus mampu berdansa dengan kesulitan!” tegasnya.

Perempuan berusia 48 tahun ini pernah maju dalam Pilkada Gunungkidul pada 2015 lalu. Berpasangan dengan Djangkung Sudjarwadi sebagai calon Bupati, Endah kalah dalam Pilkada Gunungkidul di tahun 2015. Saat itu, Djangkung dan Endah diusung PDIP.
Tak hanya penilaian soal status rumah tangganya, perempuan yang memutuskan maju dalam Pilkada 2024 ini mengaku harus menyiapkan dana yang tak sedikit untuk ikut Pilkada. Namun lagi-lagi, ia mendapatkan pertanyaan miring mengenai asal uang yang digunakannya untuk berkampanye.
“Biasanya orang berpikir, bahwa orang (yang) pintar mencari duit itu laki-laki, kan begitu. Selama ini perempuan ibu rumah tangga, kalau bukan perempuan penunggang kuda, wah saya pastikan gak bisa nyalon Pilkada. Dalam arti perempuan karier yang dia punya sumber penghasilan, sehingga berani untuk mempertaruhkan itu. Saya single, janda, suami saya meninggal, jadi tidak ada pertanggungjawaban pada suami,” ujarnya.
Endah membeberkan untuk mengikuti Pilkada diperlukan dana yang tidak sedikit. Di tahun 2015, saat dirinya maju sebagai calon Wakil Bupati Kabupaten Gunungkidul, terdapat 2.900 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Gunungkidul dan setiap saksi dibayar Rp200 ribu, sehingga biaya untuk saksi mencapai miliaran.
“Ditambah biaya sosialisasi di 1.431 dusun, kampanye di 18 kecamatan, pembuatan alat peraga kampanye kaus, bendera, baliho, rontek. Semua itu harus clear berapa biayanya. kemudian kampanye akbar, kampanye akbar itu biasanya lima dapil ya, sekali kampanye Rp80 juta harus clear, kampanye pusat di kabupaten satu tempat harus clear. Belum yang bantuan sosial. Ini yang menjadi beban berat bagi seorang perempuan saat Pilkada,” terangnya.
Tingginya biaya sebagai calon kepala daerah, juga disampaikan mantan Wakil Bupati Sleman tahun 2010-2015, Yuni Satia Rahayu. Ia tak memungkiri penunjukan dirinya maju sebagai calon bupati bersama Sri Purnomo, salah satunya disebabkan kepemilikan uang untuk membiayai politik.
"Ya mungkin saya dianggap mempunyai uang untuk maju Pilkada, paling tidak untuk pembayaran saksi, punya uang itu kan dalam rangka itu sebenarnya. Di dalam Pemilu itu kan kalau bagi PDI Perjuangan adalah bagaimana saksi itu bisa dibiayai," papar Yuni.
Berdasarkan data yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri tahun 2019, pasangan calon kepala daerah bisa mengeluarkan biaya ratusan miliar hingga triliunan rupiah untuk biaya pemilihan kepala daerah (pilkada). Minimal biaya yang harus dikeluarkan paslon berkisar Rp25 miliar hingga Rp30 miliar.

Tak pakai jilbab hingga rambut berwarna cokelat menjadi bahan gunjingan. Saat menjalani kampanye, perempuan tak luput dilihat dari penampilan. Yuni yang kala itu mempunyai warna rambut kecokelatan mengaku kaget lantaran rambut pendeknya menjadi bahan gunjingan.
“Saya dulu kan gak berjilbab, rambut saya waktu itu warna dark brown atau cokelat-cokelat begitulah. Jadi ada kader tua PDI Perjuangan itu sampai WA saya, mbok kalau mau maju Pilkada itu rambutnya disemir hitam, katanya. Ternyata rambut saya pada 2010 itu menjadi masalah begitu. Ya tapi, ya sudahlah, akhirnya rambut saya cat hitam. Kalau pertemuan akhirnya saya pakai kerudung,” tutur Yuni saat ditemui IDN Times di kediamannya di kawasan Maguwoharjo, Kabupaten Sleman, Sabtu (4/5/2024).
Di saat kampanye mendatangi perkampungan, perempuan yang saat ini menjadi anggota DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini mengaku juga mendapatkan penilaian berbeda lantaran memiliki mata sipit.
“Wah kok begini nih wakilnya Pak Sri ini, terus mata saya sipit, wow itu China. Ditambah anggapan perempuan tidak bisa jadi pemimpin, lho kok gosipnya baru muncul bahwa perempuan gak bisa jadi pemimpin begitu. Jadi pemahaman itu dibolak-balik sesuai kepentingan politik mereka, kalau saya melihatnya seperti itu,” terang Yuni.
Satu lagi hal yang menurutnya aneh, yaitu pandangan tentang pemimpin perempuan yang dinilai tidak mampu bekerja. Saat menang Pilkada 2010, atau di masa awal jabatannya, Yuni mengakui para aparatur sipil negara (ASN) melihat dirinya tidak mampu bekerja. Pandangan ini melekat dalam benaknya sesaat menjabat sebagai wakil bupati.
“Ya saya di depan ASN ini kan pertama dipandang tidak tahu, begitu kan. Alah paling gak tau ini, paling cuma untuk wakil-wakilan. Waktu itu saya sebagai wakil bupati,” keluhnya.
1. Tak hanya di DIY, ini yang dialami bakal calon perempuan di Pilkada Jateng

Tak hanya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), budaya patriarki yang menghambat perempuan untuk terjun dalam Pilkada pun terjadi di Jawa Tengah.
Bupati Klaten periode 2017-2021 dan 2021-2024, Sri Mulyani; Bupati Sukoharjo periode 2021-2024, Etik Suryani, dan Bupati Sragen periode 2015-2024, Kusdinar Untung Yuni, mengalami sejumlah kesulitan saat terjun ke Pilkada. Ketiganya mengaku pernah menghadapi narasi perempuan tak dapat menjadi pemimpin, saat masa pencalonan, kampanye, bahkan setelah terpilih menjadi Bupati.
Pandangan ini menurut Yuni bisa menjadi penghalang bagi perempuan untuk dapat mencalonkan diri dan terpilih dalam Pilkada. “Dalam persoalan ini, perempuan optimistis saja, kita masih memiliki peluang karena pandangan terhadap pemimpin perempuan tidaklah tunggal,” ungkap Kusdinar Untung Yuni, Kamis (2/5/2024).
Tantangan lain yang dihadapi perempuan saat terjun ke politik yaitu tuntutan untuk menegosiasikan identitas gendernya di ranah publik dan privat. Tak seperti laki-laki, ketiganya merasa perempuan lebih rentan dengan serangan karena identitas gendernya, penilaian kehidupan pribadi, dan cara pandang masyarakat yang bias mengenai pemimpin perempuan.
Konsekuensinya, perempuan lagi-lagi harus bekerja dua kali lipat untuk membuktikan layak menjadi pemimpin. “Perempuan cenderung harus melakukan negosiasi lebih beragam, termasuk menyangkut peran domestik di keluarga,” ucap Mulyani.
Ia meyakini, tantangan ini bisa dilalui oleh perempuan. “Perempuan kini jangan hanya merasa bagian dari konco wingking (selalu di belakang laki-laki), tetapi bisa ikut berperan aktif dan nyata dalam pembangunan di wilayah atau bahkan untuk Indonesia,” pesannya.
Baik Sri Mulyani, Etik, maupun Yuni, tak menampik bahwa perempuan yang diidentifikasi mempunyai keterkaitan atau latar belakang kekerabatan cenderung dinilai secara berat sebelah, yaitu tidak memiliki kemampuan kepemimpinan dalam menentukan kebijakan. Penilaian ini dirasa jarang dialami oleh laki-laki yang sama-sama punya latar belakang kekerabatan. Akibatnya, terjadilah pengabaian atas pengalaman dan kemampuan yang dimiliki perempuan.
Sebelum maju sebagai Bupati Sragen, Yuni yang merupakan putri mantan Bupati Sragen dua periode (2001-2011), Untung Wiyono, harus melek politik sebelum terjun mengikuti pemilihan legislatif. Perempuan yang juga seorang dokter itu rutin turun ke warga untuk menangkap aspirasi. Saat Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) Sragen 2009, Yuni mendapatkan sekitar 19 ribu suara. Angka ini merupakan jumlah terbanyak dibanding politikus lainnya. Namun, ketika maju Pilkada Sragen 2011, ia kalah.
”Saya berproses dari bawah, ikut mencalonkan diri dari legislatif. Maju Pilkada pertama kalah, tetapi saya tetap terus berproses, dan maju lagi di Pilkada berikutnya (2015) hingga berhasil memimpin Sragen sampai dua periode,” terang Yuni,
Sementara, pengalaman mengamati kegiatan politik sudah dilalui Sri Mulyani dan Etik Suryani cukup lama ketika mendampingi suami masing-masing saat masih menjadi orang pertama di Klaten dan Sukoharjo.
Sri Mulyani adalah istri dari Sunarna, mantan Bupati Klaten dua periode (2005-2010 dan 2010-2015). Dalam perjalanannya, perempuan kelahiran Mei 1977 itu pernah menjadi penanggung jawab Ketua TP PKK Klaten pada 2005-2015, Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) MWC 3 Klaten pada 2010-2013, dan Ketua Karang Taruna Klaten mulai 2015.
Ketika menjabat sebagai Wakil Bupati Klaten, ia mulai mendapat kepercayaan dalam kepengurusan partai. Sri Mulyani tercatat sempat menjadi Wakil Ketua Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan PDIP Klaten pada 2017-2019 dan sejak 2019 dipercaya menjadi Ketua DPC PDIP Klaten.
Berbekal pengalaman menjadi Bupati Klaten dua periode dan terjun di organisasi tersebut, ia mantap memberanikan diri ingin ikut serta dalam Pilkada Jateng 2024 ini.
Sri Mulyani diketahui telah mengambil formulir pendaftaran bakal calon Wakil Gubernur Jateng 2024 di Kantor DPD PDIP Jateng, Kota Semarang, pada Senin (27/5/2024), lalu mengembalikannya pada Kamis (30/5/2024).
”Setelah dua periode di Klaten, saya berharap bisa kembali menjadi pelayan masyarakat dengan cakupan yang lebih luas. Kita tunjukkan bahwa kaum perempuan tetap bisa menjalani kodratnya di rumah tangga, sambil berupaya memberikan yang terbaik kepada warga masyarakat,” ucap Mulyani ketika ditanya wartawan di Klaten soal pertimbangannya maju dalam Pilkada Jateng, Senin (27/5/2024).
Etik Suryani, yang merupakan istri dari Wardoyo Wijaya, mantan Bupati Sukoharjo dua periode (2010-2015 dan 2016-2021), juga terlibat beragam organisasi sebelum maju Pilkada 2020.

Pada tahun pertamanya menjadi Ketua TP PKK Sukoharjo, menyabet Juara 1 Lomba Pemanfaatan Tanaman Obat Keluarga (Toga) dari TP PKK Provinsi Jateng. Lalu, dalam lomba tingkat nasional, TP PKK Sukoharjo berhasil kembali sebagai Juara 1 dan meraih “Prakarti Utama I”.
Etik secara resmi mendaftarkan diri untuk mengikuti penjaringan bakal calon bupati lewat PDIP. Ia sudah mengembalikan formulir pendaftaran di Kantor DPC PDIP Sukoharjo pada Senin (20/5/2024).
”Saya niatkan melanjutkan ikhtiar demi Sukoharjo yang makmur, Sukoharjo yang hebat,” ungkapnya.
Di samping itu, saat menjalankan pemerintahan, Etik dianggap lebih sat-set dibandingkan sang suami. Ia juga dinilai relatif menghindari perdebatan yang politis dan mengambil keputusan berdasarkan hal-hal yang sudah ditetapkan dalam peraturan.
Saat ini Etik mengantongi dukungan berbagai elemen masyarakat termasuk kelompok pemuda lintas agama untuk maju Pilkada. Ia dianggap berhasil menjadi simbol pemersatu masyarakat lantaran dinilai mampu merangkul berbagai kalangan.
2. Sejak reformasi, emansipasi perempuan berpolitik di Pilkada tumbuh lambat

Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Arie Sujito berpandangan, setelah era reformasi, ruang artikulasi emansipasi perempuan tumbuh, tapi urusan politik mengalami kelambatan. “Urusan Pilkada itu mengalami pelambatan karena proses regenerasi politik di partai politik itu lambat. Kelambatan ini sebetulnya ya karena sisa-sisa patriarki, tapi sisi yang lain juga jebakan politik uang itu membuat politik perempuan tidak berdaya. Akibatnya adalah lambat sekali."
Menurut Arie hal-hal tersebut bisa dihilangkan, hanya saja proses yang terjadi tidak instan. Selain itu, cara yang bisa dilakukan untuk menghapus stigma adalah dengan prestasi.
“Perempuan harus membuktikan ketika dia berkuasa dia harus membuat terobosan, sehingga ini secara bertahap juga akan berproses, tetapi sekali lagi paradigma kita mengenai emansipasi politik perempuan itu peluangnya sangat terbuka. Nah yang ingin saya tekankan di sini bersihkan Pilkada itu dari stigmatisasi, dan itu harus dibuktikan perempuan bisa tampil dan bersihkan dari kecenderungan politik kotor yang hanya membeli posisi pakai duit gitu.”
Fenomena tumbuhnya inisiatif agar perempuan maju di Pilkada, menurut Arie menjadi hal yang positif karena perempuan bisa punya ruang untuk berproses. Namun hal ini terganggu oleh pelabelan kehadiran perempuan itu yang kebetulan merupakan istrinya mantan bupati, dari kalangan istrinya elite politikus partai.
“Jadi kerangkeng oligarki itu selalu menghambat. Sehingga apa ide pokok untuk membangun emansipasi politik itu selalu dihambat, dan di situlah saya kira tantangan kita, bahwa ruang perempuan untuk bisa berartikulasi menjadi PR buat kita,” ujar Arie.
Menurutnya terdapat perbedaan antara perempuan yang maju sebagai caleg perempuan dan pilkada. “Faktanya banyak caleg-caleg perempuan yang jadi dan sukses itu, saya cek ya. Tapi urusan Pilkada, perempuan kurang sukses karena dia dihadirkan untuk menjadi bagian di dalam proses apa yang disebut dinasti politik. Ini yang harus dirombak.”
Untuk bisa keluar dari pandangan miring terhadap perempuan yang bakal maju di Pilkada, Arie menuturkan perempuan harus berani bersuara, tentang masalah yang ada di daerahnya. “Perempuan harus berani bersuara tentang apa yang akan dibawa (untuk) perbaikan atas daerahnya. Perempuan harus berani punya keyakinan bahwa kalau dia menggunakan gagasan, pengetahuan, komitmen nilai, pasti banyak yang dukung. Memang harus berani.”
Jumlah perempuan yang maju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2015 – 2020 masih rendah. Berdasarkan hasil temuan Cakra Wikara Indonesia (CWI), dalam laporan Dinamika Kepemimpinan Perempuan di Tingkat Lokal, persentase rata-rata pencalonan kepemimpinan perempuan selama empat kali pilkada dimulai tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020, adalah 8,6 persen.

Data kuantitatif menunjukkan peningkatan jumlah calon perempuan kepala daerah dan wakil kepala daerah pada Pilkada Serentak 2015, 2017, 2018, 2020.
Meski jumlah pencalonan perempuan dalam pilkada sangat rendah jika dibandingkan dengan pencalonan laki-laki, data yang dihimpun Cakra Wikara Indonesia (CWI) dalam empat masa pilkada serentak menunjukkan tren peningkatan persentase pencalonan perempuan.
Yolanda Panjaitan dari Cakra Wikara Indonesia, lembaga riset yang mendorong upaya tata kelola politik yang adil gender dan partisipatif, menyebutkan jumlah perempuan yang dicalonkan di dalam Pilkada jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. Dalam temuan riset CWI terlihat bahwa mereka kerap menemui tantangan, menemui penolakan di kepengurusan partai di tingkat lokal. Di tempat calon perempuan ini maju mencalonkan diri.
“Biasanya ini yang perempuan bukan kader partai ya, terutama yang bukan kader partai. Tapi kader partai pun kerap menemui penolakan dari pengurus di tingkat lokal. Di tingkat kabupaten/kota itu sudah punya calon sendiri yang akan mereka jagokan biasanya ini laki-laki begitu,” Yolanda menjelaskan.
Di dalam riset CWI, perempuan baik sebagai kader maupun yang bukan yang berhasil mendapatkan tiket pencalonan dari partai baik di kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi, rata-rata mempunyai hubungan yang baik, kedekatan dengan pengurus partai di tingkat pusat.
“Karena pencalonan boleh datang dari kepengurusan partai di tingkat lokal, tetapi rekomendasi untuk secara resmi partai mengajukan calon harus datang dari pengurus pusat, DPP di tingkat pusat. Jadi memang hambatan terbesar bagi perempuan untuk mencalonkan diri itu memang datang dari partai politik. Tentu ada tantangan lain, tetapi memang yang kami temukan saat ini hambatan dan tantangan terbesar itu datang dari partai politik sendiri,” tutur Yolanda, Jumat (14/6/2024).
Data yang dipaparkan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait Rekapitulasi hasil Pilkada tahun 2015 – 2018 menunjukkan 92 perempuan dari 1.084 kepala dan wakil kepala daerah terpilih. Data ini menunjukkan perempuan yang terpilih persentasenya hanya 8,49 persen.
Jumlah perempuan yang menjadi kepala daerah, dari 542 kepala daerah, sebanyak 48 perempuan memenangkan Pilkada. Satu menjadi gubernur, 39 bupati dan delapan wali kota.
Untuk posisi wakil bupati, 44 orang dari 452 terpilih atau delapan persen. Sebanyak 10 perempuan menjadi wakil wali kota, 32 wakil bupati dan tiga wakil gubernur.
3. Jarak penyelenggaraan Pilkada dengan Pilpres terlalu dekat, pengamat politik pertanyakan partai dan komitmen gender

Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati mengatakan, jarak yang berdekatan antara Pilpres dan Pilkada, mengakibatkan parpol tidak mempunyai waktu banyak untuk memilih kadernya untuk muncul sebagai bakal calon.
“Tidak ada waktu bagi partai politik untuk membuat eksperimen pada pencalonan, bikin ide aneh-aneh itu sudah tidak ada. Dalam konteks itu kita bisa memperkirakan untuk menunjuk bakal calon bakal selektif.”
Hal ini menjadikan peluang perempuan untuk maju sebagai bakal calon di Pilkada Kota Yogyakarta makin kecil. Platform dan ideologi partai mengenai kepentingan perempuan tidak tampak dalam pemilihan perempuan sebagai calon kepala daerah. Hal ini ditakutkan makin mengukuhkan sifat partai yang lebih mementingkan pertimbangan popularitas dan elektabilitas calon.
“Partai cenderung lebih memilih dan menampilkan calon yang dikenal warga. Misalnya artis, atau nama lainnya yang sudah dikenal warga Kota Yogyakarta,” kata Mada.
Di tengah mepetnya waktu Pileg, Pilpres dan Pilkada seorang politikus perempuan mencoba maju pencalonan dengan memanfaatkan momentum Pilkada. Mariana Ulfah Jova, maju kontestasi sebagai bakal calon dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dosen komunikasi di salah satu universitas swasta di Jogja ini mengaku PKB melihat dirinya lantaran aktivitasnya di media sosial dan pernah menjadi calon legislatif tahun ini. Dirinya juga pernah berlaga di Kabupaten Bantul untuk mencoba merebut salah satu kursi di DPRD. Sayangnya, Jova kalah suara saat Pemilihan Legislatif 2024 lalu.
Di Kota Yogyakarta, baru tahun ini terdapat satu bakal calon perempuan yang maju Pilkada. Jova mengaku sejarah baru Pilkada di Kota Yogyakarta telah dimulai, dengan kehadiran dirinya.
“Sejarah itu sudah dimulai, dan ini seharusnya ditangkap oleh partai-partai yang lain juga, yang katanya selama ini visi misi para calon wali kota dan wakil wali kota itu katanya keberpihakan ke perempuan. Kita baru bisa lihat sekarang, karena kan ada muncul nama perempuan di balon Pilkada Kota Yogyakarta.”ujarnya.
“Setahu saya selama ini wali kota dan wakil wali kota itu selalu laki-laki. Nah itu yang kemudian, saya sepakat untuk memberikan warna baru istilahnya seperti itu,” dia menambahkan.
4. Sejarah kontestasi perempuan di Pilkada Kabupaten dan Kota di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

Dibandingkan kabupaten lainnya, Kota Yogyakarta dan Kulon Progo terlambat dalam hal kepemimpinan perempuan sebagai kepala dan wakil daerah.
Kepala dan wakil bupati pertama di Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah Badingah yang menjadi pionir sebagai kepala daerah perempuan. Ia memimpin Kabupaten Gunungkidul menjadi bupati menggantikan pasangannya, Sumpeno Putro, yang meninggal dunia setelah tiga bulan menjabat Bupati Gunungkidul pada November 2010. Badingah sukses menjadi Bupati selama dua periode.
Badingah adalah istri almarhum Wasito Donosaroyo, politikus Golkar yang meninggal tahun 2002. Sebagai istri politikus Golkar, Badingah pernah aktif memimpin organisasi sayap perempuan Golkar, Himpunan Wanita Karya Gunungkidul periode 1999-2004.
Setelah Wasito meninggal, Badingah maju di Pilkada 2005. Dia menjadi calon wakil bupati (cawabup) mendampingi Suharto. Duet Suharto dan Badingah berhasil mengalahkan lawan-lawannya, dan memimpin Gunungkidul periode 2005-2010.
Periode selanjutnya, Badingah kembali maju sebagai cawabup di Pilkada 2010, ia memilih berpasangan dengan Sumpeno Putro.
Duet Sumpeno-Badingah, memimpin Gunungkidul periode 2010-2015. Namun di tengah perjalanan kepemimpinan, Sumpeno meninggal dunia, dan Badingah otomatis menempati jabatan bupati dimulai tahun 2011.
Selesai menjalankan tugas periode 2010-2015, Badingah belum berniat untuk berhenti di dunia politik. Ia pun maju kembali di pilkada serentak 2015. Kali ini ia maju sebagai calon bupati berpasangan dengan Immawan Wahyudi.
Setelah Badingah, Sri Surya Widati, menjadi Bupati Bantul periode 2010-2015. Ia menggantikan posisi suaminya Idham Samawi yang menjabat dua periode di Kabupaten Bantul.
Di Kabupaten Sleman, terdapat nama Kustini Sri Purnomo yang berhasil menjadi Bupati Sleman periode 2020 - 2024. Ia menggantikan posisi suaminya Sri Purnomo yang menjabat Bupati Sleman dua periode.
Adapun sejumlah posisi wakil bupati yang dijabat perempuan adalah Yuni Satia Rahayu yang menjabat Wabup Sleman periode 2010-2015 dan Sri Muslimatun yang menjadi Wakil Bupati Sleman periode 2015-2020.
5. Parpol klaim beri ruang untuk perempuan di Pilkada

Arie Sujito menampik anggapan rendahnya jumlah perempuan menjadi bupati atau wali kota dan wakilnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebabkan kentalnya pengaruh kultur di Jogja dan campur tangan dari Keraton Jogja. Arie menilai politik di Jogja relatif terbuka.
“Sebenarnya kalau mau jujur perempuan itu kan loyal dalam hal berpolitik. Perempuan itu kalau dijadikan sebagai basis cukup kuat, cuma sekali lagi dirusak oleh money politic, politik dinasti, yang kecenderungannya adalah anti politik perempuan,” terang Arie.
Hal ini menurutnya merupakan tugas partai politik, diperlukan reformasi di tubuh parpol, hingga warga sebagai pemilih. "Saya membayangkan, dari mana pintunya me-reform partai politik terus kemudian citizenship, kesadaran emansipasi politik gagasan, politik ide, politik keadilan dan sebagainya itu harus ditumbuhkan dalam kalangan pemilih. Maka itu peran-peran yang semestinya di arena publik itu harus bisa dikapitalisasi antara legislatif dan eksekutif, itu kalau bisa berjalan beriringan."
Sekretaris DPD PDIP DIY, Totok Hedi mengeklaim partainya membuka kesempatan selebar-lebarnya kepada semua kader untuk maju dalam Pilkada. Menurutnya, partai membuka kesempatan seluas-luasnya kepada kader perempuan untuk ikut konstelasi politik. “Prinsip PDIP itu tidak mengenal gender, tidak mengenal agama. Wong Ketua Umum kita saja perempuan,” ujar Totok saat ditemui IDN Times di kediamannya di Sleman, Selasa (4/6/2024).

Totok mengungkapkan berdasarkan pengamatannya masalah mental menjadi salah satu kendala perempuan untuk terjun dalam Pilkada. “Menurut saya faktor mental. Kalau perempuan akan maju Pilkada tentunya dia akan konsultasi dulu dengan suami, apakah bisa maju dalam Pilkada atau tidak,” kata Totok.
Persoalan mental, yang dimaksud Totok, perempuan untuk maju dipengaruhi oleh lingkungan sekitar, seperti harus seizin suami serta memperoleh dukungan pendanaan dari suami jika sudah berkeluarga.
Ketua DPW PKB DIY Agus Sulistiyono pun berpendapat sama. Partainya memberikan ruang bagi perempuan untuk maju dalam Pilkada. Dalam Pilkada di DIY pada tahun ini ada satu perempuan yang mendaftar di Pilkada Kota Jogja dan satu perempuan di Pilkada Kabupaten Sleman.
"Sebenarnya kami memberikan ruang yang sama ya, tidak hanya untuk kaum laki-laki, tapi kaum perempuan juga membuka ruang yang sama untuk ikut daftar di PKB sebagai bakal calon baik bupati, wakil bupati, wali kota maupun wakil wali kota. Hanya faktanya memang peminat perempuan ini kan relatif sedikit ya. Kami sebagai partai kan tidak bisa paksa-paksa, karena ini sifatnya sangat pribadi dan kami selalu mendorong agar bakal calon itu bisa dari perempuan juga," kata Agus.
Agus mengaku tidak mengetahui faktor yang menyebabkan perempuan tidak banyak terjun ke Pilkada. "Bebannya apa ya saya gak tahu persis, tapi memang tampaknya keinginan untuk perempuan berkompetisi juga tidak terlalu besar keinginannya, mungkin lho ya. Yang pasti partai PKB memberi ruang yang sama kepada perempuan."
Partainya menurut Agus, tidak memberikan kriteria khusus bagi mereka yang minat untuk maju Pilkada.
"Gak ada persyaratan khusus untuk laki-laki dan perempuan, ya mendaftar saja melalui online maupun offline gitu. Bisa melalui DPC DPW bisa melalui DPP. Proses berikutnya, DPP juga melakukan proses uji kompetensi, uji kelayakan dan kepatutan, terus kalau memang masuk uji kelayakan kepatutan, ya proses berikutnya ada seleksi lebih lanjut, secara administratif memenuhi, ada tahapan berikutnya, diseleksi.”
Peliputan "Perempuan dan Pilkada" ini merupakan kolaborasi antara Konde.co, Harian Fajar, Kompas.com, Tirto.id dan IDN Times
Jurnalis: Febriana Sintasari (IDN Times), Irawan Sapto Adhi (Kompas.com), Irfan Amin (Tirto.id), Sakinah Fitrianti (Harian Fajar), Anita Dhewy dan Luviana Ariyanti (Konde.co)