Hilangnya Ruang Hidup dan Warisan Anak-Cucu Warga Wadas

Ruang hidup hilang di balik iming-iming kesejahteraan

Yogyakarta, IDN Times - Ruang kehidupan milik ratusan warga Wadas diklaim telah direnggut imbas pertambangan batuan andesit untuk Bendungan Bener, Purworejo, Jawa Tengah.

Disadari atau tidak, warga terdampak proyek telah terkena konsekuensi dari aktivitas pertambangan kuari untuk Proyek Stategis Nasional (PSN) yang sekarang ini masuk tahap rencana ini.

"Dampak pertambangan yang akan dilakukan di Wadas itu tidak main-main. Dampak itu bisa dirasakan sebelum pertambangan terjadi, baru rencana. Dialami terutama warga yang sudah menyerahkan tanah, secara paksa, sistemik," kata Sana Ulaili di Kantor LBH Yogyakarta, Kotagede, Kota Yogyakarta, belum lama ini.

1. Ruang kehidupan dirampas

Hilangnya Ruang Hidup dan Warisan Anak-Cucu Warga WadasWarga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)

Sana merupakan salah seorang pendamping masyarakat, khususnya perempuan Wadas yang tergabung Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih. Lembaga yang diketuainya itu mengawal perjuangan menjaga bumi Wadas tetap utuh.

Sana berujar, dampak pertambangan dirasakan oleh ratusan warga penerima uang ganti rugi (UGR) lahan terdampak. Pelepasan hak atas tanah kepada negara berimplikasi pada hilangnya akses ke sumber penghidupan, khususnya mereka yang profesinya petani, pengolah pangan, atau hasil pertanian.

Warga yang sudah 'dilemahkan' lewat skema UGR sehingga menjadi pro pada penyerahan hak atas kepemilikan tanah mayoritas berasal dari daerah Kaliancar II, Karang, dan Krajan. Kata Sana, mereka semestinya adalah penyadap karet, penganyam bambu, pengolah gula aren, kopi, madu, minyak kelapa murni, dan produsen tanaman empon-empon.

SP Kinasih mengklaim berkomunikasi dengan warga baik yang pro maupun kontra proyek pertambangan ini.

Mereka yang pro kini tak lagi beraktivitas seperti sedia kala dan hanyut dengan framing kesejahteraan berupa renovasi hunian, modernisasi perabot rumah tangga, belanja otomotif, dan lain sebagainya.

Padahal pencairan UGR tahap I, lanjut Sana, juga belum tuntas seluruhnya. Lebih-lebih tahap II yang masih sulit diterawang. Dengan kata lain, warga belum mengantongi uang ganti rugi namun tak lagi bisa mengakses sumber penghidupannya. Alih profesi sesuai profesi sebelumnya butuh modal lahan produksi, sementara proses pembayaran yang belum selesai hanya membuat mereka menjadi pengangguran.

"Kecuali warga yang masih mempertahankan tanahnya. Aktivitas itu masih bisa dilakukan sama yang kontra karena masih punya akses ke lahan mereka," ucap Sana.

Apalagi para warga perempuan, klaim Sana, mereka kerap diperdengarkan narasi berbau misoginis. Harus patuh keputusan suami selaku pemilik lahan. Serangan psikis lain adalah dengan tarik ulur memainkan ketidakpastian tenggat waktu penyerahan tanah dan ancaman tak kebagian UGR.

"Perempuan pedesaan itu kan ruang politik, ekonominya itu bagaimana dia punya keleluasaan mengelola hasil bumi. Kuasa politiknya itu menentukan tanahnya mau ditanam apa. Secara otomatis bahkan ketika pertambangan ini belum dilakukan saja, ketika tanah sudah diserahkan, politik, sosial, budaya itu hilang," paparnya.

Kala tambang baru sebatas rencana, perempuan Wadas telah kehilangan ruang untuk mengambil keputusan terkait dirinya, ekonomi keluarganya, dan menyangkut pengelolaan sumber daya alam secara sewajarnya, bukan eksploitatif layaknya cara-cara tambang kelak.

"Kalau kita bicara dampak pertambangan, dampak ini sebenarnya gak cuma dampak ekonomi, tapi dampak yang paling signifikan adalah hilangnya ruang kehidupan, terutama ruang kehidupan perempuan pada aspek politik.

Baca Juga: Gempadewa Gugat Dirjen Minerba ESDM soal Tambang di Wadas

2. Warisan anak-cucu terenggut

Hilangnya Ruang Hidup dan Warisan Anak-Cucu Warga WadasWarga Wadas satu persatu dipanggil untuk mengurus pencairan uang ganti rugi atas proyek Bendungan Bener. (IDN Times/Dok Humas Pemprov Jateng)

Hasil riset valuasi ekonomi dari SP Kinasih bersama Wadon Wadas menyebutkan, rata-rata warga Wadas berpenghasilan Rp75 juta per orang dalam setahun. Ketika pertambangan ini terjadi, warga akan kehilangan miliaran rupiah. Dalam 50 tahun ke depan atau hingga masa anak cucu, kekayaan Desa Wadas bisa sampai Rp40 triliun.

SP Kinasih melihat UGR yang dijanjikan tak sebanding dengan valuasi ekonomi berdasarkan praktik dan pengalaman warga selama ini lakukan. Sana mencontohkan untuk nominal UGR tahap pertama senilai Rp8 miliar sampai Rp10 miliar.

"Itu akan bertahan berapa lama? Apalagi dikurangi dengan skema-skema leasing yang mendorong mereka untuk belanja kebutuhan yang sebenarnya orientasinya lebih ke lifestyle. Artinya berapa persentase kehilangan ekonomi yang akan mereka rasakan. Artinya Rp8 M sampai 20 M itu paling habis sampai sekitar 5 tahun selesai," katanya.

Skema ganti rugi ini mengesampingkan aspek kerugian dari suatu mata pencaharian. Pasalnya, penghitungannya tak lebih dari nilai ekonomi tanah.

"Ini sebenarnya adalah bentuk dari pembodohan. Kalau kita mau bicara kesejahteraan, kesejahteraan yang mana. Apakah kesejahteraan itu berhenti pada simbolisasi pola-pola leasing yang sekarang dilakukan?" tutupnya.

Ngatinah, selaku perwakilan Wadon Wadas menyatakan penolakan proyek penambangan kuari ini hingga kapan pun. Ia khawatir jika bidang tanahnya jadi lokasi tambang kelak maka mata pencahariannya akan hilang, demikian pula jaminan penghidupan untuk anak cucu di masa depan.

"Kalau Desa Wadas jadi ditambang, ekonomi kami gimana, anak cucu gimana. Masa depannya gimana," katanya.

Senada, Marsono, salah satu sesepuh Desa Wadas tak ingin ruang hidupnya dirusak dan dirampas. Negara, bagi dia, semestinya menyejahterakan rakyat dan bukan justru menyengsarakan. Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Yogyakarta di lain sisi terus mengingatkan bahwa Wadas tak seharusnya menjadi lokasi pertambangan, mengingat desa di sana menjadi salah satu wilayah dengan tingkat kerentanan tinggi bencana longsor.

3. Gugat ke PTUN Jakarta

Hilangnya Ruang Hidup dan Warisan Anak-Cucu Warga WadasSeorang anak laki-laki duduk di sebuah pos kamling yang ada di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, Rabu (9/2/2022) (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Siswanto, dari Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempadewa) mengatakan suara masyarakat penentang pertambangan tak pernah digagas oleh pemerintah maupun pemrakarsa. Masyarakat bahkan tak pernah dilibatkan secara utuh sejak tahun 2017 atau ketika masih dalam tahap permohonan izin lingkungan dan sosialisasi AMDAL.

Hingga pada momen pencairan UGR tahap I pun suara penolakan, menurut Siswanto, tak pernah sampai ke telinga pemerintah maupun pemrakarsa.

"Kami yang selama ini berjuang mengutuhkan desa seolah kami tidak dianggap. Suara-suara kami yang kontra tidak didengar saat kami perlu diperhatikan negara. Akan tetapi selama ini kami selalu dibohongi dan dimonopoli," katanya.

Gempadewa bersama Solidaritas untuk Wadas akhirnya juga telah melayangkan gugatan terhadap Direktur Jenderal Mineral Batu Bara Kementerian ESDM ke PTUN Jakarta terkait penerbitan izin penambangan material batu andesit di Wadas untuk Bendungan Bener.

Daniel Al Ghifari selaku Kepala Divisi Advokasi LBH Yogyakarta sebagai pendamping hukum warga Wadas, mengatakan gugatan dilayangkan ke PTUN Jakarta, Senin (31/10) kemarin. Adapun izin penambangan tersebut tertuang dalam surat No.T-178/MB.04/DJB.M/2021 tertanggal 28 Juli 2021 yang ditandatangani Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Ridwan Djamaluddin.

Surat ini merupakan tanggapan terhadap surat Dirjen Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. PR.02.01-DA/758 tertanggal 24 Juni 2021 tentang Permohonan Rekomendasi Perizinan Penambangan untuk Kepentingan Sendiri PSN Pembangunan Bendungan Bener.

Gugatan dilayangkan menyangkut dugaan tindakan sewenang-wenang berupa 'penyelundupan hukum' yang dilakukan Dirjen Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM.

Daniel menjelaskan, surat Dirjen Minerba Nomor T-178/MB.04/DJB.M/2021 tanggal 28 Juli 2021 tentang Tanggapan atas Permohonan Rekomendasi Proyek Strategis Nasional Bendungan Bener, menyatakan bahwa pelaksanaan kegiatan pengambilan kuari untuk pembangunan Bendungan Bener oleh Dirjen Sumber Daya Air Kementerian PUPR tidak memerlukan izin di sektor pertambangan karena beberapa hal.

Pertama, karena pelaksana kegiatan pengambilan material kuari tidak termasuk kriteria pihak yang dapat diberikan izin di sektor pertambangan mineral sebagaimana pada Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 4 Tahun 2009.

"Karena dia bagian dari pemerintah, dia tidak termasuk dalam kriteria yang dapat diberikan izin. Mengacu UU berlaku, yang dapat diberikan izin itu badan usaha perseorangan dan koperasi. Jadi, karena dia bagian dari negara kemudian dia tidak bisa diberikan izin," kata Daniel.

Kedua, surat Dirjen Minerba juga menyatakan bahwa kegiatan pertambangan tak memerlukan izin lantaran hanya digunakan untuk kepentingan sendiri atau bukan untuk komersil.

"Di titik inilah kita anggap ini bermasalah. Apa yang dilakukan Dirjen Minerba dengan menerbitkan surat itu secara sewenang-wenang kemudian bilang ini gak butuh perizinan di sektor minerba," ungkapnya.

"Makanya kami kemarin Senin kita ajukan gugatan ke PTUN Jakarta terkait dengan pelanggaran-pelanggaran Dirjen Minerba dalam surat itu," sambung Daniel.

Baca Juga: Perilaku Warga Wadas Penolak Bendungan Bener Berubah Drastis: Rela Dapat Uang Segini

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya