Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Pengamat Nilai Berakhirnya Teman Bus Tak Berkaitan Program MBG

Ilustrasi Trans Jogja. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Intinya sih...
  • Pemerintah menghentikan program Teman Bus mulai tahun 2025, tanpa kaitan dengan program Makan Bergizi Gratis.
  • Program subsidi dan insentif pemerintah perlu disiapkan strategi 'exit' yang lebih baik untuk mencegah layanan berkurang atau berhenti sama sekali.
  • DIY sebagai wilayah pertama yang menerapkan sistem 'buy the service' di luar Ibu Kota Negara, namun masih perlu terus belajar dan memperbaiki sistemnya.

Yogyakarta, IDN Times –Pemerintah secara resmi menghentikan program Teman Bus mulai tahun 2025. Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), Arif Wismadi menilai berhentinya program Teman Bus tidak ada kaitan dengan program Makan Bergizi Gratis. Sejak diluncurkan program Teman Bus memang telah ditetapkan akhir program.
 
Arif mengatakan soal makan bergizi gratis memang menjadi janji politik untuk pemenangan dalam sistem pemilihan langsung, yang memerlukan basis massa yang massif. Lebih lagi bagian terbawah dari piramid penduduk adalah masyarakat dengan jumlah terbesar yang memimpikan program semacam ini.
 
“Ketika menang dan janji dilaksanakan butuh sumber daya besar. Namun ini tidak ada kaitannya dengan penghentian program Teman Bus, karena sejak diluncurkan beberapa tahun yang lalu, sudah ditetapkan bahwa pada akhir program, atau exit, akan dilimpahkan pembiayaan dan pengoperasiannya ke pemerintah daerah penerima,” ujar Arif, Sabtu (4/1/2025).

1.Program subsidi harus disiapkan jalan keluarnya

ilustrasi subsidi (IDN Times/Aditya Pratama)

Menurut Arif, semua program pemerintah terkait subsidi dan insentif memang semestinya ada waktu untuk ‘exit’. Salah satunya dengan menghentikan subsidi atau mengalihkan subsidi ke pemerintah daerah penerima program. “Hanya saja exit strategi kadang kala tidak dipersiapkan dengan lebih baik, sehingga dapat menjadikan layanan berkurang atau berhenti sama sekali,” ungkapnya.
 
Arif menyebut beberapa daerah kondisinya benar-benar tidak siap, atau tidak menyiapkan diri saat pemerintah pusat sebagai pemberi insentif melakukan pengenalan atau diseminasi  program lima tahun lalu. “Dan khususnya saat pemerintah pusat menghentikan program yang harapannya dapat memindahkan pembiayaan dan pengelolaan ke pemerintah daerah,” kata dia.
 
Arif menilai DIY termasuk beruntung karena sudah hampir dua dekade menerapkan buy the service. Meski demikian proses pembelajaran dan perubahan Pergub yang mengiringi belum menjamin kesiapan penerimaan program dari pemerintah pusat.

2.Peralihan program teman bus

Ilustrasi Trans Jogja. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) itu berujar hampir di semua wilayah penerima program Teman Bus terdapat dua sisi pandang yang berbeda terjadi dalam proses peralihan ini. Pemerintah pusat memandang sebagai pengalihan aset (bus), sementara pemerintah daerah merespons sebagi pengalihan tanggung jawab (beban subsidi).
 
DIY adalah wilayah di luar Ibu Kota Negara yang pertama mengadopsi sistem buy the service. Istimewanya lagi, tidak mengandalkan pendanaan pusat untuk mengawali. Bahkan provinsi lain yang PADnya lebih besar belum tergerak, namun DIY sudah mengawalinya.

“Jogja mungkin terlalu istimewa untuk dapat ditiru oleh daerah lain. Di daerah lain kedudukan eksekutif lebih rentan ketika berhadapan dengan legistatif, sehingga tidak mudah untuk Gubernur dapat mengeksekusi sebuah program baru yang sifatnya mereformasi sistem lama,” ujar Arif.
 
DIY sendiri sebenarnya terus belajar dan memperbaiki sistem, seperti terlihat dari evolusi Pergub Penyelenggaraan Sistem Angkutan Perkotaan Bersubsidi Trans Jogja dengan Sistem Buy The Service yang setidaknya telah terjadi tiga kali. Di Pergub terbaru No 12  tahun 2024, denda untuk penyelenggara lebih eksplisit.
 
“Jadi sudah lebih progresif untuk menggeser posisi para pihak dari zona nyaman, meskipun belum pada tingkatan yang dapat mengungkit kinerja pokok seperti waktu tempuh dan ketepatan waktu. Alasannya masih klasik, karena belum ada lajur khusus bus agar bebas gangguan,” kata Arif.

3.Kondisi di berbagai daerah

Layanan Teman Bus. (Dok. Istimewa)

Arif menjelaskan untuk di Kota Medan, kondisinya mirip, namun sistem buy the service lebih nyata dirasakan oleh operator, karena pembayaran yang diterima operator benar-benar dihitung dari kilometer perjalananan yang ditempuh saat memberikan layanan. Karena layanannya juga mix traffic sama seperti Jogja, kecepatan tidak dapat dijamin, sehingga jika tidak ada upaya dari operator jarak tempuh dalam kontrak tidak bisa dipenuhi, efeknya adalah pengurangan pembayaran ke operator. Dalam hal ini operator merespons dengan mempercepat bus di malam hari agar kilometer perjalanan target bisa tercapai. Ironisnya, malam hari tidak ada lagi penumpang.
 
“Dari kasus Medan terlihat bahwa para pihak tidak lagi berada di zona nyaman. Pemerintah yang memilik kewenangan paling tinggi saat ini sedang menyiapkan sistem dengan lajur khusus di Kawasan Mebidang, karena merupakan salah satu kunci sukses pelayanan. Jogja selalu punya alasan klasik: ruas jalan sempit sehingga tidak memungkinkan lajur khusus. Sebenarnya bukan tidak cukup secara geometrik, tapi memang memerlukan pendakatan sosial engineering untuk mengelola sistem angkutan umum di Jogja,” ungkapnya.
 
Dengan penambahan aset dan pelimpahan tanggung jawab pengoperasian DIY bisa mengambil kesempatan dan menjadikan momentum untuk perbaikan sistem, termasuk skema kontrak dan infrastruktur pendukungnya. Hanya saja waktunya sangat terbatas saat peralihan pengelolaan ini. Hampir semua wilayah penerima program tidak siap meski tenggat waktu peralihan sudah diketahui sejak awal program.
 
“Sehingga pada saat peralihan masyarakat yang sudah menikmati layanan akan merasa kehilangan. Lebih khusus, beberapa teman difabel yang sudah mendapatkan pelayanan universal dari angkutan umum ini kapabilitasnya menjadi mundur. Begitu juga masyarakat yang tergantung dengan sistem ini termasuk anak sekolah yang dilayani akan kehilangan keistimewaan layanan tersebut,” kata Arif.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us