2 Dekade Sekolah Tumbuh Rayakan Pendidikan Inklusif Lewat Reunion

- Perjalanan panjang Sekolah Tumbuh berdiri sejak 2005 dengan 46 murid pertama
Yogyakarta, IDN Times -Yayasan Edukasi Anak Nusantara yang menaungi Sekolah Tumbuh menandai dua dekade perjalanannya dengan sebuah pameran reflektif bertajuk Reunion, di Jogja National Museum (JNM), Jumat (17/10/2025) – Minggu (26/10/2025).
Bagi Ketua Yayasan Edukasi Anak Nusantara, KPH Wironegoro pameran ini bukan sekadar perayaan, melainkan bentuk pertanggungjawaban dan perjalanan panjang sebuah visi pendidikan inklusif.
“Yang dipamerkan hari ini adalah perjalanan kami selama 20 tahun. Dimulai dari satu sekolah dasar kecil di Jetis, Yogyakarta, yang hanya punya 46 murid, hingga kini menjadi empat SD, satu TK, satu SMP, satu SMA, dan satu perguruan tinggi setingkat D1,” ungkap KPH Wironegoro, Jumat (17/10/2025) malam.
1. Perjalanan panjang Sekolah Tumbuh

Begitu memasuki area pameran, pengunjung disambut sebuah prasasti berisi nama 46 murid pertama Sekolah Tumbuh, berdiri sejak tahun 2005. Dari situlah, kata Wironegoro, perjalanan panjang itu dimulai.
Tim kurator menggali arsip lama, mengunjungi setiap kampus, hingga membongkar gudang untuk mengumpulkan karya anak-anak, baik hasil tugas pribadi, karya pameran, hingga properti dari kegiatan di dalam dan luar negeri.
“Yang membuat kami terharu, bahkan sebagian dari 46 nama di prasasti itu sudah saya temui lagi, sekitar enam atau tujuh orang. Hubungan kami seperti keluarga besar, bukan cuma antar murid tapi juga dengan orang tua mereka,” jelasnya.
Kini, Sekolah Tumbuh menaungi sekitar 830 siswa yang tersebar di empat kampus di Yogyakarta dan Jakarta. Perjalanan dua dekade ini penuh tantangan, namun tetap menyenangkan. Semua usaha dan perjuangan seakan terbayar ketika melihat para alumninya mampu menembus panggung dunia.
2. Pendidikan inklusif untuk Indonesia yang beragam

Lebih dari sekadar reuni, pameran ini ingin menyampaikan pesan penting tentang pendidikan inklusif di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. “Kami ingin menunjukkan bahwa sekolah inklusif bukan hanya ruang belajar bagi semua, tapi juga tempat untuk tumbuh bersama dalam keberagaman,” kata KPH Wironegoro.
KPH Wironegoro juga menambahkan, nilai-nilai karakter dan budaya lokal selalu menjadi fondasi utama dalam pendidikan di Sekolah Tumbuh. “Anak-anak kami dididik agar mampu beradaptasi dengan segala perubahan, namun tetap berakar pada filosofi Hamemayu Hayuning Bawana dan Sangkan Paraning Dumadi,” ujarnya.
3. Pameran yang Lahir dari Riset dan Arsip

Sementara itu, Angki Purbandono, seniman dan kurator pameran Reunion, menjelaskan bahwa pameran ini merupakan hasil riset mendalam selama sebulan penuh. Ia menelusuri setiap jenjang pendidikan di Sekolah Tumbuh, dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
“Saya riset ke semua kampus, ngobrol dengan guru, murid, tukang masak, OB, sampai pendiri sekolah. Dari situ saya menemukan bahwa keistimewaan Sekolah Tumbuh ada pada entrepreneurship, museum school, global citizenship, dan permaculture,” jelasnya.
Angki juga mengungkapkan bahwa pameran ini sengaja disusun tidak seperti pameran seni pada umumnya. Ia ingin menghadirkan pengalaman yang lebih hidup, jauh dari sekadar lukisan atau karya dua dimensi.
“20 tahun ini ternyata Tumbuh punya ekspresi yang lain terhadap harta karunnya atau arsipnya, yang menurut saya arsip itu akan mengundang kembali alumni, orang tua, murid. Jadi bagaiman sekolah Tumbuh tidak hanya tumbuh begitu saja, tapi ada proses,” ujar Angki.