Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Soeharto Disebut Tokoh Utama SO 1 Maret, Sejarawan UGM: Banyak Tokoh Lainnya

Sejarawan UGM, Sri Margana. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo).
Sejarawan UGM, Sri Margana. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo).
Intinya sih...
  • Rencana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto dianggap ironis
  • Rekam jejak buruk Soeharto dalam pelanggaran HAM menjadi perhatian utama
  • Penganugerahan gelar pahlawan dinilai sebagai preseden buruk dan menyakiti para korban reformasi 1998
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Dosen Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus sejarawan, Sri Margana, menilai rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto, merupakan langkah yang ironis dan berpotensi melukai hati para korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta korban rezim Orde Baru.

“Saya termasuk yang tidak setuju kalau Soeharto jadi pahlawan nasional. Bagaimana orang yang ditumbangkan rakyatnya sendiri karena berbagai kejahatan, kemudian dipahlawankan? Itu ironis,” ujar Sri Margana, Sabtu (8/11/2025).

1. Rekam jejak yang buruk

Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)
Ilustrasi Presiden Soeharto. (IDN Times/Alvita Wibowo)

Sri Margana menilai, sejarah mencatat banyak kasus kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto. “Kejahatan-kejahatan itu sudah sangat tampak, bahkan sempat dibawa ke pengadilan, hanya saja prosesnya terhenti karena alasan kesehatan Soeharto,” ujarnya.

Ia mengingatkan bahwa negara melalui pernyataan resmi pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah mengakui adanya pelanggaran HAM berat tahun 1965. “Itu pengakuan negara. Kalau sekarang ada yang bilang tidak ada bukti atau fakta genosida, berarti menutup mata terhadap riset dan laporan yang sudah banyak diterbitkan, baik oleh peneliti Indonesia maupun luar negeri,” jelasnya.

Menurutnya, pernyataan sejumlah tokoh politik yang menolak adanya pelanggaran HAM 1965 justru bertentangan dengan sikap resmi negara. “Itu juga menegasikan pengakuan pemerintah sebelumnya sendiri,” tegas Sri Margana.

2. Penyandang gelar pahlawan tidak boleh ada cacat moral

Sri Margana tidak menafikan bahwa Soeharto memiliki peran dalam sejarah perjuangan nasional, seperti dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun, ia menilai peran tersebut tidak serta-merta menghapus catatan kelam selama 32 tahun kekuasaannya.

“Ya, dia memang punya peran dalam 1 Maret, tapi dia bukan satu-satunya tokoh. Masih ada Jenderal Sudirman dan panglima-panglima lain. Dalam Undang-Undang, pahlawan nasional itu tidak memiliki cacat moral. Tidak ada pahlawan yang membantai rakyatnya sendiri,” katanya.

Margana menyebut berbagai tragedi selama masa Orde Baru mulai Aceh, Papua, kemudian Petrus, Tanjung Priok, Marsinah, hingga tragedi 1965, sebagai bukti moral yang tak bisa diabaikan.

“Jumlah korban saat itu (1965) luar biasa besar. Yang memimpin operasi saat itu Sarwo Edhie sendiri mengakui jumlah yang begitu banyak, bahkan di Holocaust pun gak sebanyak itu. Bahkan Marsinah yang akan dipahlawankan itu ada pada rezim Soeharto yang ada keterlibatan para tentara,” ujarnya.

3. Preseden buruk dan menyakiti para korban

Potret Pejuang Reformasi di Museum Tragedi 12 Mei 1998 (humas.trisakti.ac.id)
Potret Pejuang Reformasi di Museum Tragedi 12 Mei 1998 (humas.trisakti.ac.id)

Sri Margana menilai, penganugerahan gelar pahlawan untuk Soeharto akan menjadi preseden buruk dan menyakiti keluarga korban yang gugur dalam gerakan reformasi 1998. “Itu akan mewariskan sesuatu yang menyakitkan bagi para korban reformasi, orang-orang yang dulu mengorbankan nyawanya untuk menumbangkan rezim yang dipimpin Soeharto,” tegasnya.

Menurutnya, Indonesia tidak kekurangan tokoh yang lebih layak dijadikan panutan. “Masih banyak tokoh yang bisa menjadi teladan. Banyak tokoh yang bisa menjadi panutan,” tutup Sri Margana.

Sri Margana pun menyoroti unsur politik dalam proses penentuan gelar pahlawan nasional. Ia menilai komposisi Dewan Gelar saat ini didominasi oleh pihak yang pro terhadap Soeharto. “Dewan gelar yang dulu sudah tiga kali menolak, sekarang sudah diganti semua. Sekarang timnya Fadli Zon, jadi sudah bisa ditebak hasilnya,” ungkapnya.

Ia meyakini bahwa pemberian gelar untuk Soeharto hanya masalah waktu. “Mumpung rezim yang sekarang mendukung, saya yakin akan diberi. Soal waktunya saja,” ujarnya.

Namun, ia menambahkan bahwa gelar pahlawan bisa dicabut di masa depan jika terbukti tidak layak. “Kalau nanti pemimpin berikutnya berani mengakui kesalahan sejarah, bisa saja gelar itu dicabut,” katanya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Sultan: Pasar Ora Ilang Kumandange, Ekonomi Rakyat Harus Tangguh

09 Nov 2025, 09:01 WIBNews