Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kenapa Gamer Zaman Now Lebih Sensitif terhadap Kualitas Game?

ilustrasi bermain game di PC (unsplash.com/Samsung Memory)
ilustrasi bermain game di PC (unsplash.com/Samsung Memory)
Intinya sih...
  • Ekspektasi tinggi karena perkembangan teknologi
  • Game sudah menjadi investasi waktu dan uang
  • Gamer terbiasa membandingkan game secara langsung
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dunia game sudah sangat berbeda dibandingkan sepuluh atau dua puluh tahun lalu. Jika dulu pemain cukup puas dengan grafis piksel atau gameplay sederhana, kini standar itu sudah jauh meningkat. Gamers modern tak hanya menilai dari satu aspek, tapi melihat game sebagai paket lengkap, seperti grafis, gameplay, cerita, stabilitas, hingga model monetisasi.

Ekspektasi pun ikut berubah menjadi lebih tinggi dan kritis. Jadi wajar kalau gamer zaman sekarang terkesan lebih rewel terhadap kualitas game. Lantas, apa saja faktor-faktor kunci yang membentuk standar baru ini? Berikut lima hal yang mungkin bisa jadi alasannya!

1. Ekspektasi tinggi karena perkembangan teknologi

ilustrasi bermain game di PC (unsplash.com/Joceline Painho)
ilustrasi bermain game di PC (unsplash.com/Joceline Painho)

Seiring teknologi yang semakin canggih, gamers pun punya ekspektasi yang makin tinggi. Dulu, game dengan grafis 3D sederhana seperti di PlayStation 1 saja sudah dianggap luar biasa. Tapi kini Ray tracing, animasi realistis, dan dunia open-world yang luas jadi standar minimal.

Developer pun berada di bawah tekanan untuk terus menyajikan pengalaman visual dan teknis yang mengesankan. Ketika sebuah game rilis tapi tampil seadanya, wajar kalau gamer kecewa karena mereka tahu bahwa teknologi saat ini mampu menyuguhkan lebih dari itu. Kualitas yang biasa-biasa saja dianggap sebagai bentuk kemalasan atau ketidakseriusan pengembang.

2. Game sudah menjadi investasi waktu dan uang

ilustrasi bermain game di HP (unsplash.com/Amanz)
ilustrasi bermain game di HP (unsplash.com/Amanz)

Gamers modern tak hanya bermain untuk hiburan, tapi juga berinvestasi, baik dalam bentuk waktu maupun uang. Game AAA bisa dibanderol hingga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah, belum lagi microtransaction dan DLC tambahan. Selain itu, banyak gamer juga meluangkan puluhan hingga ratusan jam untuk menamatkan satu game.

Dengan investasi sebesar itu, wajar jika mereka menuntut pengalaman yang sepadan. Jika game tersebut terasa setengah matang, penuh bug, atau repetitif, rasa kecewanya pun jadi lebih besar. Mereka tidak hanya kehilangan uang, tapi juga waktu berharga.

3. Gamer terbiasa membandingkan game secara langsung

ilustrasi bermain game di konsol (unsplash.com/Alvaro Reyes)
ilustrasi bermain game di konsol (unsplash.com/Alvaro Reyes)

Di era digital, membandingkan satu game dengan game lain jadi lebih mudah. Ada banyak video review gameplay di YouTube, ulasan pengguna di Steam, hingga diskusi di Reddit atau forum-forum lokal. Hal ini membuat standar kualitas makin ketat.

Saat ada satu game yang tampil luar biasa, game lain pun secara tak langsung akan dibandingkan dan dituntut punya kualitas serupa. Ini bukan soal suka membanding-bandingkan semata, tapi lebih ke arah pembentukan referensi dan preferensi. Gamer jadi lebih sadar mana yang layak dimainkan dan mana yang bisa dilewati.

4. Trauma game gagal di masa lalu

ilustrasi Nintendo Switch (unsplash.com/Anthony)
ilustrasi Nintendo Switch (unsplash.com/Anthony)

Banyak gamers pernah mengalami kekecewaan karena game yang dijanjikan luar biasa, ternyata rilis dalam kondisi kacau. Contohnya, game-game yang rilis dengan penuh bug, tidak sesuai trailer, atau bahkan dipenuhi microtransaction yang mengganggu gameplay. Pengalaman buruk ini membentuk semacam kewaspadaan kolektif di kalangan gamers.

Mereka jadi lebih kritis, bahkan skeptis terhadap game baru yang datang dengan janji muluk-muluk. Sensitivitas ini adalah bentuk perlindungan agar tidak terjebak hype palsu seperti sebelumnya. Bahkan, beberapa dari mereka memilih untuk menunggu ulasan dari komunitas terlebih dahulu sebelum memutuskan membeli.

5. Ruang diskusi yang luas dan aktif

ilustrasi menggunakan smartphone (unsplash.com/Viralyft)
ilustrasi menggunakan smartphone (unsplash.com/Viralyft)

Media sosial dan platform komunitas membuat suara gamers jadi lebih terdengar. Dulu, jika kecewa terhadap sebuah game, mungkin hanya bisa curhat ke teman dekat. Tapi kini keluhan bisa viral dan menciptakan gelombang protes yang memaksa developer untuk bertindak.

Ini memberi rasa empowerment bagi gamer, seolah mereka punya andil dalam mengontrol standar industri. Namun di sisi lain, ini juga menyebabkan kritik muncul lebih cepat dan kadang berlebihan. Ketika ruang diskusi terbuka lebar, wajar jika kritik jadi lebih vokal dan langsung.

Sensitivitas gamers modern terhadap kualitas game bukanlah hal negatif, tapi refleksi dari meningkatnya standar dan keterlibatan mereka dalam dunia game. Mereka bukan hanya konsumen pasif, tapi bagian dari komunitas yang peduli dengan arah industri ini. Selama kritik itu disampaikan secara sehat, itu justru mendorong industri untuk berkembang lebih baik ke depannya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us