TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kasus Positif COVID-19 DIY Meluber, Kebijakan Masih Setengah Hati

Pembatasan mobilitas penduduk jadi kunci

Wisatawan memadati kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Sabtu (8/8/2020) malam. IDN Times/Yogie Fadila

Yogyakarta, IDN Times - Mubal! Mbludak!

Sejumlah jurnalis yang berkolaborasi meliput penanganan COVID-19 berseru saat melihat angka kasus terkonfirmasi positif per 19 September 2020 lalu yang dinilai tak terkontrol. Ada 74 kasus pada hari itu. Lonjakannya boleh dibilang cukup tinggi, jika dibandingkan dengan tingkat positif (positivity rate) selama September atau pun pada bulan-bulan sebelumnya.

Diakui Sekretaris Daerah Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kadarmanta Baskara Aji, angka 74 itu yang tertinggi sejak Maret 2020 hingga 30 September 2020.

“Memang sengaja pekan-pekan itu kami lakukan swab massal seperti yang dimaui WHO (Badan Kesehatan Dunia),” tukas Kadarmanta dalam wawancara secara virtual pada 25 September 2020 lalu.

Ketentuan WHO menyebutkan harus ada swab yang dilakukan terhadap 1.000 orang untuk tiap 1 juta penduduk tiap pekan. Ada 3,8 juta penduduk di DIY. Setidaknya ada 3.800 orang yang di-swab per pekan untuk memenuhi standar itu.

Berdasarkan data yang dikumpulkan para jurnalis ini, jumlah kasus positif sejak triwulan kedua COVID-19 merajalela di wilayah DIY. Tepatnya Juli-September 2020. Mari kita simak angka-angkanya. 

Sejak kasus pertama di DIY per 15 Maret 2020-30 Juni 2020 ada 313 kasus positif. Jumlah itu tak surut dan malah meningkat menjadi 361 kasus pada Juli atau rata-rata kasus positif 11 orang per hari, Agustus ada 751 kasus atau rata-rata kasus positif 24 orang per hari. Dan kenaikan angkanya menjadi luar biasa fantastis pada September yang langsung menembus angka tiga digit, yaitu 1.218 kasus atau 40,6 kasus per harinya. Lonjakan kasus pada September itu setara dengan 85 persen total kasus pertengahan Maret-Agustus 2020.

Sedari 15 Maret hingga 30 September 2020, total jumlah pasien yang terkonfirmasi positif ada 2.643 kasus. Bayangkan, penambahan kasus positif dari 1 kasus menjadi 1.000 kasus butuh waktu 157 hari. Namun dari 1.000 kasus menjadi 2 ribu hanya butuh 34 hari.

Sementara jumlah pasien sembuh 1.885 orang dan 691 orang dirawat di rumah sakit. Mereka menempati ruang kritis di rumah sakit rujukan COVID-19 yang dilengkapi ventilator sebanyak 30 bed dan tersisa 18 bed. Juga mengisi ruang non kritis atau tanpa ventilator dengan 179 bed yang menyisakan 225 bed. Selebihnya memilih isolasi mandiri di rumah atau pun di shelter-shelter yang disediakan karena kondisi asimtomatik (tanpa gejala).

Sedangkan angka kematian positif COVID-19 yang telah lepas dari angka ‘keramat’ delapan karena bertahan sejak Maret hingga 16 Mei 2020, kini bergeser menjadi 12 kasus pada Juli, Agustus menjadi 19 kasus, dan 28 kematian pada September 2020.

Lantas mengapa September yang katanya ceria itu berubah menjadi nestapa?

Baca Juga: Kasus COVID-19 di Sleman Terus Meningkat, Apa Langkah Pemkab?

1. Berawal dari kegagalan penghentian penularan sejak fase awal

Riwayat kasus COVID-19 di DIY dari Juni-September 2020. Dokumen kolaborasi peliputan COVID-19

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, mengatakan seharusnya lonjakan kasus karena penularan bisa dihentikan sejak awal, sehingga pandemi berakhir. Tepatnya ketika fase awal dimulai dengan kasus penularan mulai masuk dalam populasi atau penularan terbatas. Lantaran gagal ditanggulangi, mulai terjadi penularan dalam komunitas. Upaya penelusuran kontak dilakukan, sehingga jumlah kasus diketahui bertambah banyak. Di sinilah fase penularan komunitas terbatas terjadi.

“Persoalannya, kecepatan menemukan sumber penularan kalah cepat dengan penularannya,” kata Riris pada 22 September 2020.

Masuklah dalam fase penularan komunitas yang meluas. Pada kondisi inilah yang tengah dialami DIY dan Indonesia saat ini. Dan upaya penghentian transmisi (penularan) pada fase ini akan sulit dilakukan sebagaimana yang mesti dilakukan pada fase awal. Lantaran tingkat mobilitas masyarakat di DIY makin tinggi sejalan digaungkannya wacana uji coba kebiasaan baru (new normal) pada akhir Juni 2020.

“Orang berpikir, oke sudah kembali ke fase dulu, kembali beraktivitas normal. Padahal waktu itu belum berhasil menghentikan penularan,” kata Riris.

Riris merunut fase penularan berdasarkan kompilasi data yang didapatnya. Bermula awal Maret yang ditandai dengan mayoritas kasus impor. Akhir April mulai banyak klaster besar, seperti Indogrosir, jemaah tabligh, juga gereja. Akhir Mei, klaster-klaster besar ini dianggap sudah selesai ditangani sehingga kasus melandai. Namun mulai pertengahan Juni, Juli muncul kembali kasus impor karena banyak pelaku perjalanan yang menyambangi Yogyakarta.

“Kasus impor memang tak bisa dicegah. DIY kan provinsi ya, bukan negara. Tak bisa menutup perbatasan,” kata Riris.

Dan klaster-klaster pun kembali bermunculan dalam skala lebih besar dan luas. Klaster perkantoran seperti koperasi di Sleman, klaster Malioboro, klaster Soto Lamongan, hingga klaster Pasar Cebongan. 

2. Siapa menularkan siapa tak lagi mudah diketahui

Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo. IDN Times/Siti Umaiyah

Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Joko Hastaryo juga mengingatkan, lonjakan kasus positif COVID-19 di DIY juga tak terlepas dari tarik ulurnya penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Jakarta. Ketika PSBB dierapkan, dampak yang diterima DIY adalah bisa ikut mengontrol penularannya. Di Sleman misalnya, selama kurun Maret-April-Mei 2020 hanya ada 94 kasus positif dengan 20-25 orang saja yang dirawat di rumah sakit. Namun ketika PSBB di Jakarta dibuka, banyak pelaku perjalanan dari Jakarta menuju ke daerah-daerah lain, tak terkecuali DIY.

“Jadi kalau ada penambahan kasus, kami gak terkejut,” kata Joko pada 20 Agustus 2020.

Sleman sedari awal menempati posisi teratas untuk jumlah kasus positif di DIY. Sebanyak 25 kasus positif dari total 36 kasus positif di penghujung September ditemukan di Sleman. Sisanya menyebar di Yogyakarta ada 5 kasus, Kulon Progo ada 4 kasus, dan masing-masing 1 kasus di Bantul dan Gunungkidul. Jumlah 36 kasus itu diperoleh dari hasil penelusuran kontak (contact tracing) sebanyak 22 kasus, pelaku perjalanan 2 orang, pemeriksaan mandiri 3 orang, dan 9 orang masih dalam penelusuran. Sedangkan jumlah sampel usap yang diperiksa sudah mencapai 58.383 orang dengan 2.643 yang terkonfirmasi positif. Tingkat positifnya 4,5 persen.

Dan jika pada awal pandemik COVID-19, penularan di DIY didominasi para pelaku perjalanan atau kasus-kasus impor, kini tak lagi. Hasil penelusuran kontak beralih mendominasi penemuan penularan kasus. Joko mewanti-wanti untuk mewaspadai hal itu. Pelaku perjalanan akan menjadi sumber penularan bagi keluarga, teman, tetangganya. Satu orang bisa menularkan 3-4 orang. Dari situlah mulai banyak kasus penularan setempat.

“Jadi kami anggap itu hasil penelusuran kontak. Tak bisa lagi kami katakan asal virus dari luar (impor). Tapi ada di tempat sekitar kita,” kata Joko.

Tak bisa pula diingkari, ketika pelaku perjalanan dari DIY membawa virus, maka penularan dengan cepat terjadi di mana-mana. Mengingat tak sedikit pemberitaan yang mengabarkan ada penularan di daerahnya setelah ada yang datang dari Yogyakarta.

“Sebelumnya, saya juga kaget. Setelah dicermati, kami harus terbiasa,” kata Joko.

Dan sejak kasus-kasus impor kembali menjadi mayoritas penularan di DIY sejak Juni, Joko mulai melihat pola penularan yang tak jelas. Orang tiba-tiba positif COVID-19 tanpa tahu siapa yang menulari. Penelusuran kontak dan skrining berasa tak efektif. Pada tahap itulah, community transmission (transmisi komunitas) mulai berlangsung.

“Itu penularan dalam masyarakat. Sudah seperti flu biasa. Enggak tahu ketularan flu dari siapa,” kata Joko.

3. Rumah sakit dan nakes mulai ketar ketir

Ilustrasi tenaga medis mengenakan APD. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah

Lonjakan kasus yang sangat fluktuatif itu membuat pihak rumah sakit ketar-ketir. Persoalannya, kapan pandemi akan berakhir, belum ada yang bisa menjawab secara tepat. Wakil Koordinator Bidang Kesehatan Gugus Tugas COVID-19 DIY, Rukmono Siswihanto menjelaskan, pihaknya telah menyiapkan tiga skenario layanan untuk 27 rumah sakit rujukan COVID-19 di DIY.

Tingkat pertama, konvensional. Tingkat kedua, kontingensi, yaitu memperbanyak fasilitas rumah sakit untuk dikonversi dari layanan umum menjadi layanan perawatan pasien COVID-19. Tingkat ketiga, critical, yaitu ketika layanan untuk pasien umum banyak ditutup untuk dijadikan layanan pasien COVID-19.

Saat ini, layanan rumah sakit rujukan di DIY masih tahapan kontingensi dengan kapasitas 60 persen.

“Kalau kapasitas kontingensi meningkat jadi 80 persen, kami harus aktifkan skenario layanan critical,” kata Rukmono yang juga Direktur Utama RSUP Sardjito itu pada 26 September 2020.

Pada skenario tahap tiga ini, RSUP Sardjito menjadi pusatnya. Sedangkan RS Hardjolukito dan RS Akademik UGM menjadi penyangga untuk non-critical.

“Mudah-mudahan tak sampai tahap itu. Bahaya, karena akan banyak pasien yang telantar,” imbuh Rukmono.

Dalam tahap kontingensi saat ini, tiap-tiap rumah sakit rujukan menyediakan ruangan untuk memfasilitasi pasien COVID-19 yang kritis dan non-kritis. Untuk pasien kritis disediakan ruangan yang dilengkapi fasilitas ICU dan ventilator. Sebaliknya fasilitas non-kritis diperuntukkan pasien-pasien yang cukup menjalani isolasi.

Salah satu bentuk layanannya adalah penambahan fasilitas tempat tidur. Untuk ruangan non-kritis ditambah dari 345 menjadi 393 tempat tidur (bed). Yang kritis ada penambahan dari 46 menjadi 48 tempat tidur.

“Dan para tenaga kesehatan sudah kelelahan secara psikis dan fisik,” kata Wakil Ketua DPRD DIY Huda Tri Yudiana pada 24 September 2020.

Mereka diliputi kekhawatiran, jika ikut terinfeksi. Belum lagi para petugas kesehatan di puskesmas yang bertugas melakukan penelusuran kontak setiap kali ada kasus terkonfirmasi positif diumumkan. Tak terkecuali ketika ‘pecah telur’ pada angka 74 dalam satu hari.

“Yang 74 positif itu menyebar ke banyak tempat. Lalu harus di-tracing. Tiap tempat bisa jadi klaster baru,” kata Huda.

4. Pembatasan mobilitas penduduk jadi kunci

Penutupan akses jalan ke kampung Bulus, Sleman Dok Istimewa

Pada akhir Mei hingga awal Juni 2020, kasus positif COVID-19 di DIY sempat melandai. Salah satu indikasinya adalah penularan yang mayoritas dari pelaku perjalanan atau kasus impor bisa dikendalikan.

Riris mengaku sudah menyerukan untuk melakukan surveilans migrasi. Yaitu menangkap pelaku perjalanan yang masuk ke wilayah DIY. Kemudian mereka yang diketahui terinfeksi COVID-19 segera dipisahkan dari populasi, terutama yang berkunjung cukup lama di DIY.

“Jadi dipastikan ketika di Yogyakarta tak menularkan. Penularan kan bisa terjadi selama perjalanan,” kata Riris.

Namun harapan jumlah kasus rendah dan kembali pada awal pandemi tak terjadi.

“Karena DIY sudah mulai terbuka. Mobilitas penduduk juga mulai meningkat. Ibaratnya tumbu oleh tutup,” sesal Riris. 

Sementara intervensi berupa PSBB atau pun lockdown, menurut Riris tetap akan memakan korban. Dari sisi ekonomi, masyarakat kesulitan makan karena tak bekerja. Sementara dari sisi kesehatan pun, terutama ibu hamil dan anak-anak juga kesulitan mengakses layanan kesehatan. Sementara dua hal tersebut hasru survive pada masa pandemi.

“Bagi saya, tak ada satu pun intervensi yang ‘benar’. Setiap intervensi ada konsekuensinya,” imbuh Riris.

Bahkan Riris mengkritik PSBB yang tak beda dengan social distancing. Perbedaannya, dalam PSBB ada kewenangan aparat kepolisian untuk menindak pelanggarnya. Sementara aturan social distancing sudah diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular maupun UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

“Yang penting implementasi penegakan aturannya. Kalau tidak ada, intervensi apapun ya sama saja,” tegas Riris.

Hal yang sama pada kampanye protokol kesehatan berupa 3T untuk pemerintah, yaitu test, tracing, treatment maupun 3M untuk masyarakat, yaitu menggunakan masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan pun dinilai Riris tak efektif diterapkan.

“3T tak bisa mengendalikan transmisi. Tak bisa dipakai menemukan kasus infeksius,” kata Riris.

Belum lagi sumber daya petugas untuk melakukan 3T yang terbatas. Tak terkecuali kewajiban masyarakat untuk melakukan 3M pun terkendala rendahnya kesadaran masyarakat untuk menerapkannya. Perlu ada evaluasi penerapan protokol kesehatan, khususnya dalam penegakan hukumnya.

Dia pun menawarkan jalan tengah untuk mengatasi transmisi komunitas yang meluas seperti saat ini. Dianalogikan bak bermain layang-layang yang mesti lihai menarik dan mengulur benang. Ada saatnya mengulur benang untuk mengendalikan transmisi. Ada pula saatnya menarik benang ketika transmisi meningkat. Upaya pengendaliannya dengan memperketat mobilitas penduduk hingga penularan bisa dikendalikan.

“Jadi dengan menurunkan transmisi, bukan menghentikannya,” kata Riris.

Problemnnya, upaya yang dilakukan hanya sebatas penelusuran kontak. Padahal tingkat penularan lebih cepat ketimbang upaya mencari sumber penularannya. Dan penularan bisa terjadi setiap saat. Terlebih 70 persen penularan di DIY dari kasus asimtomatik (tak bergejala). Sementara waktu yang dibutuhkan bisa satu hari untuk sekadar menemukan satu kasus.

“Kalau sudah meluas masih pakai contact tracing dan petugas terbatas, ya kobol-kobol. Ambyar,” kata Riris.

Cara yang efektif mengurangi transmisi adalah melalui strategi skrining massal dalam komunitas. Penemuan kasusnya lebih cepat. Strategi ini berfokus pada seberapa banyak kasus ditemukan, lalu dipisahkan dari populasi. Agar skrining massal berlaku optimal, perlu dilakukan penghentian mobilitas (immobilitas) manusia minimal 1-2 kali masa inkubasi atau 2 pekan-1 bulan immobilitas. Seperti yang diterapkan pada awal pandemi dengan bekerja dari rumah, beribadah dari rumah.

“Pastikan sampai kasus-kasus infeksius akan kesulitan mencari orang untuk ditulari,” kata Riris.

Sedangkan populasi yang diterapkan skrining massal, misalnya populasi Yogyakarta-Sleman-Bantul (Kartamantul), Gunungkidul, dan Kulon Progo.

Lagi-lagi tawaran jalan tengah pun tak bersambut. Mengingat pesan yang disampaikan pemerintah kepada masyarakat dan pelaku bisnis selama masa new normal hanya kewajiban mematuhi protokol kesehatan saja. Tak sampai pada tahap pemahaman tarik ulur.

“Memang harus ada asistensi dan back up nasional,” kata Riris.

Baca Juga: Kronologi 48 Orang Terpapar COVID-19 di Tiga Ponpes Sleman

Berita Terkini Lainnya