Dosen Poltek Nuklir Beber Cara Cesium-137 Masuk ke Tubuh Manusia

- Prof. Anhar menjelaskan Cesium-137 (Cs-137) memiliki toksisitas rendah, tapi tetap berbahaya jika terhirup atau tertelan.
- Cs-137 bisa mencemari air dan tanah karena mudah menguap, dan penggunaannya umum di industri serta medis.
- Ia menekankan pentingnya dekontaminasi, pembatasan area tercemar, serta peningkatan pengawasan bahan radioaktif di pelabuhan dan fasilitas industri.
Yogyakarta, IDN Times – Paparan Cesium-137 (Cs-137) di Kecamatan Cikande, Kabupaten Serang, Banten, menjadi sorotan belakangan ini. Dosen Politeknik Teknologi Nuklir Indonesia (Poltek Nuklir), Prof. Anhar Riza Antariksawan, mengatakan Cesium-137 termasuk yang dapat dikategorikan sebagai bahan radioaktif yang toksisitasnya rendah, tetapi tetap memiliki dampak buruk.
Prof. Anhar mengatakan seberapa berbahaya paparan Cesium-137 tentu sebanding dengan seberapa besar radioaktivitas bahan radioaktif tersebut dan seberapa besar dosis yang diterima pada manusia dan lingkungan. “Sebetulnya Cesium-137 termasuk yang dapat dikategorikan sebagai bahan radioaktif yang toksisitasnya rendah, tetapi tetap memiliki dampak buruk. Terutama jika Cs-137 masuk ke dalam tubuh melalui jalur ingestif maupun inhalasi,” jelas Prof. Anhar, Rabu (8/10/2025).
1. Penjelasan tentang Cs-137

Dirinya mengungkapkan perlu diingat bahwa meski umur paro (umur radioaktif) Cs-137 adalah sekitar 30 tahun, namun di dalam tubuh juga ada mekanisme yang dikaitkan dengan umur paro biologi yang menunjukkan dalam berapa waktu bahan radioaktif tersebut dikeluarkan dari tubuh, misalkan melalui jalur urine.
“Untuk Cs-137 umur paro biologi sekitar 70 hari, artinya dalam sekitar 70 hari, separuh dari jumlah bahan radioaktif berkurang dari tubuh, apalagi jika ditangani dengan mengonsumsi prussian blue yang membantu mengikat Cs-137 dan mengeluarkan dari dalam tubuh” kata Prof. Anhar.
Cs-137 adalah pemancar beta, meski juga memancarkan gamma. Untuk pancaran beta, efek pada jarak dekat dari tempat Cs-137 terkumpul, tapi untuk pancaran gamma, memang memiliki jarak tempuh yang lebih jauh. Selain itu, Cs-137 di dalam tubuh pada umumnya tersebar, tidak ada tempat spesifik dalam organ tubuh tertentu.
Prof. Anhar mengatakan bahwa Cs-137 dapat menyusup ke rantai makanan atau sumber air karena dalam suhu kamar Cs-137 dapat berada dalam bentuk cair. Tapi, jika terikat dengan unsur klorida, akan membentuk semacam bubuk. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan investigasi terhadap tanaman dan sumur di sekitar terdeteksinya cemaran Cs-137 untuk memastikan bahwa Cs-137 belum mencapai sumber air yang ada di sekitar (terutama kalau sumber air tersebut untuk dikonsumsi) dan juga tanaman yang dikonsumsi. Beberapa jenis tanaman mudah menyerap Cs-137 (seperti bunga matahari) tapi ada yang sulit menyerap Cs-137.
2. Cs-137 merupakan material radioaktif

Lebih lanjut Prof. Anhar menjelaskan Cs-137 merupakan material radioaktif yang dihasilkan dari reaksi fisi Uranium-235 (U-235) dengan neutron. Pada umumnya diperoleh di bahan bakar nuklir yang telah diiradiasi atau sampel U-235 yang sengaja diiradiasi untuk diantaranya menghasilkan Cs-137.
“Bagaimana zat ini bisa mencemari lingkungan, tentunya banyak penyebab. Salah satu ketika beberapa dekade lalu beberapa negara di dunia melakukan percobaan senjata nuklir, salah satu bahan radioaktif yang dilepas dan dapat mencemari tanah akibat percobaan tersebut adalah Cs-137. Demikian pula saat terjadi kecelakaan reaktor di Chernobyl dan Fukushima Dai-ichi. Namun, untuk kasus di Cikande tidak terkait dengan hal tersebut, tentunya ada penyebab lain,” ujarnya.
Sepengetahuan Prof. Anhar bahwa saat ini beberapa institusi sedang melakukan investigasi terkait bagaimana Cs-137 bisa berada di Kawasan Cikande. Oleh karena itu, perlu ditunggu penjelasan resmi dari institusi tersebut, terutama dari Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten).
“Yang perlu dicatat, Cs-137 termasuk material yang mudah menguap (volatile) dengan titik didih sekitar 600 derajat celcius. Jadi, jika benar cemaran Cs-137 tersebut ditemukan di tempat peleburan besi dan besi yang dilebur tersebut yang tercemar Cs-137, maka akan mudah Cs-137 menguap dan menyebar di luar tempat peleburan. Namun, sekali lagi ini hanya sebatas kemungkinan. Bapeten sebagai badan pengawas semestinya dapat memberikan penjelasan lebih baik,” ungkap Prof. Anhar.
Cs-137 banyak digunakan di beberapa bidang, misalnya di bidang industri Cs-137. Digunakan untuk membantu pengukuran debit zat cair, ketebalan kertas, ketinggian zat cair di suatu proses yang sulit dilakukan oleh alat ukur lainnya. Demikian pula di kedokteran, Cs-137 digunakan untuk terapi (melalui penyinaran) kanker. Dalam penggunaan seperti itu, sebagai syarat keselamatan, Cs-137 hampir semuanya dikemas dalam bungkusan yang kuat.
3. Langkah yang bisa dilakukan

Menurut Prof. Anhar, saat ini yang terpenting adalah menjamin keselamatan pekerja dan masyarakat. Oleh karena itu, institusi yang memiliki tugas untuk mengelola kejadian ini harus segera melakukan upaya dekontaminasi daerah yang dinyatakan tercemar, selain itu Sampling terhadap beberapa orang, khususnya pekerja di Kawasan yang tercemar, dapat dilakukan. Dari hasil yang diperoleh dapat dikaji apakah ada kemungkinan lebih banyak pekerja dan sampai pada Masyarakat umum atau tidak. Untuk evakuasi, kemungkinan belum perlu dilakukan, tapi membatasi masyarakat untuk mencapai daerah yang dinyatakan tercemar, perlu dilakukan. Pada saat yang sama, institusi yang berwenang memberikan penjelasan pada masyarakat secara rutin bagaimana perkembangan penanganan dan sejauh mana paparan radiasi tersebut memberikan potensi bahaya atau tidak.
“Pada masyarakat tentunya diharapkan tidak khawatir secara berlebihan dan menghindar tempat yang dinyatakan tercemar. Sesungguhnya radiasi itu fenomena yang kita alami dari alam juga dan juga kita terima dalam beberapa tindakan kedokteran (seperti rontgen). Bahkan beberapa makanan secara alamiah juga mengandung bahan radioaktif. Sejauh tidak melebihi batas dosis yang tidak membahayakn, hal tersebut tidak memiliki dampak,” jelas Prof. Anhar.
Selain itu, harapan pada pihak-pihak terkait adalah untuk meningkatkan pengawasan, tidak hanya pada penggunaan bahan radioaktif yang sudah berizin, tapi juga pada tempat keluar masuk barang dari dan ke luar Indonesia, seperti di Pelabuhan. Beberapa tahun lalu, Bapeten dan Batan telah mendorong pemasangan portal monitor radiasi (radiation portal monitor, RPM) di beberapa Pelabuhan di Indonesia untuk memonitor jika ada barang masuk ke Indonesia yang mengandung bahan radioaktif.
“Bahkan, BATAN telah membuat prototipe RPM dan memasangnya di Kawasan Nuklir di Serpong dan Pasar Jumat yang diharapkan bisa diproduksi di Indonesia dan dipasang di tempat yang disebutkan di atas. Namun, hal tersebut belum terlaksana. Sudah saatnya, semua pemangku kepentingan terkait pengawasan bahan radioaktif (dan bahan nuklir) untuk bekerja sama tanpa harus menunggu kejadian lain terjadi,” ujarnya.