Beredar Surat KPI Larang Media Siarkan Demo di DPR, Ini Respons Pakar UMY

- Media massa memiliki peran vital dalam demokrasi
- KPI langgar UUD 1945
- Surat KPI DKI justru bisa menurunkan kepercayaan publik
Bantul, IDN Times - Akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) merespons beredarnya surat llarangan dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang meminta stasiun televisi tidak menyiarkan aksi demonstrasi di DPR.
Menurut Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr. Fajar Junaedi, kebijakan tersebut dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers, mengurangi transparansi publik, hingga menurunkan kepercayaan masyarakat kepada media maupun pemerintah.
1. Media massa memiliki peran vital dalam demokrasi

Fajar Junaedi menegaskan media massa memiliki peran vital dalam demokrasi. Media sering disebut sebagai pilar keempat demokrasi setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ketika tiga pilar utama negara gagal menyuarakan kepentingan rakyat, media hadir sebagai saluran aspirasi publik.
“Media massa, khususnya media penyiaran, menggunakan frekuensi publik. Karena frekuensi bersifat terbatas dan dimiliki rakyat, penggunaannya harus tunduk pada kepentingan publik, bukan kepentingan politik tertentu. Dasar hukumnya jelas, yakni Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Jadi, kalau ada larangan media menyiarkan demonstrasi di DPR, itu justru bertentangan dengan prinsip keterbukaan informasi publik,” katanya, Sabtu (30/8/2025).
2. KPI langgar UUD 1945

Fajar Junaedi menilai secara regulasi, surat edaran KPI problematis. Pasalnya, KPI seharusnya berpegang pada UU Penyiaran yang menekankan fungsi media untuk mendidik, menginformasikan, dan mengawasi jalannya demokrasi. Pembatasan siaran aksi publik justru melanggar esensi UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers.
“Kalau kita kembali pada UUD 1945, di sana jelas ditegaskan kebebasan menyatakan pendapat dan kemerdekaan pers. Negara seharusnya melindungi kebebasan itu, bukan malah membatasinya melalui instrumen KPI. Apalagi KPI sebagai lembaga independen semestinya menjaga netralitas, bukan menjadi perpanjangan tangan kekuasaan,” ujarnya.
Fajar menilai edaran KPI juga menimbulkan dilema bagi jurnalis. Di satu sisi, wartawan terikat pada etika jurnalistik untuk menyajikan informasi jujur, berimbang, dan relevan dengan kepentingan publik. Namun di sisi lain, ada tekanan ekstra-media yang membatasi ruang gerak mereka.
Mengutip teori Pamela J. Shoemaker dan Stephen Reese dalam Framing the Media, ia menyebut lima faktor yang memengaruhi pembingkaian berita: Individu jurnalis, rutinitas media, organisasi media, ekstra-media, dan ideologi media.
"Dalam kasus edaran KPI, terlihat jelas faktor ekstra-media yang mendominasi. Ini berbahaya karena framing berita akhirnya tidak lagi murni lahir dari proses jurnalistik, melainkan dari tekanan eksternal,” jelasnya.
3. Surat KPI DKI justru bisa menurunkan kepercayaan publik

Menurut Fajar, pembatasan semacam ini berpotensi menghidupkan kembali praktik sensor yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak reformasi. Transparansi yang semestinya dijunjung tinggi bisa tereduksi, sementara masyarakat kehilangan hak untuk memperoleh informasi utuh mengenai aksi demonstrasi yang merupakan bagian dari dinamika demokrasi.
“Surat edaran KPI DKI Jakarta ini justru bisa menurunkan kepercayaan publik, baik kepada media penyiaran maupun pemerintah. Masyarakat akan menilai negara semakin merepresi kebebasan pers. Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, indeks kebebasan pers kita memang sudah menurun. Jika kebijakan seperti ini berlanjut, citra demokrasi Indonesia akan semakin buruk, baik di mata rakyat maupun dunia internasional,” jelasnya.