Pakar UGM soal Sekolah Rakyat Prabowo: Belum Mendesak, Ganti Penamaan

Intinya sih...
- Program Sekolah Rakyat belum tepat karena di bawah Kementerian Sosial, bukan Kementerian Pendidikan.
- Sekolah konvensional masih memerlukan perhatian pemerintah, dari bangunan rusak hingga gaji guru.
- Usulan agar program tetap di bawah Kemendikdasmen, ditempatkan di wilayah 3T, dan dinamai "Sekolah Unggulan" untuk menghindari stigma negatif.
Sleman, IDN Times - Dosen Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Subarsono, menilai program sekolah rakyat program Presiden Prabowo Subianto belum tepat karena beberapa alasan.
Subarsono pertama menggarisbawahi program ini yang semestinya diampu oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, bukannya Kementerian Sosial.
"Saya kira ini menjadi problematik berada di bawah Kementerian Sosial karena tupoksinya bukan mengurusi masalah pendidikan. Jadi, ini dipertanyakan mengenai domain dari kebijakan itu. Kalau di bawah Kementerian Sosial saya pikir itu tidak tepat," kata Subarsono, Selasa (14/1/2025).
1. Belum terlalu mendesak, sekolah konvensional masih butuh atensi
Selain itu, Subarsono menilai program ini belum terlalu mendesak dilaksanakan melihat fakta bahwa masih banyak sekolah konvensional yang memerlukan perhatian pemerintah. Persoalan sekolah konvensional itu mulai dari bangunan rusak hingga gaji para guru terutama honorer yang masih memprihatinkan.
Subarsono menekankan, banyak pertimbangan yang perlu dikaji dalam merealisasikan Sekolah Rakyat ini, sekalipun begitu masih ada harapan dengan terimplementasikannya program ini.
"Saya pikir bukan tidak efisien tapi saya tidak yakin ketepatan untuk dilakukan saat ini. Kenapa kita tidak membenahi sistem yang sudah ada. Kan untuk sekolah itu mendapat Dana BOS dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan dan apabila ingin meningkatkan kualitas pendidikan bagaimana meningkatkan dana BOS, memperbaiki kurikulum, dan meningkatkan kompetensi guru," paparnya.
2. Baiknya dilaksanakan di 3T
Kementerian Sosial sejauh ini memang belum memberikan penjelasan detail mengenai pengadaan Sekolah Rakyat ini.
Namun demikian, jika tetap dipaksakan, Subarsono mengusulkan agar program ini tetap di bawah Kemendikdasmen dan ditempatkan di lokasi yang tepat sasaran untuk mengentaskan permasalahan yang ada di Indonesia.
"Saya berharap bahwa program ini tetap di bawah naungan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah bukan di bawah Kemensos. Yang kedua, dibangun di daerah yang tepat seperti 3T (Tertinggal, Terluar, dan Termiskin)," kata Subarsono.
"Jadi, kriteria yang dibangun harus jelas seperti apa karena orientasinya untuk orang miskin, gratis, dan berasrama. Saya pikir pantasnya berada di daerah yang belum maju," sambungnya.
3. Penamaan Sekolah Rakyat juga riskan
Dia menerangkan, secara historis memang Sekolah Rakyat sudah berdiri sejak zaman penjajahan Belanda yang kemudian diubah menjadi sekolah dasar. Adanya istilah ini dikhawatirkan memunculkan diskriminasi karena sudah ada sekolah dasar.
Program Sekolah Rakyat kemungkinan justru juga akan membentuk stigma negatif di kalangan masyarakat mengenai penamaannya.
"Sebaiknya untuk penamaannya Sekolah Unggulan saja jangan Sekolah Rakyat sehingga tidak menciptakan dualisme dengan adanya terminologi baru yang muncul," saran Subarsono.