Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Jaga Kearifan Lokal Sumbu Filosofi, Belajar Pengelolaan Subak Bali

Sumbu Filosofi Yogyakarta (jogjaprov.go.id)

Yogyakarta, IDN Times - Aspek nilai budaya lokal dan masyarakat menjadi bagian yang coba ditekankan dalam pengembangan Sumbu Filosofi Yogyakarta setelah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia, pada 18 September 2023 lalu.

Hingga saat ini sejumlah pekerjaan rumah masih dikerjakan Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) untuk menjaga dan mengembangkan Sumbu Filosofi Yogyakarta.

Sumbu Filosofi Yogyakarta membentang dari Panggung Krapyak di sebelah selatan, Keraton di bagian tengah dan Tugu Yogyakarta di sebelah utara, menjadi konsep tata ruang yang dibuat berdasar konsepsi Jawa dan berbentuk struktur jalan lurus. Di dalamnya hingga saat ini juga bersinggungan dengan masyarakat dan sumber ekonominya.

Sekretaris Daerah (Sekda) DIY, Beny Suharsono mengatakan untuk menjaga dan mengembangkan Sumbu Filosofi setidaknya dipengaruhi lima hal. "Adanya tekanan pembangunan, tekanan lingkungan, kesiapsiagaan bencana, isu pariwisata berkelanjutan, dan eksistensi sosial-budaya masyarakat sekitar," ujar Beny saat studi banding di Warisan Budaya Subak Bali, Senin - Rabu (27-29/5/2024).

1. Kearifan lokal dan dampak ke masyarakat

(ki-ka) Sekda DIY, Beny Suharsono dan Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV, Abi Kusno. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Aspek budaya menjadi bagian yang penting dalam menjaga Warisan Dunia Sumbu Filosofi Yogyakarta. Terlebih struktur jalan penuh simbolisme filosofis merupakan perwujudan falsafah Jawa tentang keberadaan manusia yang meliputi daur hidup manusia (Sangkan Paraning Dumadi), kehidupan harmonis antar manusia dan antara manusia dengan alam (Hamemayu Hayuning Bawana), hubungan antara manusia dan Sang Pencipta serta antara pemimpin dan rakyatnya (Manunggaling Kawula Gusti), serta dunia mikrokosmik dan makrokosmik.

Saat studi banding di Subak Bali, aspek kelokalan filosofi Tri Hita Kirana, menjadi bagian penting dalam menjaga Subak Bali yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia sejak tahun 2012. "Hampir sama (filosofi yang diterapkan di Subak dan di Sumbu Filosofi Yogyakarta," ucap Beny.

Menurut Beny, kondisi masyarakat yang berbeda, membuat penerapannya berbeda. Terlebih di DIY, masyarakatnya sangat heterogen. Menjadi bagian penting memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang filosofi yang ada, di Sumbu Filosofi Yogyakarta, sehingga masyarakat merasa memiliki.

Pengalamaan untuk penataan yang lebih baik, disebut Beny juga dilakukan, seperti menata kawasan yang berada di pinggir sungai. "Misalnya sungai dulu dianggap halaman belakang. Menjadi zona penyangga, saat ini menjadi halaman depan," kata Beny.

Demikian pula dengan Sumbu Filosofi Yogyakarta, penataan dilakukan dengan membuat peta jalan yang mengacu arahan dari UNESCO. "Tahun ini kita sedang menata fasad, terutama di Malioboro termasuk elevasi bangunan," kata Beny.

Diharapkan kehadiran Sumbu Filosofi Yogyakarta, Jogja sebagai kota wisata semakin menghidupkan ekonomi masyarakat. "Di Jogja kuliner laku, becak laku, laundry, hotel, tour guide laku, transport dan seterusnya. Pentas-pentas tradisional juga muncul itu yang diharapkan, sehingga yang dijual bukan harga, tapi value," ungkap Beny.

Belajar dari Subak Bali yang awalnya hanya dimanfaatkan untuk pengairan pertanian, Subak Bali merupakan sistem yang sangat luas yang diyakini dapat memelihara kehidupan agar bisa berlangsung. "Sama halnya Sumbu Filosofi, nek dadi (kalau jadi) Sumbu Filosofi tenan yang diakui dunia, kita merasa memiliki ndak. Kalau tidak kan tidak ada artinya," ujar Beny.

2. Tri Hita Karana jadi pedoman mempertahankan Subak Bali

Subak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XV, Abi Kusno mengungkapkan, Subak lebih dari sistem irigasi tradisional, juga sebagai cerminan filosofi Tri Hita Karana yang dianut masyarakat Bali. Subak menjadi organisasi sosial dan keagamaan yang mengatur pengelolaan air sawah secara adil dan harmonis sejak abad ke-10.

Perwujudan Tri Hita Karana pada Subak terbagi tiga yakni, Parahyangan atau hubungan harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, diwujudkan melalui ritual dan doa di pura Uluncarik atau Bedugul. Kemudian, Pawongan atau hubungan harmonis antar sesama anggota Subak yang diwujudkan melalui musyawarah mufakat dan gotong royong. Serta, Palemahan atau hubungan harmonis dengan alam, diwujudkan melalui pengelolaan air yang berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan.

Tidak ditampik Abi, sejumlah tantangan dalam menjaga Subak Bali sebagai warisan dunia, di antaranya konservasi lahan pertanian, dampak revolusi hijau, risiko bencana hidrometeorologi, regenerasi petani. Selain itu juga lemahnya kelembagaan subak, kebutuhan finansial tinggi dalam penyelenggaraan upacara, kemudian pemberlakuan pajak yang dinilai memberatkan petani, dan ketiadaan dewan pengelola.

"Terlepas dari tantangan yang ada, Subak Bali juga memiliki peluang dalam pengelolaannya, diantaranya Subak sebagai lembaga otonom dan salah satu pilar kebudayaan Bali. Filosofi Tri Hita Karana menjadi landasan kehidupan masyarakat Bali," ucap Abi.

3. Tak jual sawah, masyarakat merasa memiliki warisan dunia

Subak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Ketua Kelompok Tani atau Pekaseh Subak Pulagan, di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, Sang Nyoman Astika menjelaskan area persawahan Subak mencakup sekitar 95 hektare. Lahan yang dipunyai warga di Subak merupakan lahan turun temurun diwariskan dari leluhur dan tak tidak akan pernah dijual.

Dalam pengelolaan lahan pertanian juga menerapkan kearifan lokal. Setiap tahapan dalam menggarap sawah mulai dari proses bercocok tanam dan memanen didahului dengan upacara adat. "Itu sudah aturan dan turun temurun dilaksanakan karena Subak ini jadi ketahanan pangan warga dan juga pelaksanaan upacara adat," ujarnya.

Dikatakan pria yang sudah 20 tahun menjadi pekaseh itu mengungkapkan, masyarakat setempat yang punya rasa memiliki menjadikan subak ini masih lestari, minim alih fungsi lahan. Akses di kawasan subak dibuat sedemikian rupa agar tidak ada alih fungsi lahan yang masif. "Kami bikin jalan kecil supaya tidak cepat alih fungsi lahan. Kalau jalan besar kan gampang bawa material, sehingga lebih mudah terjadi pembangunan, ungkapnya.

Selain lahan yang tidak produktif, alih fungsi lahan, menurut Nyoman biasanya karena masyarakat yang memang sudah terdesak kebutuhan, sehingga harus menjual lahannya. "Misalnya yang kepepet itu beberapa karena anaknya sakit, dia pinjam uang otomatis sawahnya dijual," ungkapnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us