Nasib TVRI dan RRI: Efisiensi Anggaran dan Solusi Pendanaan Baru

- LPP di Indonesia, seperti TVRI dan RRI, menghadapi tantangan besar akibat pengurangan anggaran yang berdampak pada kualitas penyiaran dan ketidakpastian nasib pekerjanya.
- Pendanaan LPP di 56 negara mengalami pemotongan hingga 40 persen antara 2011 hingga 2015, disebabkan oleh perubahan ideologi atau rezim pemerintahan dan krisis ekonomi, termasuk dampak pandemi COVID-19.
Yogyakarta, IDN Times - Lembaga Penyiaran Publik (LPP) di Indonesia, seperti TVRI dan RRI, tengah menghadapi tantangan besar akibat pengurangan anggaran yang berimbas pada kualitas penyiaran dan ketidakpastian nasib pekerjanya.
Wacana pemangkasan tenaga kerja sempat muncul, namun akhirnya dibatalkan dengan pertimbangan efisiensi seharusnya dilakukan di level pimpinan, bukan pekerja. Isu ini dibahas dalam diskusi Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) bertajuk “Model Pendanaan LPP TVRI dan RRI yang Berkelanjutan: Belajar dari Kasus Efisiensi Anggaran 2025” pada Jumat (14/03/2025) lalu.
1. Tuntutan kemandirian pendanaan

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti PR2Media, Rahayu, menyoroti bahwa tren pemotongan anggaran bagi LPP tidak hanya terjadi di Indonesia. European Broadcasting Union (EBU) mencatat bahwa antara 2011 hingga 2015, pendanaan LPP di 56 negara mengalami pemotongan hingga 40 persen. Faktor utama penyebabnya adalah perubahan ideologi atau rezim pemerintahan dan krisis ekonomi, termasuk dampak pandemi COVID-19.
Namun, berbeda dengan media swasta, LPP memiliki fleksibilitas terbatas dalam mencari sumber pendanaan karena regulasi yang membatasi iklan dan mewajibkan mereka fokus pada pelayanan publik. Untuk mengatasi keterbatasan ini, beberapa negara menerapkan model pendanaan hibrida. KBS di Korea Selatan, misalnya, memanfaatkan KBS World untuk menggaet pengiklan global. Sementara itu, SBS Australia memungkinkan pengiklan menjangkau hampir seluruh populasi negara tersebut.
“LPP harus menemukan cara agar tetap relevan bagi masyarakat dan membangun kepercayaan publik terhadap layanan mereka,” ujar Rahayu. Ia menekankan pentingnya reformasi tata kelola, penguatan riset untuk inovasi penyiaran, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran.
2. Alternatif model pendanaan

Mantan Dewan Pengawas RRI dan TVRI, M Kabul Budiono, menggarisbawahi tantangan yang dihadapi LPP dalam menjalankan fungsi idealnya. Beberapa negara telah bereksperimen dengan model pendanaan alternatif. Salah satunya adalah model langganan (subscription-based), seperti yang sedang dipertimbangkan di beberapa lembaga penyiaran di Eropa. Ada pula opsi pendanaan dari anggaran pemerintah yang diintegrasikan ke dalam sistem perpajakan, seperti yang diterapkan di Inggris untuk BBC.
Menurut Kabul, permasalahan utama di Indonesia bukan hanya soal model pendanaan, tetapi juga terkait regulasi yang membatasi fleksibilitas LPP dalam mengelola keuangan. “Sejak awal, isu iuran penyiaran belum pernah direalisasikan, padahal itu bisa menjadi solusi jangka panjang bagi TVRI dan RRI,” katanya.
Ia juga mengusulkan pendekatan mirip Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Hukum Milik Negara (BHM) agar LPP tetap independen tetapi memiliki fleksibilitas dalam mencari pendanaan. “Kalau TNI bisa memiliki BLU untuk kebutuhan tertentu, mengapa LPP tidak bisa memiliki skema serupa?” tambahnya.
3. Wacana penggabungan LPP, ancaman atau solusi?

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Direktur Jenderal Ekosistem Digital, Edwin Hidayat Abdullah, melontarkan wacana penggabungan TVRI, RRI, dan kantor berita Antara menjadi satu entitas. "Perlu diatur model penggabungan kelembagaan TVRI, RRI, dan ANTARA beserta peta jalannya," ungkap Edwin dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI tentang pengaturan penyiaran multi platform alam perubahan Undang-Undang Penyiaran.
Bahkan Anggota Komisi I DPR RI, Yulius Setiarto, menekankan pentingnya perubahan LPP dengan status sebagai Lembaga Penyiaran Negara. Menurutnya, dengan perubahan tersebut, kedua media tersebut betul-betul bisa menjadi pengawal kepentingan negara. Para narasumber menanggapi hal ini dengan kritis.
Rahayu menegaskan bahwa mengubah LPP menjadi Lembaga Penyiaran Negara justru merupakan langkah mundur. “Prinsip utama LPP adalah independensi dari kekuasaan dan kepentingan komersial. Jika menjadi lembaga negara, maka ada risiko besar intervensi politik yang mengancam kebebasan pers,” ujarnya.
Kabul menambahkan bahwa penggabungan tiga lembaga tanpa kajian mendalam bisa berujung pada ketidakefisienan. “Dulu sudah ada gagasan ini sejak era Wakil Presiden Budiono, tapi tidak pernah terealisasi karena belum ada riset yang meyakinkan,” imbuh dia. Ia menegaskan bahwa setiap perubahan besar harus didasarkan pada studi yang komprehensif, bukan sekadar asumsi bahwa penggabungan akan memperkuat lembaga penyiaran publik.
4. LPP butuh reformasi menyeluruh

Baik Rahayu maupun Kabul sepakat bahwa solusi utama bagi keberlanjutan LPP bukan hanya soal pendanaan, tetapi juga reformasi tata kelola. Partisipasi publik dalam produksi konten, transparansi dalam pengelolaan keuangan, serta peningkatan kualitas program siaran menjadi langkah krusial untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat.
Dengan urgensi yang semakin meningkat, masa depan TVRI dan RRI akan sangat ditentukan oleh bagaimana kebijakan pemerintah dan DPR dalam memperbarui regulasi penyiaran. Reformasi LPP harus memastikan bahwa lembaga ini tetap berorientasi pada kepentingan publik dan tidak berubah menjadi alat propaganda negara.