Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dosen UMY Soroti Fenomena Rojali, Indikasi Pelemahan Daya Beli?

Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Miftakhul Khasanah
Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Miftakhul Khasanah .(Dokumentasi Humas UMY)
Intinya sih...
  • Pola konsumsi masyarakat berubah karena e-commerce
  • 'Rojali' bukan indikator pasti pelemahan daya beli
  • Pemerintah perlu memberikan pelatihan digital marketing kepada pedagang
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bantul, IDN Times - Fenomena rojali atau rombongan jarang beli kini menjadi perbincangan hangat di media sosial dan ruang diskusi publik. Istilah ini merujuk pada kebiasaan sekelompok orang yang datang ke pusat perbelanjaan, melihat-lihat produk, namun jarang melakukan transaksi pembelian.

‎Dosen Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Miftakhul Khasanah mengatakan fenomena rojali sebenarnya sudah ada sejak lama.

‎“Kalau kita lihat dari zaman dulu, orang jalan-jalan ke mal itu sudah biasa. Mereka datang bukan hanya untuk belanja, tetapi juga untuk rekreasi. Pusat perbelanjaan sudah lama menjadi alternatif hiburan bagi masyarakat,” ujarnya, Sabtu (9/8/2025).

1. Pola konsumsi masyarakat diperkirakan berubah

IMG-20250727-WA0053.jpg
Pengunjung mal (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

‎Khasanah menilai munculnya istilah “rojali” kemungkinan besar berangkat dari keresahan para pelaku usaha, khususnya yang bergerak di sektor ritel. Dalam situasi penjualan yang menurun, kehadiran pengunjung yang hanya melihat tanpa membeli dianggap tidak menguntungkan.

Ia menambahkan rojali tak lepas dari perubahan pola konsumsi masyarakat. Jika sebelumnya masyarakat cenderung langsung membeli produk yang dilihat di toko, kini perilaku tersebut mulai bergeser karena hadirnya e-commerce.

‎“Banyak konsumen memilih untuk membandingkan harga dan kemudian membeli secara online. Biasanya, mereka melihat produk di toko, lalu mengecek harga di marketplace. Jika lebih murah, mereka akan lebih memilih untuk membeli secara online,” jelasnya.

2. Rojali belum cukup untuk dijadikan indikator pelemahan daya beli

IMG-20250727-WA0048.jpg
Pengunjung sebuah mal di Jakarta usai berbelanja (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Menurut Khasanah, meski "rojali" menjadi sorotan, hal tersebut belum cukup untuk dijadikan indikator pasti pelemahan daya beli masyarakat. Penilaian semacam ini, menurutnya, memerlukan kajian mendalam berbasis data yang valid. Salah satu pendekatannya adalah melihat hasil survei konsumen dari Bank Indonesia maupun survei penjualan eceran.

‎“Kita harus melihat survei konsumen dari Bank Indonesia, survei penjualan eceran, dan sumber data lainnya. Jika hanya melihat fenomena "rojali" saja, itu tidak cukup. Meskipun demikian, fenomena ini bisa menjadi sinyal awal penurunan daya beli di beberapa wilayah,” jelas Khasanah.

‎Dampaknya terhadap sektor ritel pun tidak bisa diabaikan. Kehadiran konsumen yang hanya melihat-lihat tanpa melakukan transaksi turut memengaruhi performa pertokoan offline, terutama yang berada di pusat perbelanjaan.

‎Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri bagi sektor perdagangan di tengah transformasi digital yang semakin pesat. Menurutnya, selain perlu ada inovasi, para pelaku usaha ritel fisik juga harus mengambil langkah konkret untuk menyesuaikan diri dengan preferensi konsumen yang terus berkembang. Ia menilai pelaku UMKM perlu segera beradaptasi dengan menjangkau pasar online.

‎“Namun kenyataannya, tidak semua pelaku UMKM siap. Banyak dari mereka yang sudah berusia di atas 50 tahun, belum melek digital, dan kesulitan memanfaatkan platform online. Tidak sedikit pula pemilik usaha yang enggan menyerahkan urusan digital kepada karyawan karena adanya gap tujuan dan kepercayaan,” jelasnya.

3. Pemerintah perlu lebih aktif dalam memberikan pelatihan digital marketing kepada pedagang

Digital Marketing (freepik.com/rawpixel.com)
Digital Marketing (freepik.com/rawpixel.com)

Ia menegaskan, pemerintah melalui instansi terkait, seperti Kementerian Perdagangan, perlu lebih aktif dalam memberikan pelatihan digital marketing kepada para pedagang.

‎Lebih jauh lagi, Miftakhul menekankan pentingnya adaptasi bagi pelaku usaha. Fenomena “rojali” mencerminkan transformasi sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Dunia usaha, khususnya UMKM, dituntut untuk segera menyesuaikan diri atau bersiap menghadapi tekanan yang semakin besar.

"Pemerintah pun harus hadir sebagai fasilitator perubahan agar digitalisasi tidak menjadi momok, melainkan peluang baru bagi pelaku ekonomi kecil dan menengah," ungkapnya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriana Sintasari
EditorFebriana Sintasari
Follow Us