Perjuangan Belajar Mengajar dalam Keterbatasan di Kota Pelajar
- SMP dan SMA Gotong Royong Yogyakarta tetap semangat mengajar dan belajar meski keterbatasan fasilitas
- Kurangnya ruangan dan fasilitas layak, serta minimnya anggaran untuk membangun ruangan baru menjadi kendala utama
- Guru dan siswa berjuang di tengah keterbatasan, dengan upaya membangun karakter siswa, namun masih kurangnya kesejahteraan guru
Yogyakarta, IDN Times – Keterbatasan tidak mematahkan semangat guru hingga siswa SMP dan SMA Gotong Royong Yogyakarta, di Jalan Tompeyan Nomor 156, Tegalrejo, Yogyakarta. Mereka tetap semangat untuk mengajar dan belajar setiap harinya.
Berdiri sejak tahun 1982, SMP dan SMA Gotong Royong yang berada di pusat Kota Pendidikan, mencoba tetap bernapas hingga saat ini. Sekolah ini menggunakan tanah milik Keraton Yogyakarta atau Sultan Ground seluas 1.600 meter. Dari luasan tanah tersebut belum semua bisa dioptimalkan, selain persoalan kontur tanah yang tidak rata, masalah biaya untuk membangun ruangan baru jadi kendala.
Saat ini SMP dan SMA Gotong Royong baru bisa membangun sekitar 220 meter. Bangunan tersebut terbagi menjadi enam ruang kelas kecil dan ruang guru. Lapangan kecil di depan ruang kelas, biasa dimanfaatkan para siswa untuk upacara bendera, aktivitas olahraga, dan beberapa kegiatan lain.
Bel kelas berbunyi pukul 10.00 Jumat (24/1/2025), tanda para siswa harus memasuki ruang untuk kembali belajar, setelah mereka beristirahat. Ada siswa yang memakai seragam pramuka, ada yang mengenakan baju batik, kemeja, ada juga yang mengenakan baju olahraga dan kaus.
Tidak banyak memang yang bersekolah di sini. Untuk jenjang SMP, kelas VII hanya ada 2 siswa, kelas VIII ada 7 siswa, dan kelas IX ada 6 siswa. Sementara jenjang SMA, untuk siswa kelas X ada 6 siswa, kelas XI ada 5 siswa, dan kelas XII ada 4 siswa. Sekolah ini memang mencoba memfasilitasi mereka yang kurang mampu, tetapi masih memiliki kemauan untuk belajar.
Ironinya ruang-ruang belajar yang mereka gunakan dapat dikatakan kurang layak. Cat tembok mulai pudar, ada juga ruang kelas yang pintunya rusak, dan beberapa plafon jebol, atap genting pun terlihat. Saat hujan deras mengguyur, beberapa ruangan pun tidak bisa digunakan. Hanya satu kelas yang cukup besar yang bisa digunakan, itu pun kondisinya hampir sama.
Beberapa kelas hanya bisa memasang hiasan dinding Garuda Pancasila, beberapa kelas masih memasang foto Presiden, Joko Widodo, dan Wakil Presiden, Ma'ruf Amin. Karya para siswa mempercantik dinding ruang kelas, menghiasi luar ruang kelas. Selama ini sekolah hanya bisa mengandalkan dana dari pemerintah dan bantuan dari masyarakat umum.
1. Bergerak dengan segala keterbatasan
Wakil Kepala SMP Gotong Royong, Yitro Dewantara menceritakan bagaimana perjuangan guru dan semangat para siswa di SMP dan SMA Gotong Royong di tengah keterbatasan yang ada. Sudah 21 tahun Yitro mengabdikan diri di sekolah ini. Ia mengetahui betul bagaimana perjuangan dan semangat di sekolah ini.
“Memang misi utama dari sekolah ini menampung anak-anak yang secara ekonomi, akademis kekurangan. Sehingga anak-anak di sini diupayakan dalam hal pembiayaan dari dana pemerintah, jadi swadaya orang tua nol rupiah,” ujar Yitro.
Sekolah ini mencoba membangun karakter siswa, sehingga mereka menjadi pribadi yang baik. Harapannya setelah siswa lulus bisa membaur, berkecimpung dan berkontribusi untuk masyarakat.
Di sisi lain, kesejahteraan guru diakui Yitro di sekolah ini pun masih bisa dibilang kurang. Banyak guru yang berstatus honorer, Guru Tidak Tetap (GTT), hanya beberapa guru ASN yang diperbantukan, untuk menambah jam mengajar guru itu. Di sini guru di SMP juga mengajar untuk siswa SMA. Total ada 13 guru yang mengajar.
“Kalau dibilang kesejahteraan, kami seperti masih melihat langit, masih jauh di sana. Kami hanya punya semangat, niat untuk memajukan anak bangsa. Jadi kami bukan untuk besar kepala, di sini anak-anak butuh perhatian. Kami untuk guru-guru berjuang, memenuhi amal ibadah,” ujarnya.
Yitro menyebut di tempat ini para guru mengamalkan ilmu yang telah didapat dulu. Ia tidak mengungkapkan berapa yang diterima dari hasil mengajar, namun diakuinya memang tidak mencukupi. Banyak yang mengandalkan dana dari pemerintah dan insentif dari pemerintah daerah.
“Memang di sini tempat kami untuk mengamalkan ilmu yang dulu pernah kita dapatkan di sekolah kami, sehingga kami tanpa berharap penghasilan yang pasti yang rutin. Karena memang di sini untuk pembiayaan guru sangat minim, sebagian kami berharap insentif pemerintah untuk berjalannya sekolah,” ungkapnya.
Banyak guru lain juga sudah mengabdikan diri di sekolah ini puluhan tahun. Bagi Yitro dan para guru lain bersyukur jika anak didiknya memiliki karakter yang baik dan memiliki semangat belajar yang tinggi. SMP/SMA Gotong Royong bahkan disebut menjadi percontohan untuk beberapa sekolah, yang kondisinya hampir sama. “Meski dengan kekurangan, kesederhanaan, patut kita syukuri, anak-anak tertib dan punya niat semangat luar biasa,” tutur Yitro.
Untuk bangunan sekolah, mencoba mengandalkan dari bantuan pihak ketiga. Beberapa bangunan juga sempat terdampak longsor pada Desember 2010. Beruntungnya saat kejadian pada malam hari, sehingga tidak ada korban jiwa, namun beberapa bangunan rusak. Sementara itu, renovasi beberapa bagian bangunan terakhir, dilakukan beberapa tahun lalu dengan bantuan dari kelompok Tionghoa di Jogja.
2. Berjuang agar siswa lebih baik
Salah satu guru yang juga telah mengabdikan diri sejak tahun 2001, Alisa mengatakan sudah ada perubahan pada karakter siswa yang dulu dan sekarang. Diakuinya dulu saat awal ia mengajar, niat belajar para siswa memang kurang, tapi karena kekompakan guru, membuat mereka punya motivasi untuk belajar.
“Kita gerak gimana caranya membuat siswa betah sekolah dan rajin masuk, itu sudah terjadi. Akhirnya mendapat siswa luar biasa, sesuai visi misi sekolah. Mempunyai makna setelah bersekolah di sini. Dulu memang perlu energi, waktu lebih, sekarang tinggal menikmati saja istilahnya gitu,” ujar Alisa.
Sifat baik anak-anak pun diturunkan ke adik kelasnya. Hal itu menjadi kebahagiaan juga bagi Alisa. Meski begitu, Alisa juga mengakui untuk meningkatkan kemampuan kognitif, pengetahuan siswa perlu upaya lebih dan terus dilakukan. “Tapi segi lain, motorik, karakter mereka bisa kita optimalkan, menjadi sebuah kepuasan karena bisa mengubah mereka dari nol jadi tidak nol,” ungkapnya.
Diakui Alisa, untuk guru sendiri kesejahteraan dapat dikatakan kurang. Namun, baginya pendapatan tidak harus dari sekolah, berusaha dengan kerja sampingan lain. Pasalnya, ia dan guru lainnya menyadari kondisi para siswa pun berat. Rata-rata yang bersekolah di tempat ini dari masyarakat kurang mampu dari segi ekonomi.
Secara rutin para guru melakukan kunjungan ke rumah, dan para siswa senang sekali. Kedekatan antar guru dan siswa ini menjadi nilai tersendiri. Meski rumah mereka sangat sederhana, tapi menyambut dengan baik. “Itu yang membuat kita iba juga, kalau tidak di sini, mau sekolah di mana lagi. Jadi ada kedekatan guru dan siswa. Semua guru di sini istilahnya jadi guru BK juga,” ujarnya.
Banyak siswa di SMP/SMA Gotong Royong ini masih dalam satu keluarga. Biasanya dari kakak, adiknya, hingga saudaranya ada yang sekolah di tempat ini. “Pernah saat ada Jumat berkah itu, ada anak yang gak makan, katanya mau buat adiknya di rumah. Ya akhirnya punya bapak/ibu guru dikasihkan juga. Kalau kita orang tua kan lebih bisa ya,” cerita Alisa.
Banyak cerita-cerita lain yang mengharukan. Ada saat akan ujian tapi siswa itu terlambat, saat dijemput guru, ternyata anak tersebut sedang makan nasi dan garam. Secara alamiah pun sang guru membantu siswa tersebut. Ada juga anak yang harus bekerja dulu setiap pagi dengan berjualan sayur.
Anak-anak sangat senang saat ada bantuan alat tulis, makanan, atau hanya sekadar jajanan yang diberikan oleh donatur. “Bukan berarti membiasakan meminta-minta, itu gak, tapi memang ada yang ingin berbagi bersyukur di sini ya kita terima,” ungkapnya.
Pihaknya pun berharap segera ada percepatan untuk program pemerintah Makan Bergizi Gratis. Harapannya dengan program tersebut bisa membantu para siswa. Saat ini dikatakannya baru dilakukan pendataan.
Guru Seni Budaya itu juga senang mengajar di sini, karena meski banyak kekurangan para siswa tetap kreatif. Ia pun menunjukkan video kegiatan para siswa membuat gunungan dengan sayur. Dirinya juga menunjukkan karya-karya siswa yang membuat semacam catatan kreatif, karya lukis di gelas hingga karya dengan kulit telur.
“Ada dulu sudah lulus, bawa dawet dua bungkus katanya untuk bapak ibu guru, itu kami senang sekali. Saking senangnya dia juga. Ada juga yang lulus dia itu Talasemia, sering datang ke sekolah memberi sesuatu ke sekolah, karena inget. Kami pendekatannya memang dengan hati,” ungkap Alisa.
3. Perjuangan keras para guru
Dihubungi via sambungan telepon, Kepala Sekolah SMP Gotong Royong, Ame Lita Br Tarigan Sibero mengungkapkan memang awalnya perlu perjuangan untuk mengubah imej sekolah yang menerima pindahan siswa dari sekolah lain, ke SMP/SMA Gotong Royong. Akhirnya setelah rapat yayasan, mengubah imej ke sekolah yang menjadi wadah bagi siswa kurang mampu tapi memiliki kemauan tinggi untuk belajar.
“Kita upayakan kerja sama dengan donatur gimana mereka sekolah dan dapat ijazah. Kemudian dari SMP bisa lanjut ke SMA, terus kemudian dari SMP ke SMA bisa meningkatkan taraf hidup. Memang banyak ya tantangan,” ungkap Lita.
Lita juga menyebut untuk menunjang fasilitas kegiatan belajar di sekolah ini juga banyak mengandalkan dari donatur. Pun demikian untuk kesejahteraan guru dinilainya masih kurang. “Jadi terus terang kalau dibilang pelayanan iya. Melayani rakyat yang itu tadi tanda kutip kurang mampu, plus mereka yang punya kebutuhan spesial,” kata Lita.
Kerjehataran guru memang masih perlu menjadi perhatian serius. Meski begitu, para guru bisa bersyukur dengan adanya insentif dari Pemerintah Kota Yogyakarta kurang lebih Rp400 ribu per bulan yang diterima triwulanan. Ia juga mendorong untuk guru mendaftarkan pendidikan profesional agar mendapatkan tunjangan lebih lagi.
“Kemarin Pak Prabowo bilang ada kenaikan TPG (Tunjangan Profesi Guru) dari satu bulan Rp1,5 juta menjadi Rp2 juta. Mudah-mudahan bisa menjadi angin segar. Prinsipnya sekolah gak mengarah ke profit, lebih ke pelayanan, ya ada support dari pemerintah,” ungkap Lita.
4. Siswa dan orangtua terbantu
Salah seorang siswa SMA Gotong Royong, Faisal Ardiansyah mengungkapkan adanya SMP dan SMA Gotong Royong sangat membantu dirinya dan keluarganya. “Mungkin sekolah lain butuh biaya ini butuh itu, di sini enggak, Alhamdulillah. Tidak mengeluarkan uang, malah terbantu,” ujar Faisal.
Ia menyebut beberapa kakaknya juga berekolah di tempat yang sama. Ia mengucapkan terima kasih kepada para guru yang sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar dan hal lainnya. “Kalau gak dari bapak ibu guru, kita harus mengeluarkan biaya sendiri. Itu cukup merepotkan, apalagi orang tua saya penghasilan gak besar. Bapak ibu guru sangat total,” ujar Faisal.
Faisal berharap dari sekolah ini juga lahir lulusan yang pandai, bisa sukses, dan bermanfaat untuk orang lain. “Kalau saya setelah ini rencana mau mondok, terus mencari kerja,” ujar siswa kelas XII itu.