Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Permendikbud 30/2021 Beri Rasa Aman dari Kekerasan Seksual di Kampus

Mahasiswa IAIN Tulungagung gelar aksi kecam pelecehan seksual di kampus. (IDN Times/Bramanta Pamungkas)

Yogyakarta, IDN Times - Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia One Muharomah menilai Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi merupakan langkah strategis untuk menghadirkan tanggung jawab serta peran institusi perguruan tinggi untuk mencegah serta menindak kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

“Kami mendukung pihak Kemendikbud Ristek untuk mensosialisasikan aturan tersebut secara lebih luas dan masif dengan melibatkan seluruh stakeholder terkait,” kata One melalui siaran pers yang diterima IDN Times tertanggal 10 November 2021.

Mengapa Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 perlu didukung?

1. Korban dan pelaku kekerasan seksual dari kampus yang sama

Massa mengelar unjuk rasa untuk mengecam tindakan dosen cabul di FISIP USU (IDN Times/Prayugo Utomo)

Sebanyak 130 kasus dari 267 kasus kekerasan seksual di wilayah DIY yang didampingi Rifka Annisa sejak 2016-2020, korbannya adalah mahasiswa. Dan jumlahnya terus meningkat.

Hasil kajian menunjukkan, pelakunya berasal dari kampus yang sama dengan korban. Para pelaku adalah sesama mahasiswa, dosen, staf, karyawan, pacar, teman, atau pun orang tak dikenal. Mereka berasal dari kampus-kampus di DIY.

Sementara, dari 267 kasus tersebut meliputi 140 kasus pemerkosaan dan 127 kasus pelecehan seksual.

2. Korban melapor malah dituding mencemarkan nama baik kampus

Ilustrasi (IDN Times/Sukma Shakti)

Sejauh ini, menurut One, sejumlah perguruan tinggi belum menunjukkan sikap kooperatif dalam menindak tegas pelaku maupun melindungi korban. Sementara, kasus-kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi terus terjadi.

“Situasi ini membuat korban diam dan tidak berani mengadukan kasusnya,” kata One.

Alih-alih korban melapor, justru acap kali dituding mencemarkan nama baik kampus. Pihak kampus maupun publik juga tak sedikit yang merespons kasus dengan memberi stigma, victim blaming, dan prasangka negatif terhadap korban.

Akibatnya, kasus-kasus kekerasan seksual cenderung ditutupi, korban mengalami trauma dan depresi karena menanggung beban masalah sendiri. 

3. Civitas akademik butuh ruang aman dari kekerasan seksual

Ilustrasi pelecehan seksual (IDN Times/Doni Hermawan)

One menengarai kasus-kasus kekerasan seksual di kampus sudah dalam kondisi genting. Layanan-layanan bagi korban kekerasan seksual di kampus dengan membentuk pusat krisis, menyusun panduan layanan, serta membentuk tim satuan tugas sebagai support system bagi korban sangat diperlukan.

Oleh karena itu, kehadiran peraturan tersebut dinilai mendukung dan menguatkan kembali peran dan tanggung jawab institusi perguruan tinggi untuk menciptakan ruang aman bagi civitas akademik. Adanya mekanisme layanan terhadap korban di lingkungan kampus, membuat korban dan semua pihak merasa aman.

“Apalagi korban mendapat dukungan ketika mengadukan kasusnya,” papar One.

4.Tudingan pelegalan seks bebas dinilai berdasar prasangka negatif

Ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mardya Shakti)

Terkait kontroversi Pasal 5 dalam Permendikbud ristek yang dinilai melegalkan perzinahan di kampus, menurut One, muncul karena persepsi yang dilandaskan pada prasangka negatif. Dia mengatakan, peraturan ini lebih menekankan upaya pencegahan dan penanganan yang tepat oleh pihak kampus, bukan untuk pelegalan zina atau seks bebas.

“Faktanya, banyak kasus kekerasan seksual di kampus yang tidak ditindak semestinya karena ada prasangka negatif terhadap korban,” kata One.

5. Dukungan dan kerja sama kampus penting untuk penanganan kasus kekerasan seksual

Mahasiswa memasang poster kecaman terhadap dosen cabul di Kampus FISIP USU dalam unjuk rasa beberap waktu lalu (IDN Times/Prayugo Utomo)

Ada pelajaran yang dipetik selama Rifka Annisa menangani kasus-kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Bahwa kerjasama dan dukungan dari kampus sangat penting dalam upaya penanganan kasus, pendampingan dan pemulihan korban, penindakan tegas pelaku, serta edukasi kepada civitas akademik maupun masyarakat tentang kekerasan seksual.

“Jadi peraturan ini perlu dikawal implementasinya dan didukung oleh semua elemen,” kata One.

Tak hanya permendikbud ristek ini saja, melainkan peraturan lain terkait upaya menciptakan ruang aman dari kekerasan seksual juga perlu dikawal.

“RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga harus terus didukung untuk segera disahkan demi menciptakan jaminan rasa aman bagi semua pihak, khususnya keadilan bagi korban,” kata One. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
Paulus Risang
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us