Penambangan di Grigak Kulon Progo Dikeluhkan Warga

- Penambangan tanpa sosialisasi
- Rumah singgah terancam longsor
- Warga tak tahu harus melapor ke mana
Kulon Progo, IDN Times - Warga di Padukuhan Grigak RT 19, Kalurahan Giripurwo, Kapanewon Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo menolak penambangan yang diduga tidak mengantongi izin. Pasalnya, aktivitas itu bisa menyebabkan sejumlah bangunan milik warga longsor saat musim hujan.
1. Penambangan tanpa sosialisasi

Salah satu pemilik lahan di RT 19, Munjid Alamsyah mengatakan, aktivitas tambang tersebut sebelumnya hanya ada di RT 18. Namun sebulan terakhir, aktivitas tambang itu merambat hingga RT 19.
“Izinnya ke RT 18, kemudian melebihi target sampai ke RT 19 tanpa sosialisasi, tidak warga yang disosialisasi. Tidak ada izin resmi, izin omong-omong saja langsung dikeruk,” katanya Sabtu (18/10/2025).
2. Rumah singgah terancam longsor

Munjid mengungkapkan luas lahan RT 19 yang sudah digali mencapai satu hektare, seluruhnya merupakan pekarangan. Setiap hari kecuali saat hujan, terlihat alat berat menggali tanah dan lalu-lalang truk mengangkut tanah.
Bangunan yang menjadi batas terakhir terancam longsor jika terjadi hujan. Bangunan itu hanya berjarak satu meter dari tebing curam hasil galian sedalam 10 meter.
“Bangunan terakhir rumah singgah dan pengelolaan, buat pembelajaran masyarakat, sama ada kandang dulunya kandang ternak . Tanpa ada sosialisasi, tiba-tiba terhimpit. Kita dikasih tahu sudah terhimpit tinggal satu meter, langsung ke bawah tegak lurus sekitar 10 meter,” jelasnya.
Munjid menjelaskan, jika bangunan terakhir itu dirobohkan untuk dikeruk tanahnya, dikhawatirkan aktivitas pertambangan semakin meluas dan dampak pasca tambang semakin mendekat ke warga sekitar. Sebab, jarak antara galian tambang ke pemukiman terdekat hanya sekitar 20 meter. “Saya ngomong-ngomong sama warga, mereka senang kalau kandang sama bangunan terakhir itu dipertahankan,” katanya.
3. Warga tak tahu harus melapor ke mana

Pemilik bangunan terakhir, lanjut Munjid, sebenarnya memperbolehkan lahan tersebut digali dengan syarat setidaknya dibuatkan talud dan dibangun Kembali rumah tinggal. Namun pihak pelaksana tidak menyanggupi dan terkesan lepas tangan jika terjadi sesuatu yang buruk pasca penambangan. Bahkan warga tidak tahu lahan galian tersebut ke depannya akan difungsikan sebagai apa.
“Setelah tambang selesai tidak tahu mau dibuat gimana, gambarnya seperti apa masyarakat tidak tahu. Cuma kata Pak Dukuh yang di RT 18 dibuat pembuatan bibit, yang RT 19 belum tahu,” sambungnya.
Warga pun bingung menyikapi persoalan ini. Pasalnya, mayoritas warga adalah petani dan tidak paham regulasi soal tambang. Selama ini warga hanya membiarkan saja adanya aktivitas tambang tersebut.
“Warga bingung lapor ke mana, kalau ke kabupaten ketemu siapa bingung. Tingkat pengetahuannya beda sama orang kota. Ada penambangan ya dibiarkan saja, mau berargumentasi sama (ketua) RT, Dukuh, gitu juga nggak sampai,” terangnya.
Pihaknya berencana untuk melapor, entah atas nama pribadi maupun kelompok. Sebab, dampak dari tambang ini bisa berkepanjangan, terlebih tidak ada izin maupun sosialisasi kepada warga. “Yang saya lihat dampaknya lebih parah, warga mau berkeluh kesah sama siapa tidak berani, akhirnya saya siap bantu di depan, jadi tempat keluhannya. Kalau penambangan sesuai prosedur kita bisa menerima, karena saya lihat tidak transparan dan tidak sesuai, kebanyakan merugikan warga, ya kita bakal lapor,” katanya.