Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kenapa Orang Jogja Tunjuk Arah Pakai Mata Angin?

ilustrasi kompas untuk menunjuk arah mata angin (pexels.com/Valentin Antonucci)
Intinya sih...
  • Masyarakat Jogja menggunakan mata angin sebagai penunjuk arah dalam budaya lokal yang sudah mendarah daging.
  • Yogyakarta dibangun dengan sistem tata kota yang memperhatikan arah mata angin untuk memudahkan navigasi warga dan wisatawan.
  • Pemakaian arah mata angin di Yogyakarta bukan hanya petunjuk jalan, tetapi juga simbol identitas budaya dan kearifan lokal yang masih relevan bagi generasi muda.

Pernah gak kamu bingung waktu orang Jogja menunjuk arah pakai kata "lor/utara", kidul/selatan", "wetan/timur", atau "kulon/barat"?  Cara masyarakat Jogja menggunakan mata angin sebagai penunjuk arah karena sudah mendarah daging dalam budaya lokal. 

Jadi, kalau kamu bertanya jalan di Jogja, jangan kaget kalau jawabannya gak pakai istilah kiri atau kanan. Kenapa orang Jogja tunjuk arah pakai mata angin? Temukan jawabannya di sini!

1. Keterikatan dengan alam

ilustrasi pantai Parangtritis (unsplash.com/Rahadiansyah)

Masyarakat Jogja dikenal mempunyai hubungan yang kuat dengan lingkungan alam di sekitarnya, terlebih dengan Gunung Merapi yang terletak di utara wilayah tersebut. Gunung Merapi menjadi acuan utama bagi masyarakat Jogja untuk menentukan arah utara. Ketika seseorang di Jogja menghadap Gunung Merapi, dia otomatis tahu bahwa posisinya sedang menghadap ke utara. Hubungan kuat dengan alam ini memperlihatkan bagaimana warga Jogja sangat menghormati dan menghargai lingkungan sekitarnya.

Gunung Merapi gak hanya menjadi patokan geografis, tetapi juga dianggap memiliki makna spiritual bagi sebagian orang. Gunung ini memberikan rasa orientasi yang mendalam, sehingga konsep arah mata angin menjadi bagian dari keseharian masyarakat. Bagi warga Jogja, memakai arah mata angin saat menunjuk jalan adalah cara untuk terus terhubung dengan alam dan memahami posisi mereka dalam ruang geografis.

2. Sistem tata kota

ilustrasi Malioboro Yogyakarta (unsplash.com/Farhan Abas)

Yogyakarta dibangun menggunakan sistem tata kota yang memperhatikan arah mata angin. Jalan-jalan utama di kota ini cenderung lurus serta mengikuti pola utara-selatan atau barat-timur, yang memudahkan warga untuk memakai arah mata angin dalam navigasi. Dengan pola tata kota ini, memperlihatkan arah dengan 'utara' atau 'selatan' menjadi lebih logis dan mudah dimengerti oleh warga setempat.

Desain tata kota yang memperhatikan arah ini ini memang dirancang dengan makna tertentu. Pola utara-selatan ini juga membantu masyarakat dalam orientasi sehari-hari. Baik bagi penduduk lokal maupun wisatawan yang paham, sistem tata kota ini membantu navigasi dengan lebih jelas dibandingkan hanya menggunakan 'kiri' atau 'kanan' yang relatif.

3. Nilai filosofis

ilustrasi Keraton Yogyakarta (unsplash.com/Agto Nugroho)

Lebih dari sekadar orientasi arah, posisi Yogyakarta memiliki makna filosofis yang mendalam, lho. Kota ini terletak pada garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi di utara, Tugu Jogja, Keraton Yogyakarta, sampai Laut Selatan. Garis ini melambangkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Memakai arah mata angin dalam kehidupan sehari-hari menjadi refleksi dari nilai-nilai filosofi ini, di mana masyarakat diingatkan untuk senantiasa menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan.

Sumbu imajiner ini juga memberikan makna bahwa setiap arah mata angin mempunyai nilai tersendiri, baik spiritual maupun budaya. Dengan demikian, ketika warga Jogja menyebutkan arah seperti 'timur' atau 'barat', mereka gak hanya memberikan petunjuk jalan, tetapi juga melanjutkan tradisi yang telah ada sejak lama, yang mengajarkan keharmonisan dan keseimbangan hidup.

4. Kiblat papat lima pancer

ilustrasi Tugu Jogja (instagram.com/olanations)

Masyarakat Jogja mempunyai kepercayaan terhadap ‘Kiblat Papat Lima Pancer’ yang bermakna empat arah dan satu pancer atau titik tengah. Empat arah tersebut menunjuk pada empat arah mata angin, yaitu utara, selatan, barat, dan timur, sedangkan titik tengah bermakna manusia, Menurut Rudy Wiratama, Dosen Sastra Jawa Universitas Gadjah Mada. 

Manusia yang ada di sumbu tengah untuk memperlihatkan suatu kedudukan yang dimaksudkan sebagai jagad gede, artinya manusia mempunyai kuasa yang terdapat pada dirinya sendiri. Sementara itu, kepercayaan ini juga dikaitkan dengan sumbu filosofis kota Jogja yang tadi sudah dijelaskan.

5. Metode menentukan arah

ilustrasi kompas untuk menunjuk arah mata angin (pexels.com/Valentin Antonucci)

Masyarakat Jogja mempunyai cara unik dalam menentukan arah berdasarkan elemen-elemen alam. Jadi, Gunung Merapi yang terletak di utara menjadi patokan utama. Kemudian, posisi matahari yang terbit di timur dan terbenam di barat juga membantu menentukan arah. Kalau matahari bersinar, warga lokal bisa melihat posisi bayangan untuk mengetahui arah dengan lebih mudah.

Selain Gunung Merapi dan matahari, kiblat masjid yang mengarah ke barat laut sering dipakai sebagai referensi arah. Berbagai metode ini mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jogja dalam memanfaatkan alam untuk navigasi. Saat kamu berada di Jogja, memahami metode ini bisa memudahkan orientasi dan membuat pengalamanmu lebih autentik.

6. Generasi muda masih menggunakan sistem ini

ilustrasi Tamansari Yogyakarta (pixabay.com/abyan_ashar)

Menariknya, kebiasaan memakai arah mata angin gak hanya dipraktikkan oleh generasi tua, tetapi juga tetap relevan bagi generasi muda di Jogja. Banyak anak muda di kota ini yang mampu memahami serta memakai arah mata angin dengan baik. Hal ini memperlihatkan bahwa tradisi ini tetap hidup dan berkembang meski zaman telah berubah dan teknologi semakin maju.

Fakta bahwa generasi muda Jogja masih melestarikan kebiasaan ini memperlihatkan nilai penting yang diberikan oleh masyarakat terhadap tradisi. Tradisi ini gak hanya dipandang sebagai sesuatu yang kuno, tetapi sebagai bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Jogja. Dengan demikian, generasi muda ikut berperan menjaga budaya dan tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun.

7. Pemakaian mata angin sebagai identitas budaya

ilustrasi suasana Malioboro Yogyakarta (unsplash.com/Farhan Abas)

Pemakaian arah mata angin di Yogyakarta gak sekadar cara untuk memberikan petunjuk arah, tetapi juga menjadi simbol identitas budaya. Berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia yang mungkin lebih mengandalkan "kiri" dan "kanan", penggunaan mata angin di Jogja menegaskan kekayaan budaya serta kedekatan masyarakat dengan alam dan sejarah kota. Ketika kamu berada di Jogja, melakukan cara ini dapat menjadi cara untuk memahami nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh warga lokal.

Dengan mempertahankan tradisi ini, masyarakat Jogja berhasil memperlihatkan kepada dunia bahwa mereka menghargai budaya dan cara hidup mereka yang unik. Ini menjadi bukti bahwa nilai-nilai kearifan lokal dapat hidup berdampingan dengan modernitas. 

Setelah mengetahui alasan kenapa orang Jogja tunjuk arah pakai mata angin, kamu pasti mengerti bahwa ini lebih dari sekedar petunjuk arah. Kebiasaan ini justru memperlihatkan bahwa adanya cerminan dari hubungan masyarakat dengan alam, filosofi, dan budaya lokal. Saat kamu berada di Yogyakarta, mempelajari kebiasaan ini bisa memberikanmu wawasan lebih dalam mengenai bagaimana masyarakat Jogja hidup, berpikir, dan melihat dunia. 

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Lathiva R. Faisol
EditorLathiva R. Faisol
Follow Us