Sri Sultan Persilakan Gugat ke PTUN Terkait Pergub Pembatasan Demo

Sri Sultan mengaku tak punya pilihan lain

Yogyakarta, IDN Times - Penerbitan Pergub DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka berbuntut panjang.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X disomasi Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY). Sri Sultan diminta segera mencabut Pergub tersebut, meski diakuinya ia hanya menindaklanjuti Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri Pariwisata.

"Kalau saya usul, sudah saya di-PTUN saja. Sehingga kepastian itu ada di pengadilan. Soalnya saya gak melaksanakan juga salah, melaksanakan juga dianggap tidak demokratis. Ya sudah (gugat) PTUN saja," ujarnya di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, Kamis (21/1/2021).

1. Sri Sultan mengaku tak punya pilihan lain

Sri Sultan Persilakan Gugat ke PTUN Terkait Pergub Pembatasan DemoGubernur DIY Sri Sultan HB X / Dokumentasi Humas Pemda DIY

Sultan mengaku tak punya pilihan selain menerbitkan Pergub yang sebenarnya adalah tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum beserta aturan turunannya. Meliputi Keputusan Presiden Nomor 63 Tahun 2004 tentang Pengamanan Obyek Vital Nasional dan Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016 tentang Penetapan Objek Vital Nasional di Sektor Pariwisata.

"Jadi kalau saya tidak melakukan itu saya tidak melaksanakan," kata Sri Sultan

Baca Juga: Sultan Larang Demo di Malioboro, TNI Dilibatkan Hadapi Masyarakat

2. Bakal terima apa pun hasilnya jika sampai di pengadilan

Sri Sultan Persilakan Gugat ke PTUN Terkait Pergub Pembatasan DemoIlustrasi hakim di pengadilan (IDN Times/Sukma Shakti)

ARDY sebelumnya mendesak Sultan untuk mencabut Pergub tersebut karena isinya dinilai mengancam kehidupan demokrasi di DIY ke depannya. 

Pasal yang digarisbawahi ARDY antara lain, Bab II Pasal 5 tentang lima lokasi ruang terbuka yang dikecualikan atau dilarang menjadi lokasi aksi demonstrasi. Meliputi Istana Negara Gedung Agung, Keraton Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Malioboro, dan Kotagede dengan radius 500 meter dari pagar atau titik terluar. Waktu untuk melakukan aksi demo pun kini dibatasi dari pukul 06.00-18.00 WIB.

Pergub tersebut juga mengatur pelibatan TNI untuk mengurus pengendalian penyampaian kebebasan berekspresi dan berpendapat. Ada tiga peran TNI dalam urusan ini, yaitu koordinasi, baik sebelum, pada saat, dan setelah penyampaian pendapat berlangsung, serta pemantauan dan evaluasi.

Meski peran TNI yang dihidupkan kembali dalam Pasal 10-13 pergub itu sudah ditiadakan pasca-reformasi 1998 dengan penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Bahwa tugas tentara hanyalah mengurusi pertahanan dengan melindungi keutuhan dan kedaulatan negara. Bukan lagi mengurusi urusan sipil politik.

Sultan mempersilakan mereka yang tak setuju dengan substansi Pergub ini untuk menggugat dirinya ke PTUN. Ia bakal menerima apapun hasil keputusan sidang.

"Gak ada masalah (digugat). Jadi keputusan itu keputusan pengadilan. Apapun keputusannya aku manut tapi, dasarnya ada. Kalau saya terus nyabut (Pergub), nanti Menteri Pariwisatanya negur aku, kok tidak melaksanakan. Kleru meneh," pungkasnya.

3. Aturan demo di objek vital sudah ada sebelum Pergub

Sri Sultan Persilakan Gugat ke PTUN Terkait Pergub Pembatasan DemoIlustrasi kawasan Malioboro. IDN Times/Paulus Risang

Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah DIY Dewo Isnu Broto menyebutkan tanpa adanya Pergub ini penyelenggaraan demonstrasi di area Benteng Vredeburg, Istana Negara Gedung Agung, kawasan Kotagede, Keraton Yogyakarta, Puro Pakualaman, dan kawasan Malioboro sebenarnya sudah dilarang. Mengingat statusnya sebagai objek vital nasional.

Ini tercantum dalam Keputusan Menteri Pariwisata Nomor KM.70/UM.001/MP/2016, yang menyebutkan lokasi-lokasi di atas sebagai objek vital nasional di sektor pariwisata.

Lalu, lanjut Dewo, Pasal 9 Ayat (2) UU No 9 Tahun 1998 menyebutkan bahwa penyampaian pendapat di muka umum tidak boleh dilakukan di objek vital nasional, kecuali dalam radius 500 meter dari pagar terluar objek tersebut.

"Ada atau tidaknya pergub itu, ketentuan (pelarangan demo di objek vital) ini sebetulnya sudah berlaku," kata Dewo, Rabu (20/1/2021) kemarin.

Penyampaian pendapat ke Pemda DIY bisa dilakukan dengan mengirimkan perwakilan ke kantor Gubernur atau Gedung DPRD DIY. Bukan dengan mengadakan demonstrasi di area objek vital nasional.

"Perwakilan bisa datang ke kantor gubernur atau DPRD. Itu boleh dilakukan karena kami tidak pernah melarang hak menyampaikan pendapat karena itu bagian dari demokrasi dan hak asasi," tandasnya.

Baca Juga: Sri Sultan Tepis Anggapan Pencopotan Adiknya Terkait Sabdatama

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya