Pakar UMY Nilai Sertifikat Tanah Elektronik Aman, Ini Alasannya

- Sertifikat elektronik lebih praktis dan aman
- Dilengkapi versi fisik dan keamanan berlapis
- Perlu waktu adaptasi dan evaluasi biaya
Yogyakarta, IDN Times - Penerapan sertifikat tanah elektronik yang dicanangkan pemerintah memicu respons beragam dari masyarakat. Kekhawatiran soal keamanan data, kesiapan sistem, hingga kemungkinan penyalahgunaan menjadi sorotan utama.
Meski begitu, pakar hukum pertanahan dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Indah Yuliana, menilai kebijakan ini sebagai inovasi positif yang membawa berbagai manfaat nyata.
1. Sertifikat elektronik dinilai lebih praktis dan aman

Indah menyatakan bahwa sertifikat elektronik memberikan kemudahan bagi proses administrasi pertanahan. Sistem ini memungkinkan data kepemilikan tanah diakses secara digital melalui aplikasi resmi “Sentuh Tanahku” milik Kementerian ATR/BPN.
“Saya sebagai praktisi yang setiap hari berhadapan dengan proses peralihan hak, pengecekan, dan pembebanan tanah, justru merasa sangat dimudahkan dengan sistem sertifikat elektronik,” ujarnya, Senin (4/8/2025) dilansir laman resmi UMY.
Ia menjelaskan, pemilik tanah dapat melihat lokasi, luas, dan status tanah hanya lewat ponsel. Sertifikat yang hilang pun tidak menjadi masalah besar karena seluruh data dapat ditelusuri kembali secara digital.
“Dulu, jika sertifikat hilang, itu bisa menjadi masalah besar. Sekarang, tinggal buka aplikasi, semua bidang tanah yang kita miliki langsung muncul di situ. Bahkan titik koordinatnya pun sudah tersedia,” jelasnya.
2. Dilengkapi versi fisik dan keamanan berlapis

Meski berbasis digital, sertifikat elektronik tetap memiliki versi cetak berupa secure paper dari BPN yang dilengkapi QR code. “QR code itu bisa langsung kita scan, dan saat itu juga kita tahu apakah sertifikat tersebut adalah edisi terakhir atau bukan,” ujar Indah.
Terkait keamanan, ia menyebut sistem telah dilengkapi pengamanan berlapis untuk menghindari risiko peretasan. Menurutnya, penggunaan sistem digital bahkan mampu menekan kesalahan manual dan potensi sertifikat ganda.
“BPN sudah mengantisipasi risiko digital, termasuk dari sisi keamanan data. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan. Justru sistem ini lebih meminimalkan human error dan potensi sertifikat ganda,” ungkapnya.
3. Perlu waktu adaptasi dan evaluasi biaya

Indah juga menyoroti proses transisi yang memerlukan waktu, terutama dalam validasi ulang dokumen tanah. Namun, ia mengakui kini sistem sudah jauh lebih cepat, salah satunya untuk penerbitan hak tanggungan yang bisa selesai dalam tiga hingga lima hari.
“Awalnya memang butuh waktu. Tapi sekarang setelah dua tahun berjalan, sistemnya sudah jauh lebih cepat dan efisien. Hak tanggungan misalnya, bisa terbit dalam waktu tiga sampai lima hari saja,” katanya.
Meski demikian, biaya konversi sebesar Rp150.000 dinilai masih membebani. “Kalau bisa diturunkan jadi Rp50.000, masyarakat pasti akan lebih antusias mengubah sertifikatnya menjadi elektronik. Apalagi ini adalah program nasional,” ucapnya.
Selain evaluasi biaya, Indah juga menegaskan pentingnya edukasi publik agar transformasi digital ini dapat diakses semua lapisan masyarakat. Menurutnya, literasi digital menjadi kunci agar program ini tidak hanya dimanfaatkan kelompok tertentu.
Ia berharap pemerintah turut memastikan pemerataan akses internet dan infrastruktur digital. “Edukasi kepada masyarakat sangat penting. Jangan sampai transformasi ini hanya dimengerti oleh kalangan tertentu saja. Pemerintah juga harus memastikan bahwa seluruh wilayah memiliki akses digital yang memadai,” tutupnya.