Gunungkidul, IDN Times - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati meresmikan Sekolah Lapang Iklim (SLI) Tematik Tahun 2025 di Balai Kalurahan Pilangrejo, Kapanewon Nglipar. Kegiatan mengusung tema “Implementasi Program Unggulan GNPI melalui Sinergi Pertanian Berkelanjutan: Paham Iklim, Petani Tangguh”.
BMKG Resmi Buka Sekolah Lapang Iklim di Gunungkidul

Intinya sih...
SLI bertujuan memberikan pemahaman pentingnya informasi cuaca dan iklim bagi petani
Pertanian adalah tulang punggung perekonomian daerah Gunungkidul
1. Tujuan diselenggarakannya SLI
Ketua penyelenggara, Anita Windratien mengatakan pelaksanaan SLI bertujuan untuk memberikan pemahaman pentingnya informasi cuaca dan iklim bagi petani, khususnya petani hortikultura bawang merah dan cabai.
Kegiatan juga menyasar penyuluh pertanian lapangan (PPL) serta pengendali organisme pengganggu tanaman (POPT).
“Materi utama meliputi pemanfaatan informasi cuaca, pengenalan alat ukur cuaca dan iklim, serta pemahaman analisis iklim. Harapannya, petani bisa lebih adaptif dalam menghadapi dinamika cuaca ekstrem,” ujarnya, Senin (22/9/2025).
Peserta SLI kali ini berjumlah 60 orang, terdiri 47 petani hortikultura, 5 PPL/POPT, serta 8 perwakilan dari Kalurahan Kedungpoh. Mereka berasal dari berbagai kelompok tani dan kelompok wanita tani di wilayah Kapanewon Nglipar.
2. Pertanian jadi tulang punggung Kabupaten Gunungkidul
Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto menegaskan pertanian adalah tulang punggung perekonomian daerah, tapi rentan terhadap perubahan iklim. Oleh sebab itu, program SLI dinilai sangat penting untuk memperkuat kemampuan adaptasi petani.
“Saya memberikan apresiasi kepada BMKG Stasiun Klimatologi DIY yang terus mendampingi petani melalui metode learning by doing. Dengan begitu, para petani tidak hanya memahami teori, tetapi juga langsung mempraktikkan bagaimana menganalisis dan menerapkan informasi iklim dalam usaha tani,” ungkapnya.
3. cuaca ekstrem semakin meningkat dari tahun ke tahun
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya kesiapan petani menghadapi fenomena cuaca ekstrem. Menurutnya, intensitas cuaca ekstrem, baik basah maupun kering, semakin meningkat dari tahun ke tahun.
“Cuaca ekstrem sebenarnya bisa diprediksi sebelumnya. Petani perlu terbiasa membaca informasi cuaca, bahkan cukup lewat gawai, untuk menyesuaikan pola tanam. Dengan cara ini, kerusakan tanaman dapat diminimalisir, hasil panen lebih optimal, dan ketahanan pangan semakin kuat,” jelas Dwikorita.
Ia menambahkan, kemampuan petani dalam memahami iklim akan berkontribusi pada keberhasilan swasembada pangan dan pengendalian inflasi. "Saya berharap kegiatan ini dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat ketahanan pangan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat Gunungkidul," ungkapnya.