Peneliti Pustral UGM: Zero ODOL Buka Peluang bagi Empty Backload

- Kebijakan zero ODOL dianggap baik oleh peneliti Pustral UGM, Arif Wismadi, karena dapat meningkatkan keselamatan dan menekan biaya pemeliharaan infrastruktur jalan.
- Arif menilai kebijakan tersebut memiliki sisi positif dan negatif, dengan potensi peningkatan biaya logistik namun juga peluang memanfaatkan empty backload untuk mengurangi biaya.
- Fenomena empty backload sering terjadi akibat ketidakseimbangan arus barang antar wilayah, sehingga perlu eksplorasi pendekatan baru dalam sistem logistik untuk mengoptimalkan rute dan efisiensi biaya.
Yogyakarta, IDN Times – Peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), Arif Wismadi, menilai kebijakan zero truk Over Dimension Over Load (ODOL) merupakan kebijakan yang baik. Soal dampak peningkatan biaya logistik, bisa mencari peluang dengan memanfaatkan empty backload.
“(Zero ODOL) Kebijakan baik yang sudah lama tertunda. Sudah terlalu sering kecelakaan terjadi melibatkan atau ditimbulkan dari kendaraan ODOL. Selain itu kendaraan ODOL juga meningkatkan biaya pemeliharaan infrastruktur jalan sampai 10 kali lipat,” ujar Arif, Jumat (27/6/2025).
1. Kebijakan zero odol

Di sisi lain kebijakan zero ODOL juga mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Arif menilai saat ada perubahan, pasti memang ada yang terdampak. Namun, yang terlihat turun ke jalan dan protes, belum tentu yang dirugikan.
“Dengan ODOL yang paling besar mencuri kesempatan adalah pemilik barang, yang memaksakan untuk mengangkut komoditas mereka melebihi batas dimensi dan beban maksimal. Tujuannya agar menekan biaya transport,” ucap Arif.
Arif mengatakan dengan larangan ODOL sebenarnya pemilik angkutan dan awak kendaraan akan dapat kesempatan ekonomi yang lebih tinggi karena pangsa pasar mereka bertambah. Ia juga menyinggung pemerintah harus tegas dalam aturan ODOL ini. “Bahwa tujuan baik harus diteruskan, jika ada implikasi negatif harus diselesaikan,” ucap Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu.
2. Sisi positif dan negatif

Arif menyebut jika kebijakan ini bisa diterapkan, tingkat keselamatan akan meningkat, dan akan menekan jumlah penyebab kecelakaan. “Sedangkan implikasi negatifnya adalah peningkatan biaya logistik akibat frekuensi angkutan barang yang bertambah,” kata Arif.
Ia melanjutkan bahwa untuk menekan peningkatan biaya, maka perlu dicari peluang. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan empty backload, atau angkutan barang yang kosong ketika kembali ke titik asal.
“Empty backload (Muatan kosong saat perjalanan balik) pada angkutan barang di Pulau Jawa bisa sangat signifikan, berkisar antara 30 persen hingga 50 persen tergantung pada jenis komoditas, rute, dan efisiensi logistik. Artinya banyak kendaraan kosong yang bisa dimanfaatkan oleh pemilik barang,” ujar Arif.
3. Manfaatkan empty backload

Arif menjelaskan fenomena empty backload sering terjadi karena ketidakseimbangan arus barang antar wilayah. Misalnya, barang dari pelabuhan ke daerah industri, tapi tidak ada muatan balik. Kemudian, kurangnya sistem logistik terintegrasi yang memungkinkan konsolidasi muatan. Serta, ketidaksesuaian antara jenis kendaraan dan kebutuhan muatan balik.
“Dalam konteks Jawa, terutama di koridor industri seperti Jakarta–Surabaya, banyak truk yang kembali kosong setelah mengantar barang ke daerah yang tidak memiliki komoditas ekspor balik. Ini menyebabkan inefisiensi biaya dan emisi karbon yang tinggi,” ungkap Arif.
Ia menyarankan pemerintah untuk eksplorasi pendekatan seperti platform digital berbasis komunitas untuk mencocokkan muatan balik. Selain itu, insentif fiskal bagi operator logistik yang mengoptimalkan rute, dan integrasi dengan sistem multimoda (kereta barang, tol laut, coastal shipping) untuk efisiensi biaya dan waktu.