Kisah Dokter dan Keris Naga Siluman dari Zaman Majapahit

Seorang empu bisa hanya membuat satu keris seumur hidup

Sleman, IDN Times – Tak disangka, selain merawat pasien, dokter spesialis bedah dan kanker, Darwito ternyata juga piawai merawat keris. Tak tanggung-tanggung keris koleksinya sejak 1989 hingga kini telah mencapai 600-an buah.

“Yang paling tua itu keris peninggalan zaman Kerajaan Singosari,” kata Direktur Utama Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito Yogyakarta itu dalam temu pers usai membuka Seminar dan Pameran Mahakarya Keris bertema 'Spiritualisme Jawa dalam Menjaga Kesehatan Menuju Rumah Sakit Berbudaya' di ruang utama gedung diklat rumah sakit setempat, Senin (28/10).

“Sudah bisa pameran sendiri tuh,” celetuk salah satu dewan pengawas rumah sakit, Supriyantoro yang duduk di sampingnya.

Darwito biasa berburu keris ketika tengah liburan. Kekagumannya terhadap keris karena merupakan artefak bangsa yang dibuat dengan perpaduan antara teknologi dan seni tingkat tinggi.

“Karena menyatukan baja, besi, dan pamor jadi satu,” kata Darwito.

Alasannya mengoleksi keris adalah untuk nguri-uri atau melestarikan artefak bangsa.

“Kalau tidak, nanti keris bisa diaku negara lain,” kata Darwito serius.

1. Peserta pameran dari dokter hingga paguyuban pecinta keris

Kisah Dokter dan Keris Naga Siluman dari Zaman MajapahitIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Menurut penjelasan Kepala Bagian Hukum dan Humas Sardjito, Banu Hermawan, ada 150 keris pusaka yang dipamerkan. Selain keris, ada yang berupa badik, mata tombak, wedhung, dan pedang. Pemilik atau kolektornya dari sejumlah paguyuban pecinta keris. Bahkan beberapa di antaranya adalah dokter.

“Harganya mulai dari Rp15 juta sampai Rp500 juta,” kata Banu.

Tak heran, soal pengamanan pihaknya tak berani mengambil risiko. Pemilik keris atau orang yang dipercaya pemiliknya yang menjaga langsung keris-keris yang disimpan dalam kotak-kotak kaca itu.

“Mereka juga tidur di ruang pamer,” kata Banu.

Baca Juga: Lestarikan Budaya Jawa, RSUP Dr Sardjito Gelar Pameran Keris

2. Kisah koleksi keris tertua zaman Singosari

Kisah Dokter dan Keris Naga Siluman dari Zaman MajapahitIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Saat berburu ke Pasar Gladak, Surakarta sekitar 1989-1990 an, tak sengaja Darwito menemukan keris Carubuk buatan zaman Kerajaan Singosari. Kerajaan itu berdiri sebelum Majapahit atau sekitar abad 13 Masehi. Keris itu dibungkus dengan kain mori yang dibawa seseorang untuk dijual. Menurut cerita si penjual, keris itu ditemukan di Sungai Brantas oleh penambang pasir di sana.

“Bentuknya sudah bukan keris lagi. Sudah membatu. Tapi saya tahu itu keris karena ujungnya berbentuk keris,” kata Darwito.

Dibelilah keris itu dengan harga berkisar Rp 1,5 juta waktu itu. Lewat pengrajin keris langganannya, keris itu pun dibersihkan hingga kembali mewujud keris. Keris berwarna hitam dan berluk tujuh itu memang tak lagi mulus. Sebagian tepian keris yang biasanya tajam terlihat rompal. Pamor atau motif kerisnya berupa adeg, yaitu dua garis putih yang mengikuti lekukan bentuk keris.

“Baru sekali dibersihkan pakai minyak. Dan kondisinya masih baik hingga sekarang,” kata Darwito.

3. Keris Naga Siluman paling berkesan

Kisah Dokter dan Keris Naga Siluman dari Zaman MajapahitIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Ada 15 keris dari 600 koleksi Darwito yang dipamerkan. Namun dari 600 keris itu ada satu keris yang dinilai berkesan, yaitu keris Luk Lima Naga Siluman. Keris itu buatan masa Kerajaan Majapahit.

“Karena pamornya untuk keris zaman Majapahit jarang yang seperti itu,” kata Darwito.

Pamor atau motif keris Luk Lima Naga Siluman adalah nunggak semi. Warna pamornya keleng atau hitam sehingga tak tampak jelas.

4. Keris pusaka sebelum zaman Mataram dibuat dari pasir

Kisah Dokter dan Keris Naga Siluman dari Zaman MajapahitIDN Times/Pito Agustin Rudiana

Rupanya bukan besi gelondongan yang menjadi bahan untuk membuat keris pusaka zaman dulu. Sebelum masa Kerajaan Mataram, rata-rata keris dibuat dari pasir. Berbeda dengan masa Mataram ketika pemerintah Kolonial Belanda datang dan mengenalkan besi gelondongan.

“Dulu pasirnya dibakar tiga hari hingga jadi prongkolan (membatu). Lalu ditempa hingga menjadi logam. Terus ditempa lagi menjadi keris,” kata Darmadi dari paguyuban pecinta keris, Pametri Wiji (Pamemahan Memetri Wesi Aji) Yogyakarta saat ditemui IDN Times di lokasi pameran.

Volume pasir yang digunakan awalnya bisa mencapai 40 kilogram. Namun setelah menjadi sebilah keris, beratnya tak sampai satu kilogram. Sedangkan pamornya dibuat dari nikel atau batu meteor sehingga warnanya terlihat putih atau bahkan tak terlihat atau lekeng.

Sedangkan untuk membuat keris diawali dengan ritual khusus dari empu atau pembuat keris. Salah satunya dengan berdoa. Empu keris harus serius dan berfokus ketika menjalani ritual tersebut.

“Kalau kerisnya rusak atau meleleh berarti doanya tak terkabul,” kata Danardi.

Tak heran waktu pembuatan keris pun beragam. Bahkan ada seorang empu yang hanya bisa membuat satu keris seumur hidupnya.

Untuk menjadi empu, seseorang harus nyantrik atau berguru dahulu menjadi panjak atau asisten empu. Tidak bisa langsung menjadi seorang empu. Sebagaimana di Jepang, untuk membuat katana atau pedang panjang yang dikenakan Pendekar Samurai harus diawali dengan tahapan juga. Pada 4-5 tahun pertama dimulai dengan melihat bahan-bahan pembuatannya terlebih dahulu.

“Karena zaman dulu itu bukan didasarkan budaya tulis, dari budaya tutur. Seperti membuat keris bukan dipelajari lewat catatan, tapi dari cerita lisan turun-temurun,” papar Darmadi.

Baca Juga: Keris 1 Meter, Teko dan Patung Naga Emas Ditemukan di Sungai Cisadane

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya