Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Vasektomi Jadi Syarat Penerima Bansos, Ekonom UGM: Kebijakan Ekstrem

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. (IDN Times/Amir Faisol)
Intinya sih...
  • Ekonom UGM menilai rencana Gubernur Jawa Barat menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos diskriminatif.
  • Vasektomi sebagai syarat bansos dianggap ekstrem, eksklusif, dan mengintervensi hak asasi manusia.
  • Pemerintah diharapkan hidupkan kembali program KB sukarela era Orde Baru dan menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menekan populasi penduduk.

Sleman, IDN Times - Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, menilai rencana Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bantuan sosial (bansos), sebagai tindakan yang diskriminatif. 

Menurut Wisnu Setiadi hal ini akan menimbulkan ketidakadilan sosial, karena masih banyak alternatif atau cara lain yang dapat ditempuh untuk mengurangi kemiskinan.

“Banyak alternatif lain, anak lebih sedikit memang akan mengurangi kemiskinan karena pembagi resource rumah tangga berkurang,” jelasnya pada Senin (5/5/2025).

 

1. Dinilai kebijakan yang terlalu ekstrem

Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho (ugm.ac.id)

Menurutnya, menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk menerima bansos adalah kebijakan yang terlalu ekstrem, bahkan menimbulkan kesan pemaksaan terhadap kelompok rentan. “Niatnya mau membantu, tapi malah jadi eksklusivitas dalam sistem bantuan sosial. Padahal seharusnya kebijakannya inklusif dan berkeadilan,” ucapnya.

Jika kebijakan ini dilakukan, ia justru mengkhawatirkan narasi yang akan berkembang menjadi diskriminatif dan koersif (paksaan) kontrasepsi, yang akhirnya bakal menurunkan kepercayaan publik terhadap program bansos dan program pemerintah lainnya.

Dari sisi hak asasi manusia, Wisnu menegaskan hak reproduksi merupakan bagian dari hak dasar manusia yang tidak seharusnya diintervensi oleh negara. Menurutnya, negara tidak memiliki hak untuk memaksa warga menjalani tindakan medis seperti vasektomi. “Yang dibutuhkan adalah edukasi, insentif, dan sosialisasi,” ucapnya. 

 

2. Pemerintah diharapkan hidupkan lagi KB

Ilustrasi keluarga tengah piknik mini di halaman (pexels.com/Kampus Production)

Menurutnya pemerintah diharapkan menghidupkan kembali program Keluarga Berencana (KB) yang bersifat sukarela seperti di era Orde Baru. Ia menyebut pendekatan tersebut terbukti berhasil menurunkan angka kelahiran tanpa paksaan.

Disebutnya, banyak negara menggunakan pendekatan tidak langsung dalam menekan populasi penduduknya. Misalnya, di Amerika Serikat dan United Kingdom yang menerapkan kebijakan pembatasan tempat tinggal yang menyesuaikan jumlah kamar dengan jumlah penghuni. “DI US dan UK, dibatasi dgn tempat tinggal (2n+1). Rumah 2 kamar maksimal 5 orang. Selain itu, bisa edukasi keluarga berencana dan tawaran alternatif bentuk kontrasepsi lain,” imbuhnya.

Ia pun menyontohkan India dan Tiongkok pernah menerapkan kebijakan serupa. Namun kebijakan tersebut justru memunculkan persoalan sosial seperti ketimpangan gender dan pelanggaran HAM.  “Program satu anak di Tiongkok menghasilkan fenomena ‘missing girls’, dan di India terjadi protes besar-besaran saat dilakukan sterilisasi massal pada 1970-an,” jelasnya.

3. Rekomendasikan pendekatan partisipatif berbasis edukasi

ilustrasi kesehatan reproduksi (pph.atmajaya.ac.id)

Untuk merancang kebijakan kependudukan yang manusiawi dan berkelanjutan, Wisnu merekomendasikan pendekatan partisipatif dan berbasis edukasi. "Misalnya mendorong voluntary family planning, memberikan insentif untuk kepesertaan program keluarga berencana, edukasi reproduksi yang komprehensif, memperkuat perlindungan sosial. Bisa  inovasi program seperti pemberian voucher kontrasepsi gratis atau sistem berbasis insentif sosial, untuk mencapai tujuan kependudukan tanpa paksaan," pungkasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us