Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pakar UGM Soroti KUHAP, Upaya Paksa Tak Dibarengi Kontrol Ketat

Diskusi Pojok Bulaksumur di Selasar Gedung Pusat UGM, Kamis (20/11/2025).
Diskusi Pojok Bulaksumur di Selasar Gedung Pusat UGM, Kamis (20/11/2025). (Dok. UGM/Firsto)
Intinya sih...
  • Pakar UGM menilai KUHAP baru tidak membawa perubahan signifikan dan belum mengutamakan HAM, terutama soal upaya paksa dan penyadapan tanpa kontrol pengadilan yang ketat.
  • Pengesahan KUHAP dinilai membuka ruang penyalahgunaan kewenangan sehingga publik makin skeptis terhadap proses politik dan hukum.
  • Warga negara perlu memahami hak-haknya karena pendidikan politik melemah dan partisipasi publik semakin dangkal.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11/2025) lalu resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi Undang-Undang.

Namun, sejumlah pihak menilai pengesahan tersebut masih menyisakan beragam pertanyaan, terutama terkait sejumlah istilah dalam regulasi baru itu. Salah satunya mengenai upaya paksa—meliputi penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan—yang dinilai belum dibarengi mekanisme kontrol yang kuat di dalam UU tersebut.

1. KUHAP baru harusnya lebih kedepankan HAM

Rapat paripurna DPR RI mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU. (IDN Times/Amir Faisol)
Rapat paripurna DPR RI mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU. (IDN Times/Amir Faisol)

Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, menilai istilah yang digunakan dalam konteks penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan pada UU KUHAP yang baru tidak menunjukkan perubahan substansial dibanding KUHAP 1981.

“Tidak memiliki perbedaan mendasar. Tapi itu kelemahannya, seharusnya dalam pembaharuan hukum pidana terdapat pembaharuan yang lebih mengedepankan HAM. Berbicara koalisi masyarakat sipil tentu berkaitan dengan hak asasi manusia. Seharusnya ada judicial seperti ini, setiap penangkapan, penahanan itu semestinya ada keputusan dari Pengadilan Negeri. Hal-hal semacam itu yang belum diakomodir oleh KUHAP baru, padahal sebenarnya sudah ada di dalam KUHAP sebelumnya,” ujarnya dalam diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (20/11/2025), dilansir laman resmi UGM.

Lebih lanjut, Akbar menyoroti aturan mengenai kewenangan penyadapan dalam KUHAP. Ia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan penyadapan harus diatur secara rinci, dan tidak boleh dilakukan tanpa landasan undang-undang yang jelas.

“Nampaknya KUHAP baru ini tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa penyadapan dilarang sebelum ada undang-undang. Bagaimanapun melakukan perekaman diam-diam, penyadapan itu ada pengaturannya dan harus mengacu kepada undang-undang begitu,” terang Akbar.

2. Bikin publik makin skeptis

ilustrasi penangkapan (unsplash.com/Kindel Media)
ilustrasi penangkapan (unsplash.com/Kindel Media)

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, menilai pengesahan undang-undang tersebut memunculkan respons publik yang sangat beragam. Ia menyebut sebagian besar masyarakat bahkan melihat pengesahan RUU KUHAP oleh DPR berpotensi membuka ruang penyalahgunaan kewenangan.

Menurut Bagus, situasi ini justru membuat publik semakin skeptis. Ia menilai praktik di lapangan selama ini saja sudah kerap tidak mengikuti prosedur, sementara melalui regulasi baru terdapat tambahan kewenangan yang memperbesar kekhawatiran.

“Tendensi masyarakat sipil kepada isu-isu politik jelas ada, karena mereka juga melihat banyak sekali aktor yang berkepentingan terhadap golnya rancangan undang-undang ini, seperti kepolisian, kejaksaan, hakim, bahkan sampai komisi tiga DPR RI juga semua berkepentingan terhadap isu ini,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa kasus pengesahan RUU KUHAP ini semakin membuat ruang politik terasa abstrak dan sulit dipahami publik. Kondisi tersebut justru melelahkan masyarakat hingga memicu sikap menjauh dari urusan politik. “Sudah banyak sekali pemberitaan dari realitas di lapangan yang membuat masyarakat pada akhirnya lebih memilih mengalienasikan diri dari sistem sosial politik kita,” jelasnya.

3. Warga negara harus paham hak-haknya

ilustrasi demo politik (freepik.com/freepik)
ilustrasi demo politik (freepik.com/freepik)

Bagus Alfath menjelaskan bahwa depolitisasi yang berlangsung secara terstruktur memang memberi kesan masyarakat semakin bebas, namun pada saat yang sama membuat mereka semakin menjauh dari pendidikan politik yang kritis. Ia menilai kemampuan publik untuk memahami isu politik kian menurun, sehingga banyak yang tidak memberi perhatian pada proses pengesahan RUU KUHAP.

Meski ruangnya semakin terbatas, ia menegaskan bahwa masyarakat sipil tetap memiliki kesempatan untuk menyampaikan suara. Karena itu, penguatan pendidikan politik, kewarganegaraan, hukum, dan kesadaran publik harus kembali menjadi perhatian, sebab setiap warga negara perlu memahami hak dan kewajibannya.

“Saat ini sedikit regenerasi baru yang tertarik menjadi aktor penengah antara negara dan masyarakat. Ini menjadi problem yang saya kira sangat besar. Kenyataan partisipasi publik yang luas itu akhir-akhir ini cenderung dangkal. Mereka FOMO, kemudian banyak terjebak di media sosial,” terangnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Jalan Amblas di Srikeminut, Pemkab Bantul Tetapkan Masa Tanggap Darurat

23 Nov 2025, 14:20 WIBNews