[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   

GKR Hemas perlu 2 tahun adaptasi di lingkungan Keraton

Yogyakarta, IDN Times - Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas merupakan permaisuri Raja Keraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Tak hanya sebagai permaisuri, Gusti Ratu sapaan akrabnya, juga seorang ibu rumah tangga bagi lima putri. Tak ingin tinggal diam di dalam keraton, sejumlah aksi sosial dilakukan hingga menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mewakili Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Saat pertama masuk ke lingkungan Keraton Yogyakarta, GKR Hemas harus beradaptasi karena berasal dari lingkungan luar Keraton. Apakah terdapat sekolah khusus untuk mempelajari budaya Jawa hingga politik?  Untuk mengetahuinya IDN Times mewawancarai GKR Hemas di Keraton Kilen, kompleks Keraton Yogyakarta, yang merupakan kediaman resmi Sultan dan keluarga. 

 

GKR Hemas lahir di Jakarta, bagaimana adaptasi masuk ke Keraton Yogyakarta sebagai permaisuri Raja Yogyakarta. Apakah ada pendidikan khusus?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Permaisuri dan putri keraton turut membuat apem bersama abdi dalem dalam tradisi Ngapem. dok. Keraton Yogyakarta

Sekolahnya, learning by doing langsung praktik, karena saya memang satu lahir di Jakarta. Kemudian walau bapak ibu orang Jogja, tapi kecil dibesarkan di Jakarta, sehingga bahasa Jawa pun tidak lengkap, dan banyak hal seperti tata krama, dan lain sebagainya. Memang kami ini tidak sepenuhnya diberi pengajaran yang lengkap sebagai orang Jawa yang baik istilahnya, sehingga masih perlu penyesuaian dalam kehidupan orang Jawa.

Penyesuaian yang paling berat, karena saya akan hidup bersama dengan keluarga besar. Bukan hanya keluarga Jawa biasa, tentu ini saya membutuhkan waktu cukup lama. Selama dua tahun saya baru bisa berbahasa dengan halus, dan sudah bisa berbahasa dengan baik. Dan mencoba menyesuaikan dengan kehidupan yang penuh tata krama.

Bagaimana adaptasi tentang kebiasaan warga Jogja?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Tugu Jogja/Pinterest

Paling susah itu adaptasi kebiasaan orang Jawa, orang Jogja, karena istilahnya biasanya mereka tidak seperti orang Jakarta. Tidak setuju langsung terus terang tidak setuju, kalau di sini enggak. Jadi itu yang adaptasi pertama yang paling sulit, karena kadang-kadang kalau kalau saya tidak setuju, atau tidak senang langsung saya ucapkan. Nah ini yang mungkin perlu pengurangan dalam kata-kata yang tidak sopan istilahnya mereka.

Kalau saya tidak berani menyampaikan biasanya saya bicara dulu dengan Pak Sultan, kira-kira saya harus bicara seperti apa kalau saya memang tidak setuju.

https://www.youtube.com/embed/yjoL9mC-83w

Dari pernikahan dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas dikaruniai lima orang puteri. Bagaimana proses pendidikan putri-putri. Apakah ada perbedaan dengan yang dialaminya?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Kebaya GKR Hemas (instagram.com/gkr_hemas)

Jadi untuk mendidik anak-anak ini karena kami ini dari keluarga besar, tentu dengan keterbatasan. Istilahnya keterbatasan untuk mereka itu bisa bergaul dengan leluasa bukan bergaul bebas ya. Saat anak-anak mulai masuk di SMA, saya coba mereka keluar dari Jogja. Supaya mereka memahami bahwa kehidupan ke depan itu akan lebih bervariasi.

Sehingga mereka akan harus lebih luas pandangannya, dan bisa mempelajari kehidupan yang sesungguhnya di luar. Nah tentu ini menjadi bekal, karena saya memang berpikir setiap 10 tahun, setiap periode 10 tahun itu perubahan dari kehidupan manusia itu sangat kelihatan. Ini yang saya dari tahun 90 itu sudah melakukan. Oh ternyata setelah 10 tahun anak mahasiswa ini seperti ini, nanti berarti tahun 2000 akan seperti ini, setelah itu 2010 kan sudah jauh berbeda.

Jadi anak saya pun ada yang sekolah di bisnis internasional, ada di Hubungan Internasional ada di IT ada di kuliner, ada yang membidangi sejarah dan museum. Mereka bisa memilih sesuai dengan mereka mau di mana.

Selain pendidikan formal, bagaimana GKR Hemas mendidik putri-putrinya di kehidupan sosial?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Kebaya Putri Keraton Yogyakarta (@kratonjogja via instagram.com/gkrhayu)

Begitu saya tinggal di Jogja, biasa berorganisasi dan menjadi ibu rumah tangga saja itu buat saya enggak cukup. Sehingga saya harus tetap bisa berkomunikasi dengan masyarakat di luar. Jadi dulu biasa berkomunikasi dengan masyarakat di luar. Sehingga saya mencoba membawa anak-anak untuk bisa mengerti bahwa di luar sana itu masih banyak orang yang membutuhkan pikiran dan juga membutuhkan bantuan kita.  Kegiatan saya ini mulai dari tahun 1980.

Jadi setelah anak saya nomor dua pulang dari Australia, saya langsung masukan dia dengan kegiatan di Rekso Dyah Utami. Di situ ada kegiatan melindungi kekerasan perempuan dan anak. Pertama nangis-nangis dia, kasihan. Lama-lama dia mengatakan saya harus fight untuk mereka.

Sampai dengan banyak sekali keterlibatan mereka di organisasi sosial, misalnya Karang Taruna, dari mulai KNPI, sosial hingga kegiatan politik. Sehingga mereka paling tidak mengerti perkembangan Indonesia ke depannya seperti apa. Itu saya sudah mulai meletakkan di tahun 1990.

Baca Juga: GKR Hemas, Jalankan Peran Permaisuri, Ibu dan Senator secara Bersama 

Baca Juga: 14 Karakter Wayang Kapi-Kapi yang Ada di Keraton Jogja, Kenalan Yuk!

GKR Hemas sejak 2004 menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). GKR Hemas juga pernah menduduki kursi pimpinan DPD. Apa yang membuat mau terjun ke politik?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Ketua Dekranasda DIY sekaligus Istri Gubernur DIY, GKR Hemas. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Kenapanya saya masuk di Dewan Perwakilan Daerah itu pertama karena setiap kegiatan sosial saya itu selalu berbenturan dengan kepentingan politik. Saya pengin tahu anggaran negara itu seberapa besar, untuk kepentingan masyarakat, tidak hanya untuk perempuan dan anak, tapi kegiatan sosial yang lain.

Tapi biasa kalau tahun periode pertama itu kan, tahun pertama itu belajar, tahun kedua mulai memahami, tahun ketiga sudah mulai mengimplementasikan istilahnya kepentingan yang saya bawa dari Jogja.

Setelah itu, ternyata masih ada rantai yang belum bisa nyambung. Di situ berarti saya masih harus belajar menjadi politisi perempuan, karena di situ ternyata dengan jaringan, perempuan itu banyak sekali yang bisa kita ajak untuk memikirkan persoalan-persoalan sosial yang ada di bawah.

Jadi persoalan sosial itu tidak hanya perempuan dan anak, tapi persoalan sosial yang lain, pendidikan misalnya, kesehatan, Nah ini seberapa besar sih anggaran pendidikan, seberapa besar anggaran kesehatan, seberapa besar perempuan terlibat.

Pada 2014 saya sudah lebih ke politik praktis, berjuang untuk kepentingan perempuan duduk di lembaga legislatif. Jadi itulah rentetannya. Tapi yang saya sangat ingat sekali, di tahun pertama mau ke tahun kedua, bisa ikut membantu menyelesaikan UU Keistimewaan DIY.

Itu mulai tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 baru itu bisa dilakukan, Undang-Undang Keistimewaan bisa dilaksanakan.

Harus punya komunikasi politik dengan seluruh kepentingan partai, untuk seluruh kepentingan pemeirntah daerah. Jadi saya kira di situ akhirnya saya harus berjuang dan didukung oleh 8 provinsi.

Delapan provinsi itu mengatakan bahwa Yogyakarta itu harus punya UU Keistimewaan karena Yogyakarta sebagai barometer Indonesia. Jadi ini yang menambah saya semangat, dari Aceh sampai Papua, 8 provinsi ini mendukung dan bekerja keras untuk kepentingan Undang-Undang Keistimewaan.

Ternyata banyak kepentingan politik yang lain untuk Yogyajarta. Saya mengatakan masih ada celah yang dimainkan secara politis, bahwa di situ ada calon gubernur harus mendapatkan izin dari suami. Ya kan berartikan istilahnya gubernur harus mendapatkan persetujan dari suami.

Jadi seolah-olah hanya laki-laki yang bisa. Ini saya berjuang di MK dan berhasil sehingga paling sedikit lengkaplah UU Keistimewaan itu, tidak boleh ada kepentingan politik, selain untuk kepentingan masyarakat Jogja.

Di tahun 2010 sampai 2012 itu penuh perjuangan untuk bisa mendapatkan UU Keistimewaan, ya dari sebetulnya diajukan dari tahun 2000, berarti 12 tahun, baru kami dapatkan. Cukup panjang, dua periode anggota legislatif dan presiden yang sudah berganti. Kemudian di periode kedua Presiden SBY itu juga tidak mudah.

Jogja sempat disorot beberapa waktu lalu terkait dengan kenakalan remaja. Bagaimana sebenarnya kondisinya dan solusinya?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Ilustrasi Tugu Pal Putih Yogyakarta (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Kalau kita lihat sebetulnya dari awal perjuangan sampai dengan awal penyerahan bersatunya dengan republik, sudah kelihatan bahwa Jogja itu penting untuk Indonesia. Jogja itu adalah betul-betul kota yang tidak menafikan provinsi lain.

Semua masyarakat Indonesia itu juga berjuang untuk kemerdekaan itu, tapi justru sentralnya di Jogja. Peristiwa Serangan Umum 1 Maret, sampai pemindahan Presiden RI ke Jogja.

Pentingnya itu Jogja itu tetap jadi barometer ya. Sekarang kita lihat saja, ada demo. Demo kalau di Jogja berhasil, nanti pasti di provinsi lain mudah dong, kira-kira gitu.

Nah ini yang selalu dan terus terjadi sampai dengan persoalan kenakalan remaja. Kenakalan remaja di semua provinsi juga ada, ada yang lebih berat seperti Jakarta misalnya, atau kota-kota besar.

Kenakalan remaja itu sebetulnya bukan remajanya yang salah, tapi justru satu sistem pendidikannya, pendidikan orangtua yang suami istrinya bekerja, pendidikan anak yang suami istri berpisah. Ini kenakalan remaja kan di situ, pendidikan remaja dengan situasi ekonomi yang tidak mencukupi, sebetulnya tidak bisa kita salahkan juga.

Lalu kalau selalu dikatakan bahwa Jogja ada kenakalan remaja, saya gak mau lagi menyebut klitih. Karena artinya sudah beda. Kenapa tidak ada brand kenakalan anak di jalanan di Jakarta dengan sebutan? Kan Jogja yang menjadi sorotan, sehingga dikasih brand. Nama itu pun sebetulnya tidak sesuai. Kalau klitihan itu artinya, biasanya kalau kita lapar nyari makan di ruang makan nah itu, kira-kira itulah, klitihan.

Kalau solusi itu sebetulnya kita harus lebih memperhatikan psikologi anaknya dulu, dari psikologi anak itu kita lihat dari backgoundnya. Dan banyak anak-anak yang di jalan itu pun sebenarnya anak-anak yang dititipkan orang tuanya ke neneknya di Jogja. Dipikir bahwa di Jogja itu akan aman, sekolah.

Ibu-ibu mengatakan ada kebanggaan anaknya sekolah di Jogja. Saya bilang, ibu sekali-kali anaknya harus ditengok. Biarpun anaknya mahasiswa, masih menjadi perhatian kita semua. Karena perilaku anak-anak remaja sekarang sudah berubah, dengan kehidupan pada waktu kita masih muda, itu karena memang kemajuan teknologi. Mereka sangat mudah mendapatkan informasi, kan itu masih perlu bimbingan.

Kalau kita lihat anak-anak yang lulus dari Jogja, sekarang menjadi winner di mana-mana. Kita lihat sekarang yang pernah sekolah di sini, Bu Retno (Retno Marsudi Menteri Luar Negeri), Pak Jokowi, yang zaman era presiden lalu ada yang jadi menteri keuangan, kan banyak.

 

Sebagai Kota Pendidikan banyak mahasiwa seluruh Indonesia yang belajar di Yogyakarta. Menurut GKR Hemas, sumbangsih mereka positif atau negatif untuk situasi di Jogja?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Ilustrasi toleransi agama (IDN Times/Mardya Shakti)

Kalau saya selalu mengatakan positif, semua pengenalan budaya itu kan dari macam-macam, tidal cuma dari pakaian, tarian, tapi jenis makanan itu juga mempengaruhi kehidupan kita.

Dan yang kedua untuk orang juga sangat senang, karena didatangi oleh sekian jutaaan mahasiswa, 100 ribu setiap tahun mereka hadir yang baru, kan menghidupkan secara tidak langsung ekonomi masyarakat Jogja.

Warga bisa berjualan, bisa melayani makan siang, makan pagi, jadi dia bisa punya warung itu, Itu kita rasakan waktu pandemik kemarin. Hampir semua warung itu tutup, dan betul-betul masyarakat Jogja sangat terpuruk, karena mahasiswa pulang semua.

Ini yang saya sangat senang ternyata mereka datang itu tidak hanya konotasinya membawa kerusuhan, membawa ketidaknyamanan. Sebetulnya adaptasi budaya ini luar biasa menjadi Jogja itu menjadi Indonesia yang lengkap.

Jogja toleransinya juga sudah cukup. Makannya saya bilang Jogja tidak boleh intoleran, karena Jogja Kota Toleransi. Jadi menghargai semua adat, suku, maupun agama. Makanya kita suka kadang-kadang keras ya, kalau sudah begitu, kadang-kadang Pak Gubernur itu terus turun. Belum lagi kalau anak-anak ini mulai nakal. Waktu itu Gubernur Papua sudah mau datang ke Jogja, Pak Gubernur bilang enggak usah, karena anak-anak kalian di sini itu jadi anak-anak saya, jadi itu menjadi tanggung jawab saya.

Nanti apapun yang terjadi supaya bapak Gubernur tidak mendapatkan informasi yang salah. Kami selesaikan dulu, kalau memang tidak bisa, kita duduk bareng, sebetulnya maunya apa. Karena anak-anak yang di sekolahkan oleh Pemerintah Daerah Papua, maupun Aceh, ini juga mereka kan punya apa ya, budaya sendiri yang beda dengan Jogja.

Tetapi orang Jogja itu kan lebih bisa beradaptasi, menerima kelakuan mereka, dan mereka juga harus belajar, bahwa budaya Jogja itu berbeda, sehingga mereka di sini harus toleransi terhadap masyarakat yang ada.

 

Baca Juga: 12 Kebaya GKR Hemas, Istri Sri Sultan HB X yang Bersahaja

Baca Juga: GKR Hemas Ingatkan Warga Cangkringan untuk Tak Menambang Pasir Merapi

Bagaimana melibatkan anak muda Jogja untuk bersama-sama mencari solusi masalah Jogja?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Anggota DPD RI dan Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas (kiri), dan Pemimpin Redaksi IDN Times, Uni Lubis (kanan). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo).

Gak usah saya melibatkan, mereka yang meminta saya untuk mereka dilibatkan, dalam apa saja. Mau kegiatan apa pendidikan, kegiatan kesehatan. Seperti kemarin begitu Pemda saya cuma lihat, slotnya yang kira-kira belum bisa dilakukan oleh Pemda, misalnya, karena begitu banyak pandemi urusannya. Saya bilang, ini anak mahsiswa yang belum divaksin banyak, karena mereka gak punya KTP Jogja, saya buka waktu itu.

Silakan anak muda, saya dapat 1.600 mahasiswa. 1600 anak mahasiswa akhirnya mereka mau vaksin pakai pakaian daerah, jadi berbagai macam pakaian daerah dia pakai. Mereka mencirikan ini lho saya orang Aceh, saya orang ini. Jadi dia punya identitas kebanggaan yang luar biasa, sebagai anak Indonesia yang sekolah di Jogja. Tapi kalau kamu mau vaksin aja bawa pedang gitu kan aku takut, aku bilang gitu, kenapa sih, vaksin biasa saja.

Bu nanti dikata kita orang biasa, kan kita ini perwakilan mahasiswa dari provinsi masing-masing, habis itu dia bentuk Bhineka Tunggal Ika sendiri di situ. Luar biasa jadi gak usah, melibatkan secara eh ayo dong bahas ini, gak usah. Ada persoalan mereka cari. Bu ini bisa gak disampaikan ke pemerintah pusat, bu ini bisa gak kita lakukan ini, itu.

Kadang saya diundang oleh mereka, bu tolong dong ibu datang, kita lagi diskusi ini. Atau mereka saya panggil ke sini. Saya bilang, kayak seniman-seniman yang gak tersentuh kemarin.

Pada Pemilu 2024, GKR Hemas akan mencalonkan diri lagi menjadi anggota DPD. Apa yang diperjuangkan dalam periode selanjutnya?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   Permaisuri Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Hemas. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo).

Pertama masalah kepentingan untuk daerah itu sebetunya banyak undang-undang yang masih belum bisa istilahnya ramah dengan daerah. Masih banyak gitu lho, kemudian gak perlu saya sebutkan beberapa undang-undangnya, tapi ke depan itu sebenanrya tinggal kita melakukan apa ya, karena besok ini adalah tahun dimana generasi mudanya itu yang mayoritas.

Jogja ini juga mayoritas anak muda, maka kita harus kita cari apa yang saya harus perjuangkan kedepannya. Entah itu berupa lapangan kerja, entah itu bahwa Jogjakarta sebagai kota apa ini kota sarjana pengangguan yang cukup tinggi, karena mereka lebih nyaman tinggal di Jogja, gak mau keluar dari Jogja.

Tapi sekarang alhamudillah kalau setiap Senin berangkat Jakarta itu banyak sarjana yang pulang pergi hidup di Jogja. Ini kan juga sesuatu, tapi Yogyakarta Alhamdulillah dengan pandemi segala situasi ekonomi masih 5,9. Masih positif berarti, dengan adanya generasi muda yang berkreasi terjun buka kafe, terjun untuk UMKM, itu kan banyak sekali. Sehingga ini kan tempat anak muda yang berkreasi di Kota Jogja itu harus kita create, apa yang harus diperjuangkan nanti ke depannya.

Kedua sebagai Kota pariwisata kan masih butuh banyak pengembangan misal infrastruktur yang belum bisa terpenuhi. Kemudian memang kalau kota Jogja itu, Jogja kotanya bukan satu tempat yang sudah diprediksi jadi kota besar, gak bisa. Karena memang dulu Jogja tidak pernah direncanakan kota besar, sehingga jalan itu gak bisa dilebarkan, ya kan kebutuhan kota untuk taman parkir saja susahnya setengah mati. Nah ini kan hal-hal seperti ini apa sih solusinya.

Ketiga adalah kehidupan generasi muda. Hal ini berkaitan dengan pembukaan lapangan kerja di Jogja. Anak-anak lulusan SMK Ini mau diapakan, lapangan kerja harus dibangun terus. Jangan dilarikan ke negara lain, akhirnya mereka hanya diperdaya ilmunya dan disekap, tanpa ada izin kerjanya. Jadi ini sangat menakutkan buat saya, dengan iming-iming saja mereka bisa keluar dari Indonesia.

Setelah periode 2024, apakah GKR Hemas mempersiapkan puterinya untuk terjun ke politik?

[WANSUS] GKR Hemas Bicara tentang Jogja hingga Pandangan Politiknya   GKR Hayu (kiri) dan GKR Bendara (kanan). (IDN Times/Tunggul Kumoro)

Iyalah, supaya anak itu juga bisa ikut menjaga Jogja. Tapi kemarin saya suruh gantikan anak saya, jawabnya jangan deh ibu dulu aja, soalnya ini presidennya baru bu. Kita kan kalau presidennya baru kan susah, kita mau tahu dari mana katanya. Ibu dulu juga gak pernah tahu. Enggak ibu dulu. Ini terakhir bu.

Anak pertama, kedua itu gak mau. Passionnya bukan di situ. Anak ketiga suka masak, passionnya di kuliner, masak. Anak keempat, kelima kemungkinan bisa, karena yang satu di IT, yang satu ini istilahnya sudah mulai aktif di kegiatan masyarakat.

Sekarang lagi nangani stunting, jadi kadang nginep di rumah penduduk yang kecil ini, nginep di rumah penduduk hanya untuk berdiskusi dengan masyarakat tentang stunting, cara mengatasi stunting, Alhamdulillah ada yang nurun.

Baca Juga: Gandhok Coffee, Kedai Kopi dan Tempat Makan Bakmi Dekat Keraton Jogja 

Baca Juga: Di Keraton Jogja, Presiden Jerman Nikmati Tari Beksan Lawung Ageng  

Topik:

  • Febriana Sintasari

Berita Terkini Lainnya