Kisah BRSK, Toko Merchandise Band Indie hingga Dukung Gerakan Rakyat

- Rumah bergaya 80an menjadi saksi BRSK tumbuh di perkampungan padat penduduk Yogyakarta.
- BRSK awalnya hanya menjual merchandise band secara online, namun kini memiliki toko offline di gang Jalan Suryodingratan.
- Pemilik BRSK, Fariz Fachryan, memilih tidak bersaing dengan toko lain dan fokus pada lima barang jagoan serta mendukung gerakan masyarakat melalui media sosial.
Yogyakarta, IDN Times – Sebuah rumah bergaya 80an, menjadi saksi BRSK tumbuh. Tempatnya yang berada di perkampungan padat penduduk ini, tak pernah sepi dengan suara motor dan mobil yang hilir mudik. Tak ada papan nama, jika mencarinya harus mengandalkan Google Map.
BRSK awalnya hanya menjual merchandise band secara online, pada 2018 lahir toko offline yang berada di gang Jalan Suryodingratan, Suryodingratan, Mantrijeron, Kota Yogyakarta.
Pemilik BRSK, Fariz Fachryan mengaku sengaja tidak memasang papan nama seperti toko modern lainnya. Selama ini para pembeli mengandalkan peta online untuk menjangkau tempatnya berjualan sekaligus rumah tempatnya tinggal.
"Karena kita kan melalui media sosial, makanya tak perlu papan nama. Paling mereka yang mau ke sini mencari melalui peta," terang Fariz saat IDN Times bertemu di BRSK, Sabtu (20/4/2025).
1. Gak perlu ada promo, usaha berkembang perlahan

Kesederhanaan toko milik laki-laki asal Jakarta ini juga menular pada sistem jual beli yang dipilihnya. Ia memilih untuk tidak bersaing dengan toko lain yang menjual mirip dengan koleksi miliknya.
Bagi Faris dirinya tidak terlalu memikirkan persaingan. Setiap toko menurutnya memiliki kekhasan masing-masing dalam menjual merchandise band.
"Setiap toko punya jagoan masing-masing. Kita ada lima barang jagoan, merchandise band The Adams, Teenage Death Star, KPR (Kelompok Penerbang Roket), Morfem, sama rilisan Grimloc. Toko lain mungkin gak selengkap kita, mungkin mereka punya jagoan sendiri. Kecenderungan penjualan merchandise itu sehat karena gak ada yang banting harga,” ujar Fariz.
Menurut Fariz ada kesadaran pasar untuk menjaga bisnis yang sehat. Permintaan merchandise band dinilainya sangat besar. Masing-masing band disebutnya memiliki penggemar setia yang turut membantu berjalannya bisnis ini. Bahkan saat ini usaha merchandise band indie berkembang pesat di Jogja.
“Gak perlu ada promo-promo, kita dibantu sama band, fans garis keras. Dibantu tanpa susah marketing. Kembali ke rezeki masing-masing dalam tanda kutip. Gak ada yang bakar duit untuk bisnis ini, ya kita UMKM, berangkat dari kecintaan dengar musik. Semua berkembang pelan-pelan,” kata dia.
2. Bisnis tanpa keresahan adalah sebuah hal yang kering

Fariz menyebut lebih memilih menjual merchandise band indie karena selain proses yang mudah, juga banyak dari mereka yang menyuarakan keresahan masyarakat. Salah satunya band Sukatani yang belum lama ini mendapat intimidasi karena menyuarakan kritik terhadap aparat kepolisian.
“Menurut saya penting juga musisi dalam artian mereka tokoh publik yang suaranya sering didengar, menyuarakan apa yang terjadi. Keresahan mereka penting, yang saya pahami bahwa pada akhirnya mereka ketika direpresi, masyarakat akhirnya mendukung melindungi mereka. Itu luar biasa,” ungkapnya.
Baginya menjalankan sebuah bisnis, tanpa memiliki keresahan merupakan suatu hal yang ‘kering’.
Pria yang sebelumnya bekerja sebagai peneliti di Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) itu menilai, antara usaha merchandise bandnya dengan keresahan masyarakat tidak bisa dilepaskan. Tidak terkecuali bagi komunitas musik banyak menaruh perhatian pada berbagai persoalan di masyarakat.
“Menurut saya sangat kering, orang hanya jualan tanpa punya keresahan yang sama dengan teman-teman musisi. Komunitas musik itu cukup banyak perhatiannya (pada persoalan di masyarakat), misal di Dago Elos Bandung, itu sangat dijaga komunitas di sana,” ujarnya.
Fariz mencoba memanfaatkan media sosial BRSK untuk mendukung gerakan masyarakat. Platform yang berkembang secara organik itu digunakan untuk menyuarakan keresahan yang timbul di masyarakat berbagai daerah.
“Ya kita cuma punya Instagram aja, isinya ya ada mensupport masyarakat terkait masalah penggusuran di Malioboro, ada butuh bantuan di Sukahaji (Bandung) pembakaran. Kita support, kita tahu sebenarnya keresahan masyarakat sama saja. Kita bantu menyebarluaskan,” ujar Fariz.
Ia mengingat saat ada korban luka demo di Bandung, dirinya juga berupaya membantu. Melalui jaringan gerakan yang ada, BRSK menggalang dana dari hasil penjualan merchandise untuk membantu pengobatan.
“Caranya bikin PO kaos kerja sama dengan Grimloc, yang sebenarnya desainnya disebar gratis, tapi saya izin waktu itu. Itu ya, 100pcs habis. Langsung transfer ke paramedis jalanan di Bandung. Sangat terkesan saya pribadi. Misal kita lakukan setiap demo, orang gak takut lagi demo, gak takut kurang makan, karena ada support dari bawah semua,” ujar Fariz.
3. Berkembang di saat Covid hingga keresahan pembajakan

BRSK Store mulai dirintis pada 2016. pemilihan nama toko diambil dari kata Berisik yaitu dari nama tongkrongannya sewaktu duduk di bangku Sekolah Menangah Atas (SMA) di Jakarta. Usaha yang awalnya hanya sampingan pada 2016 hingga 2017, mulai ditekuninya pada 2018.
Lulusan Fakultas Hukum UGM ini tidak menampik saat memulai bisnis penjualan merchandise sempat menghadapi dilema. Terlebih saat sudah berkeluarga.
“Proses struggle awalnya ini kan barang hobi, sampingan jadi pendapatan utama. Ketika berkeluarga, modal untuk bisnis atau modal untuk beli susu,” ujarnya sambil tertawa lebar.
Jejaringnya di akar rumput, turut mendukung BRSK tumbuh. Tak disangka penjualan merchandise berkembang terjadi Covid-19. Pandemik yang berkepanjangan membuat musisi sulit untuk untuk manggung. Satu-satunya pendapatan yang bisa digarap saat itu hanyalah merchandise band.
“Survivenya dari merchandise. Kemudian merchandise beberapa band itu dikelola secara serius. Mereka memulai memikirkan desainnya, produksinya, yang mungkin dulu setahun mungkin dua kali atau sekali, mereka menjual hanya di lokasi acara atau festival, sekarang enggak,” ungkap Fariz.
Laki-laki berambut lurus ini mengakui, salah satu keresahannya saat ini adalah mengenai masalah pembajakan. "Kami sudah bilang ke band ada pembajakan. Tapi kembali ke awal, barangnya memang beda dengan yang asli, dan yang penting rejeki tak akan lari," pungkasnya.