Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk, Cara Warga Suarakan Ketidakadilan

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk, Cara Warga Suarakan Ketidakadilan
Ilustrasi sirene (unsplash.com/@maxfleischmann)
Intinya sih...
  • Pemakaian sirene yang tidak pada tempatnya bisa memicu amarah rakyat
  • Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk-Wuk' adalah bentuk protes damai
  • Indonesia perlu aturan mengenai pemakaian sirine
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Yogyakarta, IDN Times - Belakangan ini viral di media sosial gerakan "stop tot tot wuk wuk", yaitu ajakan untuk tidak memberi jalan kepada pengguna kendaraan yang menyalakan sirene, strobo, atau rotator secara ilegal di jalan raya maupun tol. Fenomena ini muncul karena semakin seringnya penggunaan aksesori tersebut oleh pejabat yang meminta prioritas di jalan dengan berbagai alasan. Padahal, sirene atau strobo seharusnya hanya digunakan sebagai penanda keadaan darurat, bukan sekadar menunjukkan eksistensi atau demi kenyamanan segelintir orang.

Prof. Dr. Zuly Qodir, pakar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), menegaskan keresahan masyarakat terkait fenomena ini tidak boleh dianggap remeh. Menurutnya, apa yang disampaikan oleh masyarakat, adalah simbol ketidakadilan yang dirasakan sehari-hari.

1. Pemakaian sirene yang tidak pada tempatnya bisa memicu amarah rakyat

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk, Cara Warga Suarakan Ketidakadilan
Potret Prof. Dr. Zuly Qodir, M.Ag., selaku pakar sosiologi UMY (dok.istimewa)

Menurut Prof. Zuly, kondisi sosial, ekonomi, dan politik Indonesia yang sedang carut-marut menjadi salah satu alasan elite politik kehilangan kepercayaan masyarakat. Belum lagi adanya dengan kesenjangan antara si miskin dan si kaya hingga kesulitan cari kerja yang kian tak terelakan.

“Dalam situasi seperti itu, hal-hal kecil seperti sirene bisa menjadi pemicu kemarahan,” ujarnya pada Selasa (23/9) dilansir laman resmi UMY. Zuly menambahkan bahwa pejabat negara seharusnya lebih peka terhadap kondisi masyarakat.

“Kalau Presiden atau ambulans, wajar diberi prioritas. Tapi kalau semua pejabat, dari anggota DPR, bupati, sampai staf, merasa berhak dapat fasilitas khusus, itu jelas mengganggu ketenangan publik. Wajar masyarakat protes, karena mereka juga sama-sama pembayar pajak,” tegasnya.

2. Gerakan 'Stop Tot Tot Wuk-Wuk' adalah bentuk protes damai

Ilustrasi kendaraan patwal milik polisi. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)
Ilustrasi kendaraan patwal milik polisi. (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Zuly mengingatkan kalau keresahan masyarakat tidak ditanggapi serius, protes damai bisa berujung menjadi amuk massa.

“Secara sosiologis, ini adalah tahap awal protes publik. Kalau dibiarkan, akumulasi kemarahan bisa berbahaya, bahkan berujung pada kerusuhan. Itu yang harus dicegah sejak dini,” jelasnya.

Sedangkan soal istilah “tot-tot wuk-wuk”, Zuly menilai itu sebagai bentuk kreativitas masyarakat dalam menyampaikan kritik. Bahasanya yang sederhana, lucu, tapi mengena menunjukkan bahwa masyarakat punya cara halus dalam menunjukkan protesnya.

“Kalau tidak direspons, jangan kaget kalau bentuk protes ke depan akan lebih keras,” katanya lagi.

3. Indonesia perlu aturan mengenai pemakaian sirine

Patwal mobil Raffi Ahmad RI 36 (tangkapan layar)
Patwal mobil Raffi Ahmad RI 36 (tangkapan layar)

Lebih lanjut, ia menegaskan perlunya aturan tegas mengenai siapa saja yang berhak menggunakan sirene. Zury berpendapat bahwa sirene sebaiknya hanya untuk Presiden, ambulans, pemadam kebakaran, atau polisi dalam keadaan darurat.

“Jangan semua pejabat merasa VVIP. Kalau memang ada agenda penting, ya atur waktu perjalanan lebih awal, jangan malah mengorbankan ketertiban publik,” tutur Zuly. Ia menilai bahwa gerakan 'Stop Tot Tot Wuk Wuk' berpotensi berkembang menjadi lebih dari sekadar tren media sosial.

“Kalau tidak ada respons baik dari pemerintah, protes ini bisa berubah menjadi gerakan sosial terorganisasi. Bedanya dengan demonstrasi, gerakan itu berkelanjutan dan berpotensi melahirkan perubahan nyata,” katanya.

Di akhir, Zuly mengajak masyarakat tetap kritis tapi juga damai. Hal ini sebagai cara untuk mendorong pemerintah agar lebih mendengar aspirasi rakyat.

“Protes itu wajar. Tapi harus dikelola agar menjadi gerakan positif, bukan sekadar luapan emosi. Kalau semua pihak mau belajar dari fenomena ini, justru bisa menjadi momentum memperbaiki hubungan antara rakyat dan pejabat,” pungkasnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Paulus Risang
EditorPaulus Risang
Follow Us

Latest News Jogja

See More

Gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk, Cara Warga Suarakan Ketidakadilan

23 Sep 2025, 11:57 WIBNews