Dosen UGM Kritik RUU TNI, Bikin Hilang Lapangan Kerja Generasi Muda

- Dosen UGM menolak RUU TNI karena khawatir akan kembalinya dwifungsi militer era Orde Baru dan penambahan posisi sipil di kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif.
- Mimbar Bebas Menolak RUU TNI di Balairung UGM dihadiri oleh sejumlah mahasiswa dan dosen yang sepakat menilai revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI.
Sleman, IDN Times - Dosen Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yudistira Hendra tak sepakat dan mengkritik keras RUU TNI. Selain kecemasan akan lahirnya kembali dwifungsi militer bak era Orde Baru, Yudistira melihat substansi RUU TNI bakal menimbulkan konsekuensi pada lapangan pekerjaan di masa mendatang.
1. Generasi muda kekurangan lapangan pekerjaan

Kekhawatiran Yudistira ini menyangkut usulan penambahan posisi sipil di kementerian/lembaga yang bisa diduduki prajurit TNI aktif, dari yang sebelumnya 10 menjadi 16 lembaga.
"Karena bisa jadi itu (kementerian/lembaga) nanti akan diisi oleh orang-orang dari militer, pada akhirnya ini akan mengurangi lapangan juga bagi pekerjaan generasi muda," kata Yudistira saat mengikuti Mimbar Bebas Menolak RUU TNI di halaman Balairung, UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (18/3/2025).
2. Singgung impunitas dan nihil urgensi bahas RUU TNI

Dalam Mimbar Bebas ini, para peserta yang terdiri dari sejumlah mahasiswa dan dosen sepakat menilai revisi UU TNI bertentangan dengan agenda reformasi TNI, yang semestinya mendukung TNI menjadi tentara profesional sebagai alat pertahanan negara sebagaimana amanat konstitusi dan demokrasi.
Sepanjang sistem hukum impunitas terhadap TNI masih ada, maka pembicaraan apapun terkait peran TNI menjadi tidak relevan dan tak pernah bisa dipertanggungjawabkan.
"Artinya, tidak ada urgensinya membahas perubahan UU TNI. Apalagi jika prosesnya dilakukan secara tertutup dan tersembunyi di hotel mewah, bukan di rumah rakyat - Gedung DPR," bunyi pernyataan bersama para civitas.
3. Lima tuntutan mimbar bebas

Melalui Mimbar Bebas ini pula, terdapat lima poin tuntutan yang disuarakan oleh para mahasiswa dan dosen peserta aksi.
Pembacaan tuntutan ini dipimpin Dosen FIB UGM, Achmad Munjid; Dosen Hukum Tata Negara FH UGM, Herlambang Wiratraman; lalu Yudistira; kemudian Peneliti Pukat UGM, Hasrul Halili peneliti Pukat; Rektor UII, Fathul Wahid; dan Guru Besar Ilmu Komunikasi UII, Masduki.
Tuntutan pertama adalah mendesak pemerintah dan DPR membatalkan RUU TNI yang tak transparan dan terkesan terburu-buru serta mengabaikan suara publik.
Kedua, menuntut pemerintah-DPR menjunjung tinggi konstitusi dan tidak mengkhianati agenda reformasi dengan menjaga prinsip supremasi sipil serta kesetaraan di muka hukum, juga menolak dwifungsi TNI/Polri.
Ketiga, menuntut TNI/Polri, sebagai alat negara, melakukan reformasi internal dan meningkatkan profesionalisme untuk memulihkan kepercayaan publik.
Keempat, menuntut seluruh insan akademik di seluruh Indonesia segera menyatakan sikap tegas menolak sikap dan perilaku yang melemahkan demokrasi, melanggar konstitusi, dan kembali menegakkan agenda reformasi.
Kelima atau terakhir, mendorong dan mendukung upaya masyarakat sipil menjaga agenda reformasi dengan menjalankan pengawasan dan kontrol terhadap kinerja Pemerintah dan DPR.