Pakar UGM Kritik Amnesti dan Abolisi untuk Terdakwa Korupsi

- Perlu parameter hukum yang jelas terkait dengan pemberian amnesti dan abolisi, agar penegakan hukum tidak tergerus oleh kepentingan politik.
Sleman, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto. Keduanya merupakan terdakwa kasus korupsi dan suap yang telah mendapat putusan hukum tetap dari pengadilan.
Secara umum, amnesti adalah kewenangan presiden untuk menghapus pidana bagi seseorang yang telah dinyatakan bersalah, sementara abolisi menghapus pidana sekaligus menghilangkan status kesalahan terdakwa.
Kebijakan ini, menurut dosen Fakultas Hukum UGM, Dr. Zainal Arifin Mochtar dan peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman, tidak seharusnya diberikan untuk kasus korupsi yang sudah memiliki putusan hukum jelas.
1. Zainal: Amnesti dan abolisi adalah bahasa politik

Zainal Arifin Mochtar, menjelaskan bahwa amnesti dan abolisi biasanya digunakan untuk rekonsiliasi politik atau alasan kemanusiaan.
“Amnesti dan abolisi itu bahasa politik, bukan hukum. Penggunaannya di Indonesia dalam perkembangannya digunakan pada kasus politik. Ada motif rekonsiliasi dalam kepentingan nasional,” ujarnya, Jumat (8/8/2025) dilansir laman resmi UGM.
Menurutnya, pada kasus Tom Lembong tidak ada kondisi yang mengharuskan rekonsiliasi. “Ini jelas masalah politik, tapi masalahnya apa yang mau direkonsiliasi? Mungkin Presiden punya keretakan hubungan dengan pihak tertentu, tapi salah kalau itu diukur dengan skala nasional,” katanya.
2. Perlu parameter hukum yang jelas

Zainal mengingatkan jika praktik seperti ini terus terjadi, kebijakan bisa lebih dipengaruhi motif politik dibandingkan kepentingan publik. Ia menilai harus ada batasan hukum yang tegas terkait dengan pemberian amnesti dan abolisi, termasuk apakah terdapat kepentingan nasional atau hanya kepentingan politik.
Dalam pandangannya, kasus korupsi seharusnya tidak diintervensi oleh kepentingan politik. Pemberian amnesti dan abolisi memerlukan limitasi kasus yang ketat agar penegakan hukum tidak tergerus.
3. Zaenur: Jangan jadikan amnesti dan abolisi alat politik

Sementara itu, peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi (PUKAT) UGM, Zaenur Rohman, juga menyoroti kebijakan ini. “Amnesti dan abolisi harus spesial, dia memiliki derajat tertinggi dalam pelaksanaan hukum. Kalau tidak, untuk apa ada proses hukum dan peradilan? Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah hukum,” kata Zaenur.
Ia menegaskan kebijakan tersebut seharusnya memiliki dasar kuat demi kepentingan negara dan kemanusiaan, bukan kepentingan politik. “Penyalahgunaan kewenangan presiden tersebut dapat berpotensi merusak jalannya penegakan hukum di Indonesia,” jelasnya.
Zaenur menambahkan bahwa kedua kasus ini tidaklah istimewa, dan banyak kasus lain yang serupa. “Jika memang terdapat suatu kesalahan prosedur hukum, maka sudah seharusnya hal tersebut diakui dan dibenahi,” jelasnya.