Jejak Banon, Prosesi Langka yang Dilakukan Sri Sultan HB X di Tahun Dal

- Prosesi dimulai dengan pembagian udhik-udhik oleh Sri Sultan, yang diyakini membawa berkah dan keberuntungan bagi warga.
- Momen sakral terjadi saat Sri Sultan melangkahkan kaki di atas tumpukan bata dalam prosesi Jejak Banon, simbol spiritual dan budaya.
- Tradisi Jejak Banon hanya digelar delapan tahun sekali pada Garebeg Mulud Tahun Dal, masyarakat Yogyakarta bersyukur masih bisa menyaksikan tradisi langka ini.
Yogyakarta, IDN Times – Suasana khidmat menyelimuti Kompleks Masjid Gedhe Kauman, Kamis (4/9/2025) malam, saat masyarakat berkumpul untuk menyaksikan salah satu prosesi langka dalam rangkaian Hajad Dalem Sekaten Tahun Dal 1959. Prosesi itu adalah Jejak Banon dalam Kondur Gangsa, yang dilakukan langsung oleh Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Tradisi sakral ini menjadi istimewa karena hanya digelar delapan tahun sekali, tepat pada Tahun Dal dalam penanggalan Jawa. Sri Sultan, yang juga Gubernur DIY, hadir mengenakan baju takwa biru bermotif bunga, didampingi GKR Mangkubumi, GKR Bendara, para menantu, serta perwakilan Kadipaten Pakualaman.
1. Diawali dengan pembagian udhik-udhik

Prosesi dimulai dengan pembagian udhik-udhik berupa bunga, uang koin, dan biji-bijian oleh Sri Sultan. Warga tampak antusias berebut, karena diyakini membawa berkah dan keberuntungan.
Usai itu, Sri Sultan memasuki serambi Masjid Gedhe untuk mengikuti pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh Kiai Penghulu Keraton. Suasana berlangsung hening, hanya diiringi lantunan kisah kehidupan Nabi dalam bahasa Jawa.
2. Makna prosesi Jejak Banon

Momen sakral tiba saat Sri Sultan melangkahkan kaki di atas tumpukan bata di sisi selatan Masjid Gedhe. Inilah prosesi Jejak Banon atau Jejak Beteng yang sarat makna spiritual dan budaya.
Koordinator Rangkaian Prosesi Garebeg Mulud Dal 1959, KRT Kusumonegoro, menjelaskan:
“Prosesi ini melambangkan lahirnya tatanan baru dalam masyarakat Jawa ketika menerima ajaran Islam. Jejak Banon juga menjadi simbol spiritual tentang keberanian menghadapi perubahan tanpa meninggalkan akar budaya,” ungkapnya, dilansir laman resmi Pemda DIY.
3. Hanya digelar delapan tahun sekali

Menurut KRT Kusumonegoro, langkah Sri Sultan di atas Banon adalah representasi langkah para leluhur dalam mengambil keputusan besar bagi masyarakat.
“Tradisi ini digelar pada Garebeg Mulud Tahun Dal karena dipercaya bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada Tahun Dal. Itulah sebabnya prosesi ini hanya dapat disaksikan delapan tahun sekali,” jelasnya.
Ia menambahkan, “Masyarakat Yogyakarta patut bersyukur masih bisa menyaksikan tradisi langka yang sarat nilai spiritual sekaligus nilai sejarah.”
4. Prosesi diakhiri dengan Kondur Gangsa

Setelah Jejak Banon, gamelan Sekati Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga yang sejak awal ditabuh kemudian dikembalikan ke Keraton melalui prosesi Kondur Gangsa. Hal ini menandai berakhirnya perayaan Sekaten sekaligus menjadi pengantar menuju puncak Garebeg Mulud Tahun Dal pada Jumat (5/9/2025).
Sekaten sendiri telah berlangsung sejak masa Kesultanan Demak sebagai media dakwah para wali. Hingga kini, tradisi tersebut masih dijaga Keraton Yogyakarta sebagai warisan budaya dan spiritual.
KRT Kusumonegoro menegaskan makna mendalam dari prosesi ini. “Setiap detail prosesi Sekaten mengandung makna mendalam. Jejak Banon mengajarkan kita untuk berani melangkah, menapak masa lalu sekaligus menatap masa depan dengan keyakinan. Inilah warisan luhur yang terus dijaga agar generasi mendatang memahami nilai budaya serta spiritualitasnya,” pungkasnya.