Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Buruh DIY Kasih Rapor Merah untuk 1 Tahun Pemerintahan Prabowo

Aksi MPBI DIY
Aksi MPBI DIY soroti 1 tahun pemerintahan Presiden Prabowo. (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • MPBI DIY memberi rapor merah untuk satu tahun pemerintahan Prabowo–Gibran karena dinilai gagal meningkatkan kesejahteraan buruh.
  • Upah masih jauh dari kebutuhan hidup layak, sistem kontrak dan outsourcing makin meluas, serta perlindungan pekerja belum inklusif.
  • MPBI DIY menuntut tujuh hal, termasuk penghapusan outsourcing, pengesahan RUU PPRT, dan pembentukan UU Ketenagakerjaan baru yang adil.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times – Majelis Pekerja Buruh Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (MPBI DIY) memberikan rapor merah terhadap satu tahun kinerja pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka di bidang ketenagakerjaan. Prabowo-Gibran dinilai belum membawa perubahan berarti bagi nasib pekerja di Indonesia.

“Berbagai janji tentang kerja layak, perlindungan sosial, dan keadilan ekonomi belum terlihat dalam kebijakan nyata,” ujar Koordinator MPBI DIY, Irsad Ade Irawan, dalam keterangannya, Senin (20/10/2025).

1. Kesejahteraan buruh belum terjamin

Ilustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi uang (IDN Times/Arief Rahmat)

Persoalan pertama dan paling mendasar adalah upah layak. Berdasarkan survei kebutuhan hidup layak (KHL) MPBI pada Oktober 2025, kebutuhan rata-rata pekerja di DIY mencapai antara Rp3,6 juta hingga Rp4,45 juta per bulan. Namun, upah minimum kabupaten/kota masih jauh di bawah angka tersebut, mencerminkan ketimpangan yang terus melebar antara biaya hidup dan penghasilan pekerja.

“Kebijakan pengupahan tidak sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan belum mampu menjamin kesejahteraan buruh,” ucap Irsad.

Masalah lain yang belum terselesaikan adalah sistem kerja kontrak (PKWT) dan outsourcing. MPBI DIY mencatat praktik hubungan kerja tidak tetap terus meluas di berbagai sektor, termasuk industri, perdagangan, pendidikan, dan layanan publik. Sistem ini membuat pekerja hidup dalam ketidakpastian, tanpa jaminan kerja maupun penghasilan berkelanjutan.

“Pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk menghapus atau memperketat aturan outsourcing dan kontrak jangka pendek, padahal hal ini menjadi sumber utama kerentanan buruh di Indonesia,” ungkap Irsad.

2. Kebijakan ketenagakerjaan belum inklusif

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)
ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Irsad mengatakan kebijakan ketenagakerjaan juga belum inklusif dan berbasis gender. Perlindungan terhadap pekerja perempuan, penyandang disabilitas, dan pekerja di sektor informal masih lemah. Salah satu indikator jelas adalah belum disahkannya Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang selama bertahun-tahun tertahan tanpa kepastian politik. Padahal, pekerja rumah tangga adalah bagian dari kelompok kerja domestik yang paling rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, dan pelanggaran hak.

Di sisi lain, pekerja seni, kreatif, dan digital, termasuk mereka yang bekerja di sektor aplikasi dan platform daring, masih belum diakui sepenuhnya dalam sistem perlindungan ketenagakerjaan. Mereka bekerja tanpa jaminan sosial, kontrak formal, atau kepastian upah. Pemerintah belum menunjukkan kebijakan konkret untuk melindungi pekerja berbasis platform maupun pekerja lepas yang jumlahnya terus bertambah di DIY dan kota-kota besar lainnya.

“Sepanjang tahun pertama pemerintahan ini, terdapat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) juga masih terjadi di berbagai sektor. Pengawasan ketenagakerjaan masih lemah, sementara mekanisme penyelesaian sengketa industrial berjalan lambat dan seringkali tidak berpihak pada pekerja. Situasi ini mempertegas bahwa sistem ketenagakerjaan nasional masih belum mampu memberikan perlindungan menyeluruh bagi seluruh lapisan pekerja,” tegas Irsad.

3. Tujuh tuntutan buruh

Ilustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi buruh, pekerja (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan evaluasi tersebut, MPBI DIY menyampaikan tujuh tuntutan utama kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:

1. Menetapkan upah minimum tahun 2026 setara dengan kebutuhan hidup layak (KHL) di seluruh kabupaten/kota DIY.

2. Menghapus sistem kerja kontrak dan outsourcing yang menjerat pekerja dalam hubungan kerja tidak pasti, serta memastikan status kerja tetap bagi mereka yang memenuhi syarat.

3. Segera mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sebagai bentuk tanggung jawab negara terhadap kelompok pekerja domestik.

4. Menjamin perlindungan hukum dan sosial bagi pekerja seni, kreatif, digital, dan aplikasi, termasuk pengakuan status kerja dan hak jaminan sosial.

5. Memasukkan prinsip kesetaraan gender dan inklusi ke dalam seluruh kebijakan dan peraturan ketenagakerjaan.

6. Memperkuat pengawasan ketenagakerjaan, menghentikan gelombang PHK, dan mempercepat penyelesaian sengketa industrial secara adil dan transparan.

7. Segera bentuk UU Ketenagakerjaan baru tanpa omnibus law, inklusif, dan berbasis gender.

“Satu tahun pemerintahan seharusnya menjadi waktu untuk menegaskan komitmen terhadap keadilan bagi buruh, namun kenyataan di lapangan menunjukkan arah sebaliknya. Buruh masih hidup dengan upah yang tak cukup, status kerja yang tidak pasti, serta perlindungan hukum yang lemah. MPBI DIY menegaskan bahwa perbaikan hanya akan terjadi jika pemerintah menempatkan kepentingan pekerja sebagai pusat dari kebijakan ekonomi dan pembangunan nasional,” tutup Irsad.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Pemerintah Dorong Pengolahan Sampah Jadi Energi Terbarukan

20 Okt 2025, 22:39 WIBNews