Gagal Jadi ASN, Haryanti Malah Sukses Ekspor Kriya dari Batok Kelapa

- Haryanti (54), warga Sewon, Bantul, mengolah batok kelapa menjadi kerajinan sejak 2002 setelah gagal menjadi ASN guru.
- Usahanya mendapat dukungan Pemkab Bantul hingga bisa ikut pameran di dalam dan luar negeri, bahkan jadi narasumber di Sri Lanka.
- Produk batok kelapa kini dipasarkan di Malioboro, Bali, YIA, Sarinah, serta diekspor ke Prancis, Turki, dan Jamaika meski jumlah pekerja berkurang usai pandemi.
Bantul, IDN Times - Tempurung kelapa sering kali dianggap tak berguna dan berakhir jadi limbah. Namun, siapa sangka dari sebuah desa di Bantul, limbah sederhana itu justru menjelma jadi produk kriya bernilai tinggi. Adalah Haryanti (54), perempuan yang dengan tekadnya berhasil mengubah batok kelapa menjadi karya bernilai ekonomi, bahkan menembus pasar hingga Eropa dan Afrika.
1. Usaha kerajinan tangan dari batok dirintis sejak 2002

Ditemui di rumah produksinya, Yanti Batok Jogja, Haryanti menceritakan awal mula usahanya yang dimulai pada 2002. Kala itu, ia gagal mewujudkan keinginan menjadi ASN guru karena biaya yang dibutuhkan cukup besar bagi seorang honorer.
"Uang yang kumpulkan kemudian saya kembangkan untuk mengolah tempurung kelapa atau batok menjadi kerajinan tangan," katanya, Minggu (24/8/2025).
2. Dapat pendampingan dari Pemkab Bantul untuk pameran

Di awal, Haryanti membuat kerajinan sederhana seperti gantungan kunci, kalung, gelang, hingga tas berbahan tempurung kelapa. Karyanya kemudian dilirik Pemkab Bantul yang mengajaknya mengikuti berbagai pameran, mulai dari Bantul Expo, Jogja Expo, Inakraf, hingga pameran di sejumlah kota besar di Indonesia bahkan sampai Belanda.
"Kita diminta menjadi narasumber di berbagai daerah terutama pada daerah yang terdapat tanaman pohon kelapa yang cukup banyak dan melimpah," ucapnya. "Bahkan kita diminta menjadi narasumber di Sri Langka tahun 2013 yakni pengolahan limbah batok kelapa," tambahnya.
3. Bahan baku batok harga terus merangkak naik

Haryanti mengaku, saat memulai usahanya harga batok kelapa masih sangat murah, bahkan kadang didapat cuma-cuma. Namun kini, seiring meningkatnya nilai ekonomis, harga batok kelapa melonjak tajam.
"Saat tahun 2002 silam satu karung batok kelapa hanya Rp5 ribu, namun untuk saat sampai Rp30 ribu setiap satu karung," tuturnya.
Meski harga bahan baku naik, produk kerajinannya juga makin beragam, mulai dari tas, hiasan dinding, hiasan lampu, hingga peralatan dapur. Semua dikerjakan manual, sehingga kapasitas produksi pun terbatas.
"Untuk produk tas dalam satu bulan hanya bisa menghasilkan 100 tas sebab semua dikerjakan secara manual dengan tangan," jelasnya.
4. Produk kerajinan dari batok tembus pasar ekspor

Pemasaran produk batok kelapa kini meliputi pasar domestik, mulai dari Malioboro, Bali Batik, Bandara YIA, hingga Sarinah Jakarta. Sedangkan untuk pasar ekspor, kerajinannya sudah dikirim ke Prancis, Turki, hingga Jamaika.
"Untuk ekspor ke Jamaika saat sedang proses dan untuk harga pasar domestik dengan luar negeri tentunya lebih mahal pasar luar negeri," tandasnya.
Sebelum pandemi COVID-19, Haryanti mempekerjakan 15 orang untuk memproduksi kerajinan setiap hari. Namun setelah pandemi, jumlah pekerja berkurang menjadi sekitar 10 orang.
"Pandemi COVID-19 dampaknya cukup berat, namun saat ini sudah kembali pulih lagi meski hanya mempekerjakan 10 orang," terangnya.