Caplok Sultan Ground, PT KAI Digugat Keraton Jogja Rp1.000

Intinya sih...
- Kasultanan Yogyakarta menggugat PT KAI terkait kepemilikan tanah yang sebenarnya adalah milik Kasultanan.
- Kuasa hukum menyatakan gugatan bukan untuk perebutan lahan, melainkan agar PT KAI taat pada aturan perundang-undangan.
- Gugatan dilayangkan demi menjaga perasaan masyarakat Yogyakarta dan untuk mengingatkan PT KAI agar tunduk pada status keistimewaan Yogyakarta.
Yogyakarta, IDN Times - Kasultanan Yogyakarta mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Yogyakarta, terkait kepemilikan tanah yang diklaim sebagai aset PT Kereta Api Indonesia (KAI). Kasultanan Yogyakarta dalam hal ini menuntut Rp1.000 sebagai ganti rugi kepada PT KAI.
1. Bukan perebutan lahan, ganti rugi Rp1.000
Kuasa Hukum Kasultanan Yogyakarta, Markus Hadi Tanoto menuturkan, gugatan yang dilayangkan kliennya bukan menyangkut perebutan lahan seperti yang diwartakan sejumlah media.
Markus menerangkan, secara hukum lahan termaksud memang adalah milik Kasultanan Yogyakarta tapi secara sengaja didaftarkan PT KAI sebagai aset milik perusahaan tersebut. Ia menekankan, pihak Kasultanan hanya ingin mengajak PT KAI tertib administrasi dan taat pada aturan Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
"Terbukti di dalam gugatan Kasultanan hanya meminta PT KAI tertib administrasi dan patuh pada aturan perundangan yang berlaku, apalagi terhadap permasalahan ini sudah dilakukan pendekatan dan diskusi bertahun tahun namun PT KAI tidak mengindahkannya bahkan cenderung mengulur waktu," katanya.
"Terkait Kasultanan yang meminta ganti rugi sebesar Rp1000. Hal ini menunjukkan Kasultanan tidak pernah memberatkan masyarakatnya," sambung dia.
2. Tetap jaga perasaan warga Yogyakarta, minimal kantongi izin Sultan
Markus pun menjelaskan alasan mengapa kliennya terkesan 'diam-diam' melayangkan gugatan kepada PT KAI ini, yaitu demi menjaga perasaan masyarakat Yogyakarta. "Ada banyak pihak yang harus kami jaga perasaannya, terutama masyarakat Yogyakarta," ujar Markus.
Terpisah, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala, menilai jika gugatan Kasultanan Yogyakarta adalah untuk mengingatkan PT KAI supaya menghormati administrasi tanah milik Sultan Ground.
"Kalau melihat kasus PT KAI dengan Kasultanan Yogyakarta itu sebenarnya adalah jelas Sultan Ground itu ya, itu tanah dari awal, artinya itu mirip dengan tanah negara, tapi disebut Sultan Ground. Jadi KAI harusnya tunduk dengan status keistimewaan Yogyakarta," kata Kamilov.
Menimbang kondisi itu, lanjut Kamilov, apabila PT KAI setidaknya harus mengantongi izin Sultan apabila ingin memanfaatkan lahan tersebut.
Kamilov memandang jika gugatan Kasultanan Yogyakarta dilayangkan sebagai bentuk ketegasan agar PT KAI bisa menghormati dan tidak mendaftarkannya sebagai aset miliknya.
"Penghormatan dalam arti apa? asetnya. Sebenarnya Sultan tidak mempermasalahkan kalau digunakan untuk kepentingan umum, tapi jangan dicatat jadi milik sendiri gitu, artinya menjadi aset milik PT KAI, itu namanya ngelunjak," katanya.
Terlebih, kata dia, gugatan ganti rugi yang diajukan oleh Kasultanan Yogyakarta hanya senilai Rp1000.
"Ini kalau anak-anak itu itu dijewer telinganya, itu terlihat dalam gugatannya dituntut Rp1000," ungkap Kamilov.
3. Landasan lawas dibuat di era penjajahan Belanda
Lebih jauh, Kamilov mengatakan bahwa PT KAI semestinya tidak bertahan dengan dasar-dasar yang diyakininya saja. Padahal, kata dia, landasan itu dibuat saat zaman kolonialisme Belanda, yang mana kala itu Sultan Ground dikuasai penjajah dan di atasnya dibangun stasiun dan rel kereta api.
"Nah Belanda punya senjata punya kekuatan, sehingga waktu itu Sultan tidak mau melakukan upaya-upaya yang sifatnya kekerasan. Biarin aja, suatu waktu merdeka kok negara ini, terbukti kan," lanjutnya.
Dengan kondisi negara yang telah bebas dari penjajahan, Kamilov menilai pihak Kasultanan Yogyakarta berhak untuk meminta kembali aset yang dahulu dikuasai oleh Belanda.
"Jadi kalau saya berpikir harusnya PT KAI tidak bisa melakukan yang sifatnya perlawanan dengan kepemilikan tanahnya sendiri yang jelas-jelas milik Sultan Ground, artinya dia harus tunduk, atau duduk lagi lah ngomong apakah sifatnya sewa-menyewa," tambahnya.
"Itu yang membuat dilakukannya gugatan di pengadilan," pungkas Kamilov.
Gugatan ini sendiri diajukan Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condro Kirono, sebab klausul PT KAI yang mencatatkan aktiva tetap nomor ID aset 06.01.00053 nomor AM 400100002010 atas tanah emplasemen Stasiun Tugu Jogja lintas Bogor-Jogja KM 541+900-542+600 seluas 297.192 meter persegi.
Di satu sisi, Kasultanan mengklaim sebagai pemilik atas dasar Perdais No. 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten serta UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Selain PT KAI sebagai tergugat I, ada pula Kementerian BUMN RI. Turut tergugat Kantor Pertanahan BPN Kota Jogja, Kementerian Keuangan RI dan Kementerian Perhubungan RI yang menjadi tergugat II.
Total ada lima lahan sengketa yang ditulis dalam gugatan, meliputi Kantor Samsat dan Ditlantas Polda DIY, kantor Kecamatan Gedongtengen, Depo Stasiun Tugu, sisi selatan Stasiun Tugu dan mess Ratih ke barat.
Dalam hal ini, Kasultanan selaku penggugat memohon agar pengadilan menerima serta mengabulkan gugatan seluruhnya, dan menyatakan penggugat memiliki hak atas tanah di emplasemen Stasiun Tugu.