Stand Up Comedy Jadi Hiburan sekaligus Media Kritik Sosial

- Stand up comedy bukan hanya hiburan, tapi juga reflektif dan kritis yang menjangkau masyarakat luas.
- Sandi Prastowo menekankan pentingnya komedi sebagai ekspresi keresahan sosial politik dan memberikan tutorial membuat materi kritik sosial melalui komedi.
- Ardian Indro Yuwono menyatakan bahwa humor merupakan bentuk soft power dalam demokrasi dan berperan dalam memperkuat kesadaran politik generasi muda.
Yogyakarta, IDN Times - Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar Diskusi Komunikasi Mahasiswa (Diskoma) edisi ke-21 yang bertajuk “Panggung Komika, Panggung Kritik: Politik dalam Balutan Tawa” pada Rabu (29/5/2025).
Kegiatan ini diselenggarakan melalui platform Zoom Meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube Dikom UGM dengan mengadirkan dua pembicara, yakni stand up comedian, Sandi Prastowo dan Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM, Ardian Indro Yuwono. Acara yang dimoderatori oleh mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM, Hendy Nabil Rais ini dibuka dengan sambutan dari Ketua Diskoma, Defrimont Era.
1.Stand up comedy jadi medium reflektif dan kritis

Melalui sambutannya, Defri menegaskan bahwa kegiatan ini berdasarkan pemikiran bahwa stand up comedy tidak lagi semata-mata menjadi media hiburan, melainkan menjelma sebagai medium reflektif dan kritis yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Pada sesi pemaparan materi dibuka dengan Sandi Prastowo melalui cerita pengalaman pribadinya sebagai komika yang sering mengangkat isu sosial politik. Pria yang akrab disapa Mas Sanpras itu menegaskan bagi komika, stand up comedy adalah perwujudan dari ‘stand up for what you believe’. Ia menekankan komedi menjadi salah satu ruang ekspresi dan keresahan masyarakat atas realitas sosial yang terjadi. Tak hanya menjelaskan makna komedi, Sandi juga memberikan tutorial membuat materi kritik sosial melalui komedi.
“Cara membuat materi kritik dalam komedi dimulai dari riset berita, menggali keresahan pribadi, merumuskan sudut pandang (point of view). Lalu juga bisa menguji materi melalui panggung open mic,” ujarnya.
2.Perlu sensitivitas audiens

Selain itu, Sandi menuturkan komika perlu mempertimbangkan sensitivitas audiens, pemilihan diksi dan memahami batasan dalam menyampaikan materi kritik komedi. Hal ini dimaksudkan agar tidak jatuh dalam provokasi atau pelanggaran etika. Baginya, komedi dengan muatan kritik politik tidak akan pernah lepas dari tantangan. Beberapa di antaranya adalah risiko teguran akibat improvisasi spontan yang menyinggung pihak tertentu, penyebaran materi tanpa konteks melalui media sosial, dan respons negatif dari publik yang hanya menangkap kelucuan tanpa memahami substansi kritiknya.
Dosen Fisipol UGM, Ardian Indro Yuwono memperkuat perspektif ini dengan pendekatan akademis di pemaparan materi sesi kedua. Ia menyatakan bahwa humor telah menjadi bentuk soft power dalam demokrasi. “Komika hari ini adalah aktor komunikasi alternatif yang mampu mengisi celah-celah literasi politik masyarakat,” ungkap dosen yang dikenal aktif dalam kajian budaya populer dan komunikasi politik itu.
Pada konteks budaya populer, Ardi menekankan humor yag disampaikan oleh komika berfungsi menyampaikan pesan serius dengan pendekatan ringan. Oleh karena itu, komika dapat memperkuat kesadaran politik warga negara, terutama generasi muda yang sering jenuh dengan pendekatan politik konvensional. Meski demikian, ia mengingatkan posisi komika sangat rentan terhadap kesalahpahaman. Materi komedi yang menyentuh isu sensitif dapat dengan mudah disalahartikan sebagai penghinaan, provokasi, atau pelanggaran norma sosial.
3.Peran strategis stand up comedy

Kegiatan Diskoma edisi #21 ini menekankan bahwa di balik tawa dan hiburan, stand up comedy memiliki peran strategis sebagai medium kritik sosial dan politik yang mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Dengan menghadirkan perspektif praktisi dan akademisi, acara ini membuka ruang dialog kritis mengenai peluang dan tantangan komika dalam menyuarakan keresahan masyarakat di era digital yang sarat dinamika. Komedi tidak hanya menghibur, tetapi juga mengedukasi dan menggerakkan kesadaran politik, khususnya bagi generasi muda.
“Harapannya, diskusi ini menjadi inspirasi bagi para mahasiswa dan masyarakat luas untuk terus mengapresiasi dan memanfaatkan komedi sebagai instrumen penting dalam demokrasi dan perubahan sosial,” ungkap Ketua Diskoma, Defrimont Era.