Pelaku UMKM Masih Terkendala Urus Perizinan Usaha

- Legalitas usaha meliputi NIB, izin edar produk, sertifikasi halal, BPOM, hak kekayaan intelektual, dan legalitas badan usaha.
- Perizinan membangun kepercayaan pasar dengan pentingnya dokumen legal untuk distribusi, promosi produk, dan keamanan produk.
- Legalitas harus diiringi peningkatan produktivitas dengan faktor seperti kapasitas manajerial, adopsi teknologi, akses pasar, motivasi kewirausahaan, dan dukungan eksternal.
Yogyakarta, IDN Times – Perizinan usaha masih menjadi tantangan utama bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Indonesia. Rendahnya pemahaman, birokrasi yang rumit, serta sistem layanan yang belum optimal membuat banyak pelaku usaha kesulitan mengurus dokumen legalitas.
Hal ini terungkap dalam diskusi UMKM Class Series #26 bertema “Perizinan dan Produktivitas Kerja UMKM” yang digelar Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM) UGM di Ruang Sidang 1 DPKM UGM, Bulaksumur, Selasa (12/8/2025). Tiga narasumber hadir, yakni Nuri Hermawati, dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) DIY; Seno Ajisaka, Kepala Layanan BSN Kantor Layanan Terpadu Yogyakarta; dan Mohammad Genta Mahardhika, dosen Sekolah Vokasi UGM.
1. Legalitas usaha bukan hanya Nomor Induk Berusaha

Nuri Hermawati menyampaikan bahwa hambatan dalam perizinan berdampak pada pengembangan usaha, akses modal, dan partisipasi UMKM dalam ekonomi formal.
“Legalitas atau perizinan yang dimaksud tidak hanya sebatas Nomor Induk Berusaha (NIB), tetapi juga mencakup izin edar produk seperti PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga), sertifikasi halal, izin edar dari BPOM, hak kekayaan intelektual seperti merek dagang, serta legalitas badan usaha,” katanya dilansir laman resmi UGM.
Menurut Nuri, kurangnya pemahaman, keterbatasan informasi, dan kendala proses perizinan menghambat pelaku UMKM. Pada 2023, dari sekitar 64,19 juta unit UMKM, hanya 5,8 persen yang memiliki NIB, yang juga berdampak pada rendahnya kepemilikan sertifikasi halal maupun Standar Nasional Indonesia (SNI).
2. Perizinan membangun kepercayaan pasar

Sementara, Seno Ajisaka menegaskan pentingnya dokumen legal dalam memperluas pasar dan meningkatkan nilai tambah produk. Tanpa dokumen legal yang sah, UMKM sering terhambat dalam distribusi dan promosi produk, serta rentan terhadap isu keamanan produk dan kepercayaan pasar.
“Pemerintah Indonesia melalui berbagai kebijakan, termasuk Online Single Submission Risk-Based Approach (OSS-RBA), telah membuka jalan untuk penyederhanaan dan percepatan proses perizinan bagi pelaku UMKM,” ungkapnya.
Ia menambahkan, DPMPTSP dan BPOM berperan memastikan produk UMKM sesuai standar serta memberi fasilitasi perizinan. Namun, banyak pelaku usaha belum memahami prosedur atau belum memanfaatkan pendampingan yang tersedia.
3. Legalitas harus diiringi peningkatan produktivitas

Mohammad Genta Mahardhika menekankan bahwa izin usaha saja belum cukup untuk meningkatkan daya saing. Perlu adanya upaya komprehensif untuk mendorong semangat dan kemampuan pelaku UMKM agar tidak hanya legal, tetapi juga produktif dan inovatif.
“Faktor-faktor seperti kapasitas manajerial, adopsi teknologi, akses pasar, motivasi kewirausahaan, dan keberlanjutan dukungan dari pihak eksternal menjadi penentu penting dalam meningkatkan produktivitas kerja UMKM secara berkelanjutan,” jelasnya.
Menurutnya, banyak UMKM berhenti di tahap legalitas tanpa peningkatan kapasitas produksi, efisiensi, maupun kualitas produk, yang akhirnya membuat daya saing tetap rendah.
Direktur Pengabdian kepada Masyarakat UGM, Dr. dr. Rustamaji, menilai perizinan harus diiringi dengan strategi untuk mendorong kinerja UMKM. “Harapannya para pelaku UMKM akan mampu menyusun perencanaan dan pengembangan bisnis mereka, melalui kelengkapan perizinan sehingga dapat memberikan perlindungan serta jaminan kepercayaan pasar,” jelasnya.