Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jadi Petani Tidak Keren, Anak Muda Enggan Turun ke Sawah?

Cover artikel.jpg
Ikustrasi Petani Muda Indonesia (IDNTImes/Aditya)
Intinya sih...
  • Pemerintah perlu dorong minat petani muda dengan program regenerasi, seperti Brigade Pangan.
  • Perusahaan swasta juga ikut mendukung petani muda dengan program beasiswa dan pembekalan bagi mahasiswa Politeknik Pertanian.
  • Anak muda seperti Enggal Kurnia dan Firdausi menunjukkan kesuksesan dalam bertani dengan inovasi, strategi, dan pendampingan yang baik.

Negara maju perlente, traktor keren, baju cowboy, teknologi kekinian. Kalau kita kan masih cangkul panas-panasan. Salah satunya juga karena itu mungkin gak terlihat keren

Regenerasi dan penyusutan lahan menjadi ancaman pertanian di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) Sensus Pertanian Tahun 2023 tahap 1, jumlah petani milenial yang berumur 19-39 tahun tercatat 6.183.009 orang, atau hanya sekitar 21,93 persen dari jumlah petani di Indonesia. Rinciannya, generasi X atau berumur 43-58 tahun 43,39 persen, disusul baby boomer atau umur lebih dari 78 tahun 27,61 persen, lalu milenial atau umur 27-42 tahun 25,61 persen, kemudian generasi Z atau umur 11-26 tahun hanya 2,14 persen dan generasi post Z 0,0 persen. Angka ini cukup memprihatinkan karena pemerintah tengah gencar memproritaskan ketahanan pangan. Belum lagi, jumlah petani muda terus mengalami penurunan selama 10 tahun terakhir.

 

 

 

 

 

 

 

Masa depan kurang cerah

WhatsApp Image 2025-06-06 at 9.21.54 AM (1).jpeg
Petani Muda Jogja. (Dokumentasi Petani Muda Jogja)

Sejumlah pemuda di beberapa daerah tergerak untuk terjun ke pertanian. Salah satu Inisator Petani Muda Jogja, M. Habib Syaifullah mengatakan banyak yang memandang pertanian atau menjadi petani belum bisa dikatakan menjamin secara ekonomi.

Pria yang disapa Ipunk ini mengungkapkan untuk bisa survive di dunia pertanian memang sangat bergantung dengan jumlah lahan yang dimiliki. “Ada kekhawatiran tidak sejahtera,” ujar Ipunk, Kamis (5/6/2025).

Belum lagi kata Ipunk, pertanian saat ini di Indonesia masih banyak yang konvensional, tidak seperti di negara maju. “Negara maju perlente, traktor keren, baju cowboy, teknologi kekinian. Kalau kita kan masih cangkul panas-panasan. Salah satunya juga karena itu mungkin gak terlihat keren,” ujar Ipunk.

Berbagai persoalan itu membawa lahirnya Petani Muda Jogja. Ipunk mengungkapkan, dari inisiasi awal itu kemudian berlanjut dibangun ruang belajar sekolah tani organik. Berbagai kegiatan pun diselenggarakan, mulai dari workshop hingga walking tour, yang tujuannya memperkenalkan model pertanian sehat dan ramah lingkungan ke anak muda. “Bikin berbagai aktivasi pertanian ke anak muda,” ucap Ipunk.

Kini, tidak hanya edukasi ke anak-anak Yayasan Bintang Kidul, Petani Muda Jogja juga menjadi wadah yang terbuka untuk setiap orang belajar tentang pertanian organik. “Workshop ini umum, tidak membatasi anak muda, tapi karena kebetulan namanya Petani Muda Jogja, akhirnya yang ikut anak muda,” ungkapnya.

 

infografis artikel.jpg
Infografis Petani Muda di Indonesia (IDNTimes/Aditya)

Teknologi dan Inovasi Jadi Kunci

Langkah senada juga dilakukan Enggal Kurnia di Provinsi Lampung. Alumni jurusan Budidaya Tanaman Pangan Politeknik Negeri Lampung (Polinela) ini memilih turun langsung ke sawah, bukan karena terpaksa, melainkan karena cinta. “Saya dari kecil memang dari keluarga petani. Waktu kuliah ambil pertanian juga, jadi ilmunya dapet, praktiknya sudah terbiasa dari kecil,” cerita Enggal kepada IDN Times, Sabtu (7/6/2025).

Bertani bagi Enggal bukan sekadar pekerjaan, tapi juga hobi yang sudah ditekuninya sejak SMP. Ia merasa lebih bebas dan produktif saat berada di lahan pertanian dibanding di dalam ruangan.

Saat ini Enggal fokus menanam padi dan jagung. Ia sempat menanam tanaman hortikultura seperti sayuran kacang panjang, terong atau cabai. Tapi tahun ini lahannya dialihkan sepenuhnya ke tanaman pangan. Menurutnya, hasilnya masih sesuai dan menjanjikan. "Apalagi sekarang ada program Bulog dengan harga minimal Rp6.500. Walau ada yang beli di bawah itu, tetap masih ada untungnya,” katanya.

Kendati demikian Enggal, tak bisa berbuat apa-apa terkait dengan tantangan cuaca ekstrem yang menjadi risiko besar. Terutama saat musim hujan dan lahan dekat sungai terkena banjir.

Menurutnya, kerugian akibat bencana seperti banjir di lahan padi bisa mencapai Rp10 juta–Rp12 juta per musim tanam. Meski begitu, Enggal tetap punya strategi yakni diversifikasi hasil panen. “Kalau hasil padi kurang bagus, masih bisa ketolong dari sayuran. Dulu sempat tanam horti juga. Jadi itu bisa bantu buat pemasukan harian,” jelasnya.

Untuk penjualan, Enggal juga sudah mencoba jalur online. Tapi mayoritas masih dijual ke tengkulak karena belum ada dukungan pemasaran yang kuat.

 “Kadang kalau ada order online kita kirim. Tapi sebagian besar tetap ke tengkulak karena cepat. Kita masih belum ada yang bantu pasarin,” ujarnya.

Ia juga sudah memanfaatkan teknologi seperti traktor dan mesin tanam padi (komben), yang menurutnya lebih efisien dibanding tenaga manusia. Apalagi saat ini mencari tenaga manusia untuk menanam sudah sangat sulit sehingga lebih mudah menggunakan teknologi. Walau begitu, teknologi belum bisa menggantikan peran manusia sepenuhnya. Menurutnya, masih ada spot sempit yang harus dikerjakan manual.

 Enggal menyampaikan, pertanian bisa jadi pekerjaan yang menjanjikan kalau digeluti dengan strategi dan inovasi. Menurutnya, jangan hanya tanam padi, tapi kombinasikan dengan tanaman lain yang punya siklus panen lebih pendek. “Yang penting tekun dan mau berinovasi. Bertani itu bisa jadi jalan hidup yang seru, asal ditekuni dengan cara yang benar,” jelasnya.

 

Sukses berkat budi daya porang

Ilustrasi porang (Kemenperin.go.id/Arief Aditriandi M)
Ilustrasi porang (Kemenperin.go.id/Arief Aditriandi M)

Salah satu petani milenial yang sudah sukses yakni Firdausi asal Jember. Kini Firdausi telah menjadi pengusaha muda di bidang pertanian.

Usaha taninya ia mulai saat duduk di bangku kuliah S1. Waktu itu, Firda mendapat pendanaan wirausaha dari kampus. Teori cara bertani yang baik ia praktikkan betul. “Dari fakultas dapat (pendanaan), dari universitas dapat, dari Dikti juga dapat, akhirnya uang itu saya kumpulkan dibuat bisnis, semua untuk membeli lahan (pertanian),” ujarnya kepada IDN Times, Selasa (18/2/2025).

Puncaknya, pada 2019 silam ia pernah merajai pasar porang nasional. Bahkan, Firda pernah dipercaya oleh perusahaan pertanian menjadi penyuplai bibit porang untuk 500 hektare lahan. “Dari situ aku bisa beli lahan pertanian semakin banyak. Awalnya aku beli satu petak, akhirnya beli lagi, beli lagi, mulai intensif di dunia pertanian ya saat itu,” kata perempuan yang pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Fakultas Pertanian UB 2019 ini.

Ia kemudian merambah ke tanaman lain, mulai dari padi, jagung, cabai, bawang merah hingga jeruk. Berbagai hasil taninya ini ia jual di sekitar Jember. Omzetnya tembus puluhan juta rupiah dalam sekali panen. Penghasilan ini tentu jauh dari gaji bulanannya sebagai peneliti di salah satu perusahaan pertanian.

Tak mau sukses sendiri, Firda pun mengajak petani di sekitar tempat tinggalnya untuk mengikuti jejaknya. Berbekal ilmu dari kuliah S1 di Universitas Brawijaya (UB) dan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB), ia mengajarkan orang-orang sekitarnya cara bertani yang benar.  “Ada sekitar 40 orang yang kerja sama aku, aku juga minta tetanggaku untuk menanam porang aku yang beli,” terang Firda.

Ia bahkan belakangan didapuk menjadi pembina banyak petani porang pemula di Indonesia. “Jadi aku punya binaan petani porang hampir di seluruh Indonesia, di Kupang ada, Riau ada,” kata dia.

Usaha Firda makin meluas setelah mencoba peruntungan budi daya telang. memanfaatkan pematang sawah sebagai lahan tanam. Hasilnya mampu menembus pabrik-pabrik yang membutuhkan bunga telang sebagai pewarna alami. Lumayan, setiap harinya tetangga-tetangga Firda mampu menghasilkan omset Rp50 ribu. Ini cukup untuk membantu tambahan penghasilan mereka. “Jadi bukan cuma tetangga (yang ikut menanam telang) ada dari Batu, Malang, hingga Probolinggo yang join, ada sekitar 40 orang,” katanya.

Bahkan, pada tahun 2018 ia menjadi pemain utama pasar bunga telang nasional. “Kita tanam satu petak bisa dapat setengah kilogram, waktu itu harga satu kilogram Rp1,4 juta, jadi walau lahanku satu petak aku dapat Rp700 ribu, bunga telang aku jual ke perusahaan permen dan mi,” tutur Firda.

 

Pemerintah dorong petani muda

Sejak beberapa tahun silam, permasalahan regenerasi sudah menjadi konsen pemerintah pusat dan daerah, bagaimana menarik minat anak muda untuk fokus dalam bertani. "Program regenerasi petani muda ini sudah ada sejak beberapa menteri di periode lalu. Dulu istilahnya pemuda tani, petani milenial, sekarang brigade pangan," ungkap Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Sumsel, Bambang Pramono kepada IDN Times, Kamis (5/6/2025).

Berdasar data BPS Sumsel 2023, tercatat ada sekitar 14,11 persen petani milenial dengan rentang usia 25-34 tahun atau turun dibanding data yang sama di 2013 yang mencapai 18,68 persen. Data lainnya menunjukan penurunan pada kelompok usia 35 tahun hingga 44 tahun pada 2013 sebesar 31,23 persen menjadi 27,74 persen.

Lalu di usia 45-54 tahun naik dari tahun 2013 sebanyak 25,83 persen menjadi 26,76 persen dan kelompok usia 55 tahun hingga 64 tahun pada 2013 sebanyak 15,57 persen dan di 2023 menjadi 18,68 persen.

Bambang menjelaskan, kebutuhan akan regenerasi petani muda di Sumsel harus terus dilakukan mengingat anak muda yang menjadi penyangga sektor pertanian di masa mendatang. Dengan berkembangnya teknologi diharapkan menambah minat anak muda dalam mengelola petanian. "Berdasar data memang ada penurunan sehingga perlu dukungan semua pihak untuk membuat pertanian khususnya padi dapat dilirik kaum muda," jelas dia.

Bambang menjelaskan, kelanjutan program Brigade Pangan diharapkan dapat menyasar generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian khususnya dalam sektor budi daya padi. Program ini menyasar anak-anak muda baik yang berlatar belakang keluarga petani maupun bukan dari keluarga petani. "Brigade Pangan hadir untuk menjawab tantangan regenerasi petani. Kita ingin pertanian tidak hanya menjadi pilihan terakhir, tapi justru menjadi peluang masa depan yang menarik bagi kaum muda. Untuk itu dukungan pemerintah hadir dengan dengan alat dan mesin pertanian," jelas dia.

Upaya untuk menumbuhkan petani muda sekarang coba digalakkan Pemkot Bogor bekerja sama dengan Pemuda Tani Indonesia (PTI). Ketua DPC PTI Kota Bogor, Jieckry Da Friansyah mengatakan ingin mengubah persepsi bahwa menjadi petani harus kotor dan bergantung pada lahan luas.

PTI Kota Bogor hadir sebagai wadah anak-anak muda, bahkan yang tak punya latar belakang bertani, agar tertarik menekuni dunia pertanian. Salah satunya program menanam komoditas bernilai ekonomi tinggi seperti melon Jepang, tomat ceri, hingga strowberi impor.

Wakil Wali Kota Bogor, Jenal Mutaqin, juga menyambut baik langkah PTI sebagai bagian dari peningkatan kapasitas dan kaderisasi petani muda.

Dia menegaskan pemerintah daerah siap berkolaborasi menjalankan kebijakan pusat soal kedaulatan pangan. "Sudah ada arahan prioritas tinggi ke sektor pertanian. Tinggal kita di daerah mau tidak menjalankan dan mengawal itu,” katanya.

 

Perusahaan swasta ikut dorong petani muda

Perusahaan Petrokimia Gresik pun turut ambil peran. Perusahaan holding Pupuk Indonesia ini misalnya punya program pemantik petani muda seperti Beasiswa Tani Muda Indonesia dan Taruna Makmur.

Direktur Keuangan & Umum Petrokimia Gresik, Robby Setiabudi Madjid mengatakan, program pertama yang dijalankan Petrokimia Gresik untuk regenerasi petani adalah Beasiswa Tani Muda Indonesia. Program ini untuk menumbuhkan ketertarikan generasi muda pada pertanian. Jumlah penerima program beasiswa pada tahun 2024 ada 50 pelajar dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan pertanian di Jawa Timur. Sementara sejak program ini dibuka tahun 2022, sudah ada 150 siswa penerima. Beasiswa direalisasikan berupa bantuan biaya pendidikan setiap bulan selama satu tahun.

Adapun Taruna Makmur adalah program pembekalan mahasiswa Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) untuk menjadi pendamping pada Program Makmur. Mereka menggandeng Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia. Program Makmur sendiri merupakan ekosistem pertanian yang diinisiasi Menteri BUMN Republik Indonesia, Erick Thohir sejak tahun 2021. "Melalui Taruna Makmur, Petrokimia Gresik mulai tahun 2022 mengajak mahasiswa Polbangtan untuk turut aktif menjadi tenaga pendamping yang membantu petani untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan penghasilan petani, dalam rangka menciptakan pertanian berkelanjutan di Indonesia," ujar Robby melalui pers rilis yang diunggah pada November 2024 lalu.

Ia menambahkan, program Taruna Makmur pun menarik perhatian Pupuk Indonesia, sehingga jangkauannya diperluas mulai tahun 2023. Selama tahun 2022, total ada 30 Taruna Makmur yang disebar ke berbagai daerah di Indonesia, kemudian di tahun 2023 ada sebanyak 76 Taruna Makmur diberangkatkan ke seluruh Indonesia oleh Pupuk Indonesia. Untuk tahun 2024 ini, ada sebanyak 102 Taruna Makmur.

"Melalui program-program ini diharapkan para penerima sasaran termotivasi untuk turut aktif memajukan pertanian, serta mampu menginspirasi generasi muda lainnya untuk menjadi Pahlawan Pangan," katanya.

 

Masih dipandang sebelah mata

WhatsApp Image 2025-06-06 at 9.21.54 AM.jpeg
Petani Muda Jogja. (Dokumentasi Petani Muda Jogja)

Dosen Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung (Unila), Dewi Sartika, mengatakan di era digital yang serba cepat, pertanian masih dipandang sebelah mata. Apalagi oleh Gen Z yang cenderung memilih pekerjaan dengan hasil instan dan suasana kerja yang nyaman. Namun menurut Dewi, justru di sanalah tantangan sekaligus peluang besar yang belum banyak disadari. “Sebenarnya mungkin mereka (Gen Z) tidak melihat potensinya. Pandangan mereka kan tentang bagaimana pendapatan bisa cepat dan banyak. Jadi lebih tertarik bikin produk makanan, lalu ada yang beli dan langsung dapat uang,” jelas Ketua Pusat Inkubator Bisnis, Hilirisasi Riset, Ketahanan Pangan, dan Jaminan Halal Unila ini.

Dewi menjelaskan, kini pertanian sudah sangat dimudahkan dengan teknologi. Mulai dari cara tanam, pemeliharaan, hingga panen dan distribusi. Tapi yang jadi masalah, informasi tentang kemajuan itu belum tersampaikan dengan baik ke generasi muda. “Mereka belum tahu kalau sayuran dengan sentuhan menarik bisa dijual dengan harga lebih tinggi. Contohnya, di swalayan, sayur dikemas dan dikasih merek, harganya bisa sampai Rp8 ribu. Padahal di pasar tradisional cuma Rp2 ribu. Nilai tambah itu yang belum dilihat,” katanya.

Banyak pengusaha, kata Dewi, sebenarnya bukan petani. Mereka menghimpun hasil panen dari petani, lalu memberi sentuhan pascapanen seperti pengemasan dan branding, dan hasilnya sangat menguntungkan.

Kondisi makin sempitnya lahan pertanian dan makin bertambahnya populasi, Dewi menekankan pentingnya pemanfaatan ruang terbatas secara kreatif. Misalnya dengan konsep urban farming seperti hidroponik, rooftop garden, atau memanfaatkan pekarangan rumah.

“Pertanian itu bisa dikembangkan secara vertikal. Tidak perlu lahan luas. Yang penting tahu cara mengelola dengan efisien,” ujarnya.

Ia menilai ke depan tantangan pangan akan makin besar, apalagi cuaca tak menentu berisiko menyebabkan krisis makanan. Harga pangan bisa melonjak jika tidak ada perubahan dalam pengelolaan pertanian.

Menurut Dewi, salah satu masalah besar dalam mengajak anak muda terjun ke pertanian, adalah tidak adanya pendampingan menyeluruh dalam program pertanian.

“Kadang ada program tanam cabai atau bawang, tapi setelah panen, gak ada yang ngurus. Cabai kan gak tahan lama, akhirnya busuk dan dibuang. Petani kecewa,” ujarnya.

 

 

Pemerintah harus beri jaminan ke petani muda

Pada 2024, Kantor Staf Kepresidenan memberikan data, setiap tahunnya terdapat sekitar 50 ribu hingga 70 ribu hektare lahan pertanian di Indonesia terus berkurang, ini terjadi juga di lahan pertanian Jawa Barat.

Data Badan Pusat Statistik mencatat untuk wilayah Jabar luas sawah pada tahun 2014 sebesar 936.529 hektar telah menyusut menjadi 898.711 hektare tahun 2018, menyusut seluas 37.818 hektare. Sementara pada data BPS lainnya, pada 2022 angka luas panen padi mencapai 1,66 juta hektare. Namun, dua tahun beruntun angkanya kembali menyusut menjadi 1,58 juta hektare pada 2023 dan 1,47 juta hektare pada 2024.

Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat, Entang Sastraatmadja menuturkan, Jawa Barat dulu memang dikenal sebagai lumbung padi nasional. Produksi padi di provinsi ini kerap melimpah hingga surplus jutaan ton. Setidaknya ada tiga daerah sebagai penghasil padi terbanyak yaitu, Indramayu, Karawang, dan Subang.

"Tapi itu dulu. Jawa Barat sekarang tidak sehebat itu. Produksi padi dalam hitungan provinsi kerap kalah dari Jawa Timur. Salah satu masalahnya karena Jawa Barat marak terjadi alih fungsi lahan pertanian," kata Entang.

Maraknya alih fungsi lahan pertanian produktif menjadi kawasan industri, kawasan perumahan atau pemukiman, kebutuhan infrastruktur dasar, pengembangan jalan tol, pembangunan aero city bandara internasional, pembangunan pelabuhan berkelas internasional dan lain sebagainya.

"Sekarang walaupun ada undang-undang untuk menjaga hilangnya lahan pertanian, tapi sering terbentur dengan aturan lain misalnya proyek Proyek Strategis Nasional (PSN). Itu kan ga bisa dilawan (oleh pemerintah daerah). Ini tentu membuat Jawa Barat semakin berkurang luas baku sawah yang dimilikinya," kata Entang, Jumat (7/6/2025).

Persoalan lain adalah, selama ini tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa anak muda yang bekerja sebagai petani bisa sejahtera. Jaminan ini seharusnya diberikan termasuk lewat berbagai program dan aturan sehingga ada kepastian bahwa anak muda yang menjadi petani tidak akan miskin.

 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us