[CEK FAKTA] Hoaks Tentang Vaksin COVID-19 dan Virus Corona, Apa Saja?
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Sleman, IDN Times - Pemerintah Indonesia tengah mengupayakan pemberian vaksinasi untuk mengakhiri pandemik COVID-19. Pemberian vaksinasi ini telah dilakukan sejak Januari 2021 lalu di berbagai wilayah. Namun di tengah pelaksanaan program vaksinasi nasional COVID-19, bermunculan hoaks seputar vaksin maupun virus corona.
Hoaks seperti apa saja yang telah beredar di masyarakat dan bagaimana faktanya?. Berikut penjelasan yang dipaparkan oleh Pakar Alergi Imunologi, dr. Deshinta Putra Mulya dan Pakar Pulmonologi Departemen Penyakit Dalam FKKMK UGM, dr. Ika Trisnawati.
1. Vaksin COVID-19 membahayakan
Deshinta mengatakan salah satu hoaks yang muncul adalah vaksin COVID-19 membahayakan. Menurutnya hal tersebut tidak tepat sebab dalam pembuatan vaksin telah melalui serangkaian penelitian panjang untuk melihat kemampuan membentuk antibodi, efek samping, hingga efikasi.
“Jadi pernyataan vaksin COVID-19 berpotensi membahayakan itu tidak benar karena sudah melalui penelitian yang panjang dan setelah diberikan dilakukan observasi lagi,” ungkapnya pada Rabu (24/3/2021).
Baca Juga: Survei Masyarakat Digital, CfDS UGM: 40 Persen Tak Setuju Wajib Vaksin
2. Saat pemberian vaksin COVID-19 tubuh dimasukkan chip
Hoaks lainnya adalah proses penyuntikan vaksin adalah untuk menanamkan chip melacak keberadaab orang. Menurutnya hoaks tersebut banyak berkembang dan ramai diperbincangkan di masyarakat.
“Tidak benar vaksin COVID-19 ada chipnya, tidak bisa chip dimasukkan melalui injeksi,” katanya.
3. Vaksin membuat virus corona lebih banyak bermutasi
Berseliweran kabar yang mengatakan bahwa vaksin COVID-19 justru akan membuat virus corona bermutasi ribuan kali. Menurut Deshinta hal tersebut tidak benar, sebab virus corona dalam vaksin telah dimatikan sehingga tidak akan menimbulkan mutasi.
“Hal lainnya adalah tidak perlu mematuhi protokol kesehatan setelah divaksinasi COVID-19 itu juga salah, karena antibodi tidak langsung terbentuk setelah vaksin. Selain itu efikasi masing-masing vaksin beda, tidak ada yang 100 persen sehingga masih ada peluang terinfeksi,” paparnya.
4. Pasien pasca sembuh dari COVID-19 tidak dapat terinfeksi lagi
Selain vaksin COVID-19, hoaks yang berkembang pasca sembuh dari terkena COVID-19. Menurut dr. Ika Trisnawati, tidak benar pasien yang sudah sembuh dari COVID-19 tak lagi dapat terinfeksi kembali.
"Pernyataan tersebut tidak benar, meskipun sudah ada kekebalan tetapi hal tersebut akan turun setelah dua hingga tiga bulan. Saat terjadi penurunan bisa berisiko terinfeksi lagi," katanya.
5. Minum mecobalamin bisa sembuhkan anosmia
Setelah minum mecobalamin dapat mengobati anomsia sebagai gejala COVID-19. Menurut Ika, pengobatan untuk anosmia tidak menggunakan jenis obat-obatan tersebut. Demikian halnya dengan penggunaan obat herbal China Lianhua Qingwen tidak dapat membantu mengurangi kondisi yang disebabkan kondisi virus corona.
“Sebenarnya Lianhua itu obat herbal yang memiliki kandungan untuk turunkan demam, bersihkan dahak saluran pernapasan, meringankan nyeri tenggorokan. Obat ini memang bisa membantu tapi bukan mengurangi kondisi pasien COVID-19,” jelasnya.
6. Mutasi COVID-19 sangat mematikan
Informasi tentang mutasi virus COVID-19 sangat mematikan, Ika mengatakan informasi tersebut tidaklah tepat. Dari sejumlah penelitian diketahui mutasi virus COVID-19 memang terbukti memiliki daya infeksi yang lebih besar. Namun belum terdapat bukti ilmiah yang menyebutkan mutasi COVID-19 menjadi sangat mematikan.
“Mutasi terbukti mudah menularkan, tetapi belum ada laporan kalau mutasi menjadi sangat mematikan,” paparnya.
Baca Juga: Usai Sembuh dari COVID-19, Ini 7 Hal yang Harus Diperhatikan!