Aliansi Jogja Memanggil Tolak Gelar Pahlawan Soeharto: Penjahat Kemanusiaan

- Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, menyebutnya pelaku pelanggaran HAM dan korupsi Orde Baru.
- Mereka menilai Soeharto mewariskan politik dinasti, militerisme, dan pendidikan neoliberal seperti sistem PTNBH.
- Aliansi menyerukan tuntutan: tolak RUU HAM, batalkan revisi UU TNI, tegakkan kebebasan pers, dan sediakan pendidikan gratis.
Yogyakarta, IDN Times - Kelompok aktivis Aliansi Jogja Memanggil menolak keras pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto oleh Presiden Prabowo Subianto, Senin (10/11/2025) hari ini.
Aliansi hari ini melakukan aksi turun ke jalan, menyuarakan protes pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto. Aksi dilakukan di depan Monumen Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Gondokusuman, Kota Yogyakarta.
1. Orde Baru dibangun di atas genangan darah dan fondasi kebohongan

Dalam pernyataan mereka, aliansi menilai Soeharto bukan pahlawan karena telah memperkenalkan rezimnya bernama Orde Baru, rezim yang dibangun di atas genangan darah dan fondasi kebohongan. "Harto bukan pahlawan! Harto adalah penjahat!" kata aliansi dalam keterangannya.
Bagi aliansi, mengangkatnya sebagai pahlawan merupakan pengaburan terhadap sejarah Indonesia. Sejak naik hingga jatuh, lanjutnya, kekuasaan Soeharto adalah kisah pembunuhan berantai. Mulai dari pembantaian massal 1965-1966; pembunuhan aktivis 90-an, hingga tragedi Talangsari. Perempuan etnis Tionghoa turut menjadi korban pemerkosaan massal yang direncanakan pada 1998.
"Dia adalah penjahat kemanusiaan," tegas aliansi.
2. Aktor institusionalisasi korupsi di Indonesia, wariskan politik dinasti

Aliansi selain itu memandang Soeharto sebagai aktor utama dalam institusionalisasi korupsi di Indonesia. Dia disebut telah mengelola aliran dana negara dan swasta tanpa transparansi dan akuntabilitas, melalui jaringan yayasan-yayasannya, macam Supersemar, Dharmais, dan beberapa lainnya.
Aliansi pun mengingatkan soal audit BPK dan investigasi Transparency International yang mengungkap bagaimana yayasan-yayasan tersebut berfungsi sebagai saluran korupsi terselubung.
"Proyek pembangunan lebih berfungsi untuk menggemukkan pundi-pundi diri dan kroninya, sementara ketimpangan ekonomi semakin dalam. Praktik inilah yang menjadikan korupsi bukan sekadar pelanggaran, tetapi sistem yang mengakar," papar aliansi.
Tak berhenti sampai di situ, lantaran aliansi juga menilai Soeharto telah menghancurkan demokrasi RI dengan mewariskan sistem yang melahirkan politik dinasti dan korupsi yang mengakar dari desa hingga istana.
Soeharto juga dianggap telah memberangus kebebasan dengan menjadikan militer sebagai tukang pukul yang menyasar rakyat, sementara Dwi Fungsi ABRI menjadi alat penindasannya.
"Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, Harto bukanlah kesatria. Saat Serangan Umum 1 Maret, dia hilang dari lapangan. Karier militernya pun ternoda: Dia dihukum karena menggelapkan gula dan kapuk untuk dirinya sendiri. Ini bukanlah sikap seorang pahlawan, tapi pengecut dan oportunis," kata mereka.
3. PTNBH anak kandung dari politik ekonomi Orde Baru

Aliansi memandang, sektor pendidikan di RI tak luput dari otak-atik Soeharto. Ia disebut telah mewariskan sistem pendidikan yang tunduk pada kekuasaan, di mana perguruan tinggi dibungkam, dialihfungsikan dari ruang kritik menjadi mesin pencetak tenaga kerja murah untuk kepentingan industri dan rezim.
Kata aliansi, politisasi kampus serta Dwi Fungsi ABRI sudah mencabut nyawa demokrasi dari jantung intelektual bangsa. Dan hari ini, warisan itu berlanjut lewat adanya Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH).
Di mata aliansi, kebijakan ini adalah bentuk pelepasan tanggung jawab negara dan komersialisasi pendidikan. Di bawah logika neoliberal PTNBH, kampus dipaksa menjadi perusahaan yang mencari untung. Biaya kuliah melambung, beban hidup mahasiswa semakin berat, sementara kedaulatan akademik dikorbankan untuk memenuhi selera pasar.
"PTNBH adalah anak kandung dari politik ekonomi Orde Baru yang mengutamakan pembangunan fisik dan mengabaikan keadilan sosial! Alih-alih pendidikan gratis, penguasa hari ini menghidangkan program makan beracun yang telah meracuni banyak orang muda. Proyek ini juga boros anggaran dan hanya untuk bagi-bagi jatah para pendukung masa pemilu. Proyek ini jelas mengabaikan nyawa dan masa depan rakyat!" kata mereka.
4. Tuntutan Aliansi Jogja Memanggil

Lebih jauh, aliansi menyatakan bahwa runtuhnya kekuasan Soeharto pada 1998 adalah kemenangan rakyat. Yogyakarta salah satu kota yang menyimpan sejarah itu, di mana rakyat tumpah ruah menuntut jatuhnya Soeharto.
Kata aliansi, tuntutan rakyat kala itu sangat jelas. Yakni, adili Soeharto beserta kroninya, hapus Dwi Fungsi ABRI, Amandemen UUD 1945.
"Namun, puluhan tahun kemudian, semuanya tidak dilakukan oleh para elite-elite politik yang serakah dan berfoya-foya di atas warisan dosa Harto! Upaya mengangkat Harto hari ini adalah genderang perang penguasa versus rakyat. Ini dibarengi dengan pelemahan sistematis: RUU HAM yang dilemahkan, pers yang dibungkam dan Revisi UU TNI yang mengembalikan militer ke politik," ucapnya.
Oleh karenanya, Aliansi Jogja Memanggil hari menyerukan beberapa poin pernyataan. Pertama, 'Harto bukan pahlawan'. Lalu, menolak RUU HAM; tegakkan perlindungan pers; batalkan revisi UU TNI dan tarik militer kembali ke barak; serta berikan pendidikan gratis dan bukannya makan beracun gratis.


















