Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pro-Kontra Wacana Peminatan Jurusan IPA-IPS dari Kacamata Siswa SMA

ilustrasi siswa SMA (pexels.com/Tubagus Alief Leo)
Intinya sih...
  • Menteri Pendidikan ingin hidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.
  • Siswa SMA Yogyakarta memberikan pro dan kontra terkait wacana perubahan kurikulum pendidikan.
  • Kurikulum Merdeka memberi kebebasan belajar namun masih memiliki kekurangan dalam sumber daya sekolah.

Yogyakarta, IDN Times - Anggapan “ganti menteri, ganti kebijakan” bukan hal baru dalam dunia pendidikan. Baru-baru ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Muti, menjadi sorotan setelah menyampaikan rencana menghidupkan kembali sistem peminatan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di jenjang SMA.

Padahal, saat ini sekolah-sekolah tengah menerapkan Kurikulum Merdeka yang dirancang oleh Mendikbudristek sebelumnya, Nadiem Anwar Makarim. Wacana perubahan ini pun langsung menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan, termasuk siswa SMA yang akan terdampak langsung oleh kebijakan tersebut.

1. Siswa sudah terbiasa dengan Kurikulum Merdeka

ilustrasi belajar bersama (pexels.com/Kaboompics.com)

IDN Times Jogja mewawancarai tiga siswa SMA asal Daerah Istimewa Yogyakarta soal wacana Mendikdasmen yang ingin menghidupkan kembali sistem penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa. Ketiganya merupakan siswa kelas X dari sekolah berbeda dan memiliki pandangan yang beragam.

Zharifah Riftiningtyas, siswa SMA Negeri 1 Wates, mengaku sejak awal sudah memahami sistem tanpa penjurusan dari kakak tingkatnya yang lebih dulu menerapkan Kurikulum Merdeka. Ia merasa tidak punya gambaran soal sistem penjurusan yang ingin diberlakukan kembali.

Sementara itu, Bintang Surya Perdana dari SMA Negeri 1 Pengasih menyebut Kurikulum Merdeka membuat arah pendidikannya lebih jelas. Namun, ia juga melihat sisi positif dari penjurusan karena bisa jadi bekal awal menuju jenjang kuliah.

“Kalau dari SMA sudah ambil IPA, ya bisa langsung lanjut ke jurusan kedokteran. Kalau ambil IPS, bisa ke arkeologi, misalnya. Tapi keduanya punya plus minus,” ujar Bintang saat dihubungi Kamis (16/4/2025).

Hal senada juga disampaikan Taskiya, siswa SMA Budi Mulia Dua Yogyakarta. Ia lebih memilih Kurikulum Merdeka karena membuatnya bisa mengeksplorasi berbagai mata pelajaran.

“Aku jadi lebih bisa merasakan penjurusan IPS juga karena digabung sesuai minat kita. Jadi bisa lebih siap kuliah,” ujar Taskiya.

2. Kurikulum jurusan memudahkan untuk kuliah, tapi tetap perlu dibarengi ilmu dasar lainnya

ilustrasi belajar bahasa asing (freepik.com/freepik)

Saat ditanya apakah sistem penjurusan membantu dalam perkuliahan dan dunia kerja, ketiganya memiliki pandangan berbeda.

Bintang menilai sistem penjurusan bisa menjadi bekal awal yang tepat untuk mempersiapkan masa depan, khususnya dalam memilih jurusan kuliah. "(Misal) kita ingin jadi hakim, masuk hukum di kuliah, ya dari SMA kita masuk IPS karena mapel pendukungnya seperti sosiologi dan PPKN itu ada di IPS bukan di IPA," jawab Bintang.

Zharifah punya pendapat lain. "Sistem jurusan ini memang dapat membantu untuk kuliah, seperti kedokteran, walaupun berfokus ke biologi dan kimia, tetapi tetap ada berkaitan dengan ilmu sains yang lainnya. Namun, untuk dunia kerja itu cenderung kurang berpengaruh ya, karena biasanya dunia kerja melihat keterampilan, pengalaman kerja atau yang lainnya."

Sementara itu, Taskiya yang bercita-cita jadi dokter merasa tetap perlu belajar ilmu IPS, meski dasar keilmuan IPA lebih dibutuhkan di profesi tersebut. Baginya, penjurusan justru membuka kesempatan siswa untuk menambah wawasan di bidang lain.

3. Kurikulum Merdeka yang tak sepenuhnya merdeka

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Nadiem Makarim dalam agenda Gateaways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 di Bali (IDN Times/Lia Hutasoit)

Ketiganya sepakat bahwa Kurikulum Merdeka memberi ruang belajar yang lebih bebas. Namun, mereka juga menyoroti kekurangan kurikulum ini, terutama dari segi sumber daya sekolah.

Bintang menilai Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya memberi kebebasan belajar. Menurutnya, beberapa sekolah belum mampu menyediakan banyak pilihan mata pelajaran, sehingga kebebasan itu belum merata. Zharifah pun sependapat, ia menekankan pentingnya kondisi sekolah dalam menentukan keberhasilan kurikulum ini.

"Ada sekolah yang hanya bisa menyediakan beberapa mata pelajaran karena keterbatasan guru, dan menjadikan Kurikulum Merdeka belum sepenuhnya merdeka."

4. Kurikulum jurusan yang dipandang membatasi ilmu

Mendikdasmen Prof. Abdul Muti (Dok. Prof. Abdul Muti)

Zharifah, Bintang, dan Taskiya menyadari bahwa setiap kurikulum memiliki kelebihan dan kekurangan.

"Apabila sistem penjurusan dihidupkan kembali saya merasa pilihan saya terbatas tapi bisa menjadikan saya lebih fokus ke jurusan yang saya pilih, walaupun saya tidak bisa menentukan mata pelajaran yang lebih saya tekuni," ungkap Zharifah.

Bintang menjadi salah satu yang mendukung jika kurikulum penjurusan kembali diterapkan. "Memang pilihan terbatas tapi jelas dan satu tujuan sampai masuk perguruan tinggi hingga dunia kerja. Saya termasuk orang yang bingung dalam sistem tanpa jurusan sehingga harus memilih mata pelajaran. Karena banyaknya pelajaran campuran jadi saya bingung ingin pilih yang mana," ucapnya.

Sementara itu, Taskiya menilai sistem penjurusan seperti IPA, IPS, dan Bahasa bisa membuat struktur sekolah jadi lebih sederhana. Meski begitu, ia mengkritisi adanya potensi diskriminasi dan pengelompokan siswa berdasarkan jurusan yang dipilih, yang sering memicu perbedaan pendapat.

5. Siswa merasa terus dituntut adaptasi oleh kurikulum yang selalu berubah

ilustrasi kelompok belajar (unsplash.com/Zainul Yasni)

Pergantian kurikulum setiap kali ada menteri baru menimbulkan kebingungan di kalangan siswa. Zharifah, misalnya, mengaku heran dengan arah kebijakan pendidikan yang kerap berubah.

"Saya sebagai siswa pun heran ini sistem pendidikan mau dibawa kemana? Seperti tidak ada arah jika diganti terus, bahkan guru pun sepertinya sudah kewalahan menghadapi perubahan kurikulum karena bingung menentukan gaya mengajarnya yang berubah-ubah."

Ia juga menyayangkan pemerintah yang belum memiliki aturan pendidikan yang baku dan berkelanjutan. Menurutnya, sistem yang terus berubah hanya akan menghambat proses belajar karena siswa dipaksa terus beradaptasi layaknya bahan percobaan.

Hal serupa dirasakan Bintang. Ia mengaku bingung dengan arah kurikulum yang terus berubah dan berharap pemerintah lebih dulu mengkaji sistem pendidikan yang sesuai dan diminati siswa.

Taskiya pun menghadapi tantangan yang sama. Ia kesulitan mencari tips belajar dari kakak tingkat karena perbedaan kurikulum yang mereka jalani.

Melihat kebingungan yang dirasakan para siswa ini, sudah saatnya pemangku kebijakan mengevaluasi sistem pendidikan. Kurikulum sebaiknya tak berubah hanya karena pergantian menteri, tapi disusun agar relevan dengan zaman dan memberi kenyamanan bagi guru maupun siswa.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dyar Ayu
Paulus Risang
Dyar Ayu
EditorDyar Ayu
Follow Us