TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pergub Tak Dicabut, Masyarakat Sipil Laporkan Sultan ke Ombudsman

Pergub 1/2021 disebut tak terbuka, tak aspiratif, tak tertib

Pelaporan dugaan mal administratif atas Pergub 1/2021 ke Ombudsman Perwakilan DIY, 27 Januari 2021. (Dok. Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta)

Yogyakarta, IDN Times - Somasi yang disampaikan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) pada 19 Januari 2021 lalu tak juga ditindaklanjuti oleh Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X.

Somasi itu berisi desakan Sultan untuk mencabut atau membatalkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka yang diteken pada 4 Januari 2021. ARDY mengambil tindakan selanjutnya karena batas waktu pencabutan hingga 26 Januari 2021 tak ditanggapi.

“Kami melaporkan Gubernur DIY ke Ombudsman karena dugaan maladministrasi,” kata Direktur Indonesia Court Monitoring (ICM) Tri Wahyu kepada Kepala Ombudsman RI Perwakilan DIY, Budhi Masturi, di kantornya, 27 Januari 2021.

Indikasi maladministrasi diatur dalam Pasal 1 ayat 3 UU Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Pergub itu membatasi kebebasan berpendapat dan bereskpresi publik di Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Malioboro, dan Kotagede dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar.

Jumlah elemen masyarakat sipil yang bergabung menyuarakan solidaritas penolakan pergub tersebut terus bertambah. Semula ada 38 elemen, kini bertambah menjadi 79 elemen, baik mengatasnamakan lembaga atau pun individu.

Baca Juga: Sultan Larang Demo di Malioboro, TNI Dilibatkan Hadapi Masyarakat

1. Sultan dinilai inkonsisten dalam penyusunan pergub

Suasana pelaporan dugaan maal administrasi Gubernur DIY atas Pergub 1/2021 di Kantor Ombudsman DIY, 27 Januari 2021. Dokumentasi AJI Yogyakarta

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta Yogi Zul Fadli membeberkan sejumlah dugaan pelanggaran prosedur formal yang dilakukan Sultan.

Pertama, penyusunan Pergub Nomor 1 Tahun 2021 dinilai melanggar asas keterbukaan berdasar Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Asas itu mengharuskan seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan itu.

Masukan itu bisa disampaikan secara lisan atau tulisan, baik melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi atau seminar, lokakarya, atau pun diskusi publik.

“Jangankan memberi masukan, masyarakat mengakses rancangan pergub itu pun sulit. Cenderung tertutup,” kata Yogi.

Kedua, pergub tersebut diduga juga melanggar asas-asas umum penyelenggaraan negara, salah satunya asas kepentingan umum berdasar UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Perwujudan asas kepentingan umum adalah peran serta masyarakat dalam menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab teradap kebijakan penyelenggara negara.

Dugaan lainnya adalah diabaikannya asas partisipatif dalam penyelenggaran pelayanan pubik yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2009. Partisipasi dalam menyampaikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang demokratis tidak diperhatikan dalam pergub itu.

Yogi juga menilai ada inkonsistensi Sultan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Dia mencontohkan ketika penyusunan SOP New Normal DIY, Sultan mengatakan akan melakukan uji publik SOP terlebih dahulu sebelum dijadikan pergub. Pernyataan Sultan disampaikan dalam artikel di laman resmi Pemda DIY.

Namun langkah yang sama tak diberlakukan dalam penyusunan Pergub Nomor 1 Tahun 2021 sehingga melanggar Pasal 3 ayat 2 UU Nomor 28 Tahun 1999, yaitu pelanggaran atas asas tertib penyelenggaraan negara.

2. Pergub merujuk keputusan Menteri Pariwisata, tapi diprakarsai Kesbangpol DIY

Ilustrasi kawasan Malioboro. IDN Times/Paulus Risang

Tri Wahyu juga menengarai ada keganjilan dalam penyusunan pergub tersebut. Penentuan tempat-tempat umum yang dilarang menjadi lokasi penyampaian pendapat itu merujuk pada Keputusan Menteri Pariwisata (Menpar) Nomor KM.70/UM.001/2016 tentang Penetapan Obyek Vital Nasional di Sektor Pariwisata.

“Keputusan Menpar sudah terbit 2016 lalu. Mengapa pergub baru dikeluarkan 2021? Ada jeda lima tahun,” kata Tri Wahyu.

Keganjilan kedua, jika yang menjadi rujukan adalah Keputusan Menpar, maka pemrakarsa pergub tersebut semestinya institusi terkait, yaitu Dinas Pariwisata DIY. Namun usai dilakukan pengecekan di Biro Hukum, pemrakarsa Pergub Nomor 1 Tahun 2021 adalah Dinas Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) DIY. Sementara rencana strategis Kesbangpol DIY 2017-2022 tidak mencantumkan soal rencana penyusunan pergub tersebut.

“Ini sangat aneh. Kesbangpol sebagai pemrakarsa pun tak mencantumkan rencana pergub itu dalam website-nya,” kata Tri Wahyu.

3. Agar martabat demokrasi di Yogyakarta terjaga, pergub harus dicabut

Aksi demonstrasi di Jalan Gejayan. IDN Times/Paulus Risang

Dosen Hukum Tata Negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Gugun El Guyanie menegaskan, pergub itu sangat berpotensi mereduksi hak konstitusional setiap warga negara untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum. Sekaligus mendistrorsi Yogyakarta sebagai kota pelajar yang demokratis, yang punya sejarah panjang, ada kampus, seniman, budayawan, akademisi, dan masyarakat yang menjunjung kebebasan berekspresi.   

Sementara seluruh tempat publik boleh menjadi tempat menyampaikan aspirasi sepanjang tidak melanggar kepentingan umum.

“Segera cabut pergub ini untuk menjaga martabat Yogyakarta sebagai kiblat demokrasi Indonesia,” kata Gugun dalam siaran persnya.

Baca Juga: Sri Sultan Persilakan Gugat ke PTUN Terkait Pergub Pembatasan Demo

Berita Terkini Lainnya