Supply-Demand Kerja Tak Seimbang Bikin Banyak Gen Z Nganggur

- Ketidakseimbangan supply and demand pekerjaan menjadi penyebab meningkatnya angka pengangguran di kalangan Gen Z.
- Jumlah penduduk usia produktif yang tinggi membuat kebutuhan lapangan pekerjaan sangat tinggi namun pertumbuhan lapangan kerja tidak secepat demandnya.
- Gen Z lebih kritis dan selektif dalam mencari pekerjaan, namun masih banyak pekerjaan di Indonesia yang belum memenuhi standar layak kerja.
Yogyakarta, IDN Times - Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Universitas Gadjah Mada (PSdK UGM), Dian Fatmawati, menilai ketidakseimbangan antara supply and demand pekerjaan menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengangguran di kalangan Gen Z. Selain itu, kesadaran Gen Z terhadap pentingnya pekerjaan layak juga membuat mereka lebih selektif dalam mencari kerja.
Dian menjelaskan, saat ini jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) di Indonesia mencapai sekitar 65 persen. Kondisi ini membuat kebutuhan terhadap lapangan pekerjaan sangat tinggi.
“Di sisi lain pertumbuhan pekerjaan (lapangan pekerjaan) opportunity di Indonesia tidak secepat demandnya. Sehingga supply dan demand tidak cocok, banyaklah terjadi pengangguran,” ungkap Dian, Minggu (4/5/2025).
1.Pertumbuhan lapangan kerja dan pencari kerja tidak seimbang

Dian menambahkan, persoalan ketidakseimbangan pertumbuhan lapangan pekerjaan bukan hal baru. Ia mengutip riset Asian Development Bank (ADB) pada 2016 yang menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di Indonesia lebih lambat dibanding permintaan tenaga kerja.
“Secara populasi kurang berimbang supply demand, menyebabkan pengangguran tinggi. Kondisi demografis populasi usia produktif lagi banyak, kompetisi semakin meningkat untuk mendapatkan pekerjaan,” ujar Dian.
2.Gen Z lebih pemilih

Dian menjelaskan bahwa Gen Z saat ini lebih kritis dalam memandang dunia kerja. Mereka punya ekspektasi terhadap pekerjaan yang layak dan peduli terhadap isu seperti kesehatan mental.
“Sudah ada imajinasi gambaran pekerjaan layak, pekerjaan ideal seperti apa. Itu yang membuat mereka lebih picky (pemilih) pekerjaan gini-gini, kondisi gini,” ujarnya.
Namun, menurut Dian, masih banyak pekerjaan di Indonesia yang belum memenuhi standar layak kerja. Sebagai negara berkembang, struktur ketenagakerjaan di Indonesia masih menyisakan banyak persoalan.
“Pas di dunia nyata mereka tertohok kondisi kenyataan. Gak sesuai bayangan yang mereka pelajari selama ini, tentang kerja layak. Sehingga mungkin lebih banyak angka pengangguran,” kata Dian.
Dian juga menyebut Gen Z yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi lebih baik cenderung berani menunda bekerja. “Beda kondisi yang dari menengah bawah, akan lebih tidak picky,” ucap Dian.
3.Perlu lebih realistis dan pemerintah juga harus mewadahi aspirasi

Saat disinggung soal kondisi perekonomian yang tengah sulit, Dian menilai Gen Z kemungkinan besar akan mulai bersikap lebih realistis, terutama bagi mereka yang baru lulus dari dunia pendidikan.
“Saya menduga pilihan tepat sedikit realistis dengan kondisi sekarang. Terjun ke labour market lebih cepat sebenarnya lebih menguntungkan. Pengalaman kerja lebih banyak, kemudian bisa dapat pelatihan dari tempat kerja, koneksi, dan yang lainnya. Dari skill bertambahm gambaran kerja lebih ideal, mungkin bisa didapat setelah itu,” ujar Dian.
Dian juga menyoroti pentingnya membangun koneksi dalam mencari pekerjaan di Indonesia. Ia mendorong pemerintah untuk menghadirkan kebijakan yang mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM).
“Terkait juga dengan PHK. Peraturan terkait PHK itu, kemarin di awal 2025 cukup masif, pemerintah harus lebih ketat mengatur tentang PHK, sehingga tingkat pengangguran bisa dikontrol. Gen Z isu job quality, kualitas pekerjaan di Indonesia, masih seputar gaji layak, mungkin jam kerja, isu kesehatan mental bisa difasilitasi, diwadahi juga,” ucap Dian.