Korban Mafia Tanah di Sleman, 13 Tahun Berjuang Pulangkan Sertifikat

- Pasangan suami istri di Sleman, DIY kehilangan hak atas tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah.
- Penipuan terjadi saat sertifikat tanah diserahkan sebagai jaminan uang kontrakan dan digadaikan oleh pihak lain.
- Keduanya berjuang memulihkan sertifikat aset dan berharap pada pemerintah pusat serta DPR RI untuk menaruh perhatian pada kasus ini.
Sleman, IDN Times - Dugaan praktik mafia tanah menimpa sepasang suami istri di Sleman, DIY bernama Hedi Ludiman (49) dan Evi Fatimah (38). Selama belasan tahun mereka kehilangan hak atas aset berupa tanah seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Paten, Tridadi, Sleman, Kabupaten Sleman.
Keduanya sampai hari ini masih terus berjuang memulihkan sertifikat atas tanah warisan yang tak jelas nasibnya.
1. Ibu-anak datang sewa rumah tapi minta sertifikat buat jaminan
Hedi bercerita, semua kemalangan ini bermula sekitar 2011 silam ketika sang istri, Evi kedatangan dua orang ibu dan anak berinisial SH serta SJ yang mengutarakan niat mengontrak rumah di Paten untuk usaha konveksi.
Kala itu, Evi masih menghuni kediaman keluarga Hedi di Seyegan, Sleman. Sementara rumah di Paten ini memang biasa disewakan dulunya.
"Mau ngontrak rumah selama lima tahun. Setahunnya Rp5 juta, lima tahun jadi Rp25 juta," kata Hedi, Senin (12/5/2025).
Setelah kedua belah pihak sepakat, SJ dan SH menyampaikan akan mulai menempati rumah pada 2012. Sebelum menempati rumah, mereka juga membujuk Evi untuk menyerahkan sertifikat tanahnya sebagai jaminan duit Rp25 juta.
Evi tak menaruh curiga kepada keduanya waktu itu, apalagi melihat SH yang usianya sudah memasuki masa lanjut. Sertifikat diserahkan pada permulaan Agustus 2011, sementara uang kontrakan dibayarkan bertahap mulai sampai Desember tahun itu.
"Sertifikat sudah saya serahkan ke SJ dan SH karena kan dia ngasih uang saya kan sebagai untuk kepercayaan karena dia takut saya lari," kata Evi menimpali.
2. Dibawa ke notaris hingga didatangi bank karena kredit macet
Evi kemudian mengungkap bahwa pada 2011 pula dirinya pernah dibujuk ke kantor notaris oleh SJ dan SH dengan dalih teken perjanjian kontrak rumah. Evi muda kala itu juga belum mengetahui banyak tentang fungsi dan peran notaris.
Saat itu Evi ke kantor salah satu notaris di Kalasan, Kabupaten Sleman dan menemui salah seorang staf notaris.
"Yang ditandatangani itu saat itu tidak tahu (apa). Setengah kaya digendam atau dipaksa," lanjut Hedi.
Kala itu Evi juga tak diperbolehkan membaca surat yang ia teken. SH memintanya untuk segera membubuhkan tanda tangan. Evi yang dulu masih tetap belum curiga hingga pada Mei 2012 mereka didatangi salah satu bank, menyampaikan bahwa sertifikat bank tanah dan rumah sudah diagunkan untuk utang senilai Rp300 juta dan pelunasannya macet.
Sertifikat saat itu masih atas nama Evi, tapi, pihak bank menginformasikan sertifikat sedang proses balik nama.
"Pas gadaikan sertifikat itu posisi atas nama istri saya, jadi posisi balik nama dengan menggadaikan itu sama 26 Agustus 2011. Setelah serahkan sertifikat langsung digadaikan sama dibalik nama," terangnya.
3. Ke sana kemari demi pulangkan sertifikat
Baru sekitar 1 Juni 2012, Hedi mengecek ke BPN ternyata sertifikat milik istrinya telah beralih ke atas nama SJ. Ia lantas melapor ke Polres Sleman terkait dugaan penipuan dan penggelapan. Dua tahun berselang, SH berhasil ditangkap polisi, tapi SJ statusnya masih buron.
SH lalu disidang di Pengadilan Negeri Sleman dan divonis 9 bulan pidana penjara. Dari proses di meja hijau itu pula Hedi memperoleh fakta ada kuasa jual hingga akta jual beli (AJB). KTP sang istri juga dipalsukan dan dilegalisir oleh notaris di Kalasan.
Kata Hedi, notaris itu telah dilaporkan ke Majelis Pengawas Daerah (MPD) notaris dan dinyatakan bersalah secara etik kemudian.
Langkah Hedi berlanjut dengan menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Sleman, baik itu SJ dan SH serta pihak bank. Saat itu gugatan diputuskan Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) alias tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil.
Hedi lalu meminta salinan putusan dan menemukan keganjilan pada 10 lembar putusan. Kata dia, ada gugatan orang lain yang masuk di putusan.
Dia lalu berniat mengajukan banding. Dua pekan berselang dia dihubungi oleh pihak pengadilan yang menyatakan putusan ini akan diganti yang lebih baik. Tapi Hedi menolak lantaran akan ia pergunakan sebagai bukti banding di pengadilan.
Tak berselang lama pengacara Hedi menyatakan mengundurkan diri apabila putusan itu tak segera diserahkan ke pengadilan.
"Tidak ada (putusan sertifikat kembali ke atas nama Evi), kan NO. Pengacara juga lari, saya mencari pengacaranya tidak berani kalau banding ini," terangnya.
Di rentang waktu itu, Hedi turut melaporkan bank ke Ditreskrimsus Polda DIY namun dinyatakan SP3.
Sampai pada 2017, Hedi tetap mengejar SJ yang berstatus buron. Kunci terangnya perkara ini, menurutnya, memang ada di sosok tersebut. Tapi, siapa sangka polisi malah menyampaikan berkas kasus itu malah hilang.
"Saya tanyakan terus penangkapannya tahu-tahu kata penyidik baru katanya berkasnya hilang. Sekarang lagi pemberkasan baru, berkas ulang," jelasnya.
4. Jangkau telinga DPR RI
Persoalan Hedi dan Evi tak cukup berkutat di situ, karena ternyata bank tetap menjalankan proses lelang aset saat sertifikat yang tengah mereka perjuangkan sebenarnya juga sedang memasuki masa blokir.
"Kan diblokir di BPN, ternyata dalam prosesnya dibalik lagi. Dari SJ ke orang bernama RZA," imbuhnya.
Hasil penelusuran, Hedi mendapati identitas RZA yang ternyata merupakan seorang oknum pegawai kejaksaan.
Hedi pernah menemui RZA yang saat itu mengaku bahwa dirinya tak tahu menahu ternyata aset termaksud bermasalah. Hedi lantas menjelaskan semua polemik ini.
Bagaimanapun, sertifikat masih belum kembali ke tangan Hedi dan Evi hingga 2024 kemarin. "Sekarang nggak tahu, terakhir RZA," jelasnya.
Hedi dan Evi pun berharap pada pemerintah pusat dan DPR RI agar menaruh atensi pada perkara yang menimpanya. Harapan dia selain memulihkan sertifikat aset juga memberi pelajaran kepada para pelaku praktik mafia tanah.
Dia juga ingin para wakil rakyat tahu 12 tahun perjuangannya mengejar kasus ini, sementara batin juga terus tertekan dan anak-anaknya jadi korban secara tak langsung karena waktu yang tersita.
Maklum, Hedi cuma guru honorer di salah satu SMK swasta. Gajinya hanya Rp150 ribu per bulan. Dia terpaksa mencukupi kebutuhan harian dengan bekerja sebagai montir bengkel.
"Saya ingin ke DPR Komisi III untuk mengadukan. Karena saya bertarung sendiri melawan mafia. Sangat berat. Anak-anak saya terlantar tidak ada yang bantu saya. Keinginan saya menghukum para mafia. Mari kita berdebat di DPR Komisi III melawan para mafia itu," jelasnya.
Terpisah, Kasat Reskrim Polresta Sleman, AKP Riski Adrian membenarkan bahwa pihak kepolisian sejauh ini masih memburu sosok SJ yang masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) alias buron.
"Untuk penanganan kasus penipuannya sudah inkrah satu pelaku dan satu pelaku lagi masih DPO," kata Adrian saat dihubungi.